Tapak Tilas

[Tapak Tilas] Alotnya Futuhat Islam di Prancis

Upaya dakwah di Prancis memang sangat alot. Penolakan bangsa Prancis ini membuat mereka jauh dari hidayah Islam sehingga tidak sempat merasakan kehebatan dan keindahan hidup dalam naungan peradaban Islam.


Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

MuslimahNews.com, TAPAK TILAS Rintisan dakwah ke wilayah Semenanjung Iberia menjadi pintu pembuka masuknya Islam ke Prancis. Misi ini sejalan dengan penaklukkan Andalusia oleh Thariq Bin Ziyad atas perintah Musa bin Nushair, Gubernur Khilafah Islam dari Bani Umayyah di wilayah Afrika Utara.

Pada 93 H/711 M, Thariq bersama ribuan pasukannya menyeberangi Selat Gibraltar dan membuka satu demi satu kota-kota penting di tanah Andalusia. Ia pun menggabungkan semua wilayah itu dalam kekuasaan Gubernur Musa di Afrika.

Andalusia

Uniknya, pasukan muslim berhasil membuka Andalusia karena mendapat bantuan dari penduduknya. Mereka telah lama menderita di bawah kekuasaan zalim Bangsa Visigoth.

Pada 95 H/714 H, Andalusia resmi jadi wilayah (kegubernuran) yang berafiliasi pada Khilafah Umayyah di Damaskus. Gubernur pertamanya adalah Abdul Aziz bin Musa bin Nushair, sosok yang dikenal ahli Jihad, bertakwa, dan warak.

Masa awal pemerintahan Andalusia ini (95H/714 M hingga 123 H/741 M) dikenal sebagai fase jihad dan futuhat, sekaligus masa kebesaran kaum muslimin. Pada masa ini, seluruh penduduk Andalusia masuk Islam dengan kerelaan. Bahkan, mereka turut menjaga dan menyebarluaskan dakwah Islam ke wilayah-wilayah lainnya.

Negara Prancis (sumber: wordpress)

Pada masa inilah kekuasaan Islam berhasil melingkupi seluruh Spanyol dan Portugis. Bahkan, futuhat sudah memasuki beberapa wilayah Eropa, termasuk beberapa wilayah Prancis yang kala itu terbagi dalam puluhan kerajaan kecil.

Pasukan Rintisan

Ada beberapa pasukan yang melakukan ikhtiar futuhat ke wilayah Prancis. Di antaranya, pasukan As-Samah bin Malik al-Khaulani, Gubernur Andalusia masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Pada 100–102 H (718–720 M) pasukannya berhasil menduduki wilayah kekuasaan Visigoth lainnya yakni Narbone, kota Toulouse, hingga seluruh wilayah Gallia Narbonensis takluk. Di wilayah inilah ia mendirikan provinsi baru bernama Sabtamania (Septimania).

Hanya saja, ia dan pasukannya gugur dalam pertempuran di Tokulosse (Tharsunah) saat hendak membuka wilayah Aquitaine pada 102 H/721 M. Bahkan, setelahnya beberapa wilayah kembali ke pihak musuh.

Setelah itu, ikhtiar futuhat dilanjutkan oleh Anbasah bin Sahim al-Kalbi pada 103–107 H (721–725 M). Ia dan pasukannya berhasil menyeberangi Pegunungan Pyerenea dan menguasai kembali beberapa kota di Septimania.

Ia pun berhasil menaklukkan wilayah Aix-en-Provence (Sens) yang berjarak 30 km dari Paris hingga ke Kota Lyon dan Carcassona. Sampai-sampai Anbasah meraih sekitar 70% wilayah Prancis dan berhasil merebut jarak terjauh yang mampu diraih kaum muslimin kala itu.

Namun, qadarullah, saat hendak kembali ke Andalusia pada 107 H/725 M, ia diserang oleh pasukan besar bangsa Franka, yakni kerajaan Barbar terbesar di Eropa Barat yang kelak menjadi cikal bakal negara Prancis dan Jerman. Walhasil, ia dan sebagian pasukannya pun gugur sebagai syuhada dan kepemimpinan  pasukan digantikan oleh Adzrah bin Abdullah al-Fahri.

Baca juga:  Ramadan di Spanyol, Bumi Andalusia
Cordova, Andalusia (sumber: orbitmetro)

Pada awal 112 H/730 M, usaha futuhat dilanjutkan oleh Abdurrahman al-Ghafiqi. Melalui jalur selatan ia dan pasukannya berhasil memasuki Aquitaine, Kota Bordeaux (Budu), Toulouse (Tolossa), Poiters dan Tours (Tor). Bahkan, mereka pun melanjutkan futuhat hingga ke Paris.

Sayang, di daerah Balath (Bilath) sekitar 20 km di Selatan Poiters, usaha al-Gahfiqi mendapat perlawanan keras dari pasukan bangsa Franka yang dipimpin oleh Charles Martin. Kala itu mereka bersekutu dengan orang-orang Nasrani dari Jerman, Hungaria, dan Rumania.

Saat itu, terjadilah perang besar dan menakutkan. Dalam sejarah peristiwa ini dikenal sebagai Perang Balath Syuhada. Tepatnya terjadi pada akhir bulan Syakban 114 H/Oktober 732 M. Di kalangan bangsa Barat pertempuran ini dikenal sebagai The Battle of Tours atau Moussais-la-Bataille.

Disebut Balath Syuhada karena pertempuran yang diikuti 50 ribu pasukan muslim dan 400 ribu pasukan musuh ini berakhir dengan kekalahan dan gugurnya sebagian besar pasukan muslim, termasuk Al-Ghafiqi. Pertempuran ini disebut-sebut sebagai pertempuran terbesar yang terjadi antara pasukan Nasrani Eropa dan kaum muslim pada masa sebelum terjadinya Perang Salib yang fenomenal itu.

Konsisten Menolak Islam

Upaya dakwah di Prancis memang sangat alot. Penolakan bangsa Prancis ini membuat mereka terjauhkan dari hidayah Islam, hingga mereka tak sempat merasakan kehebatan dan keindahan hidup dalam naungan peradaban Islam.

Bahkan, pada abad 11–12 M, kerajaan Prancis turut terlibat dalam Perang Salib melawan kaum muslim bersama koalisi negara-negara Kristen lainnya. Mereka berposisi terus menghalangi dakwah Islam sekalipun mereka tidak mampu membendung bangkitnya kejayaan Islam di era kekuasaan Utsmaniyah.

Hanya saja, di era Khilafah Utsmani ini, konon ada masa saat sikap Prancis di bawah Raja Prancis François I (1536) melunak di hadapan Khalifah Sulaiman Al-Qanuni. Keduanya sempat membuat sebuah persekutuan–dalam wikipedia disebut sebagai “persekutuan diplomatik nonideologis pertama antara negara Kristen dengan non-Kristen”.

Hanya saja, di mata bangsa-bangsa Eropa lain, persekutuan ini dianggap sebagai sebuah skandal. Mereka menyebutnya sebagai “persekutuan tidak beriman”, atau “persatuan yang melanggar kesucian antara Lili dengan Bulan Sabit”.

Tetapi bagaimanapun, bangsa-bangsa Eropa memang tidak bisa menolak kenyataan bahwa negara Khilafah di era Utsmaniyah telah tampil sebagai kekuatan pertama dalam skala global. Bahkan, dari peradaban Khilafah era ini, mereka turut mereguk manfaat yang luar biasa besar.

Baca juga:  Aisyah al-Qurthubiyah, Ulama Perempuan "Kutu Buku"

Kehadiran Khilafah Utsmaniyah di dekat mereka telah memunculkan gelombang “kebangkitan pemikiran” yang mengantarkan Eropa, termasuk Prancis, pada kebangkitannya. Revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris bahkan menginspirasi mereka untuk merebut kepemimpinan dalam konstelasi politik internasional.

Oleh karenanya, pada masa Napoleon berkuasa (1804–1815 M), persekutuan antara Prancis dan Khilafah dibatalkan. Ia bahkan mengambil sikap konfrontatif terhadap negara Khilafah. Salah satunya dengan melakukan pergerakan militer di Mesir yang merupakan wilayah kekuasaan Utsmaniyah.

Ndilalahnya, saat Eropa menemukan jalan kebangkitan, kondisi Khilafah justru sudah mulai melemah. Tidak heran jika bangsa Eropa, khususnya Inggris dan Prancis, makin berani melakukan berbagai manuver politik dan militer demi merebut kepemimpinan global.

Pada 1830 misalnya, Prancis mulai masuk ke Aljazair nyaris tanpa perlawanan dari Khilafah. Pada masa yang bersamaan, Prancis pun masuk ke Tunisia dan Maroko, dan menjadikan wilayah-wilayah ini sebagai daerah jajahan.

Di daerah-daerah muslim ini, Prancis masif melakukan serangan budaya dan pemikiran. Dampaknya, bangsa-bangsa ini mulai menanggalkan keterikatan mereka dengan budaya Islam, terutama bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an dan menggantinya dengan bahasa penjajahnya.

Kebencian yang Tidak Pernah Usai

Lemahnya umat Islam dalam memegang ideologi Islam telah membuat sejarah kian memihak bangsa Eropa yang telah menemukan ideologi kapitalisme sebagai asas kebangkitan. Titik baliknya terutama terjadi setelah kekalahan Khilafah dalam perang dunia pertama.

Sejak itu, wilayah kekuasaan Khilafah kian tercabik-cabik karena jatuh sebagai ganimah. Prancis pun turut menikmati pembagian ini dengan menerima berbagai mandat kekuasaan di berbagai wilayah eks Khilafah Islam.

Meski pasca-Perang Dunia II dunia masuk dalam era kemerdekaan, tetapi bukan berarti spirit penjajahan turut hilang. Penjajahan hanya berubah bentuknya saja karena spirit ini lekat dengan ideologi kapitalisme yang tetap mereka emban.

Oleh karenanya, pada era ini, Prancis tetap menempatkan dirinya sebagai bangsa penjajah bersama negara-negara kapitalis lainnya. Pada saat yang sama mereka tetap menempatkan Islam sebagai ideologi yang mereka pandang membahayakan.

Prancis bahkan terus memelihara sikap konfrontatif kepada Islam hingga sekarang. Meski warganya tetap dibiarkan menganut Islam, tetapi penguasanya menolak keras simbol-simbol dan praktik Islam muncul ke permukaan.

Muslim di Prancis demonstrasi untuk protes serangan terhadap muslimah berjilbab (sumber: eramuslim)

Di kalangan negara-negara Eropa lainnya, Prancis terkenal paling keras dan kasar responsnya terhadap ekspresi umat Islam. Meski mendaulatkan diri sebagai penganut kebebasan sejati, tetapi Prancis tidak malu mengecualikannya bagi umat Islam.

Berbagai undang-undang anti-Islam diterapkan. Jilbab dan nikab dilarang. Bahkan, penguasa Prancis membiarkan islamofobia dan pelecehan atas Islam berkembang luas di tengah-tengah masyarakatnya secara legal. Salah satu contohnya, kasus penerbitan kartun Nabi Muhammad saw. yang terus berulang dan pelakunya justru mendapat pembelaan.

Baca juga:  Ummu al-Hasan, Muslimah Cerdas dari Andalusia

Terlebih hari ini faksi-faksi sekuler radikal sedang memegang tampuk kekuasaan. Nasib umat Islam di sana benar-benar hidup di bawah tekanan. Mereka distigma sebagai potensi radikal hingga tidak jarang dipersekusi dan dikriminalkan.

Dunia Diam

Menyedihkannya, sikap buruk penguasa dan sebagian bangsa Prancis terhadap Islam dan kaum muslim terjadi di hadapan dunia Islam. Tidak ada satu kekuatan umat Islam pun yang bisa mencegah kezaliman dan penghinaan yang terjadi.

Padahal, sejatinya, yang dialami muslim Prancis bukan hanya menjadi urusan mereka saja. Kezaliman dan penghinaan itu sejatinya adalah kezaliman dan penghinaan atas umat Islam di dunia dan agamanya. 

Inilah dampak buruk diadopsinya paham sekularisme dan nasionalisme oleh kaum muslim. Paham-paham ini telah menghilangkan kepercayaan diri dan kebanggaan terhadap Islam, sekaligus memecah-belah mereka dalam kotak-kotak negara bangsa buatan para penjajah. Wajar jika umat Islam kian kehilangan spirit ukhuwah dan kecintaan yang lurus atas agama dan tubuhnya.

Kondisi ini jauh berbeda saat umat masih memiliki institusi Khilafah. Khilafah Islam benar-benar memosisikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga yang siap melindungi Islam dan umatnya dari segala hal yang membahayakan.

Khalifah Abdul Hamid II (sumber: wikipedia)

Saat ada yang coba-coba mengusik umat Islam dan agamanya, Khilafah tidak segan-segan mengerahkan tentara untuk mencegahnya. Itulah yang pernah dilakukan Khilafah saat mengetahui penguasa Prancis membiarkan rencana pertunjukan teater tentang Nabi Muhammad saw. di gelar di Paris.

Saat itu, Khalifah Abdul Hamid II memanggil perwakilan resmi Prancis dan berkata di hadapannya, “Akulah Khalifah umat Islam, Abdul Hamid Han! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!”

Khatimah

Penguasa Prancis memang sudah memilih posisi sebagai musuh bagi Islam dan umatnya. Oleh sebab itu, sepanjang ideologi yang dipegangnya eksis sebagai sistem yang mengatur dunia, penghinaan dan permusuhan itu pun akan tetap terjadi atas umat Islam.

Hanya saja, kerugian yang lebih besar yang akan mereka terima adalah terhalangnya bangsa Prancis dari kesempatan mengenal dan menerima Islam. Padahal, Islam adalah sistem hidup yang mereka butuhkan untuk menyolusi berbagai bencana hidup yang mereka tuai akibat penerapan ideologi sekuler kapitalisme.

Prancis memang dikenal sebagai negara berkemajuan. Namun, pada saat bersamaan, dunia mengenalnya sebagai pusat kerusakan. Sampai kapan bangsa ini bertahan sementara generasinya sudah kehilangan modal kemanusiaan?

Lebih dari itu, kepongahannya terhadap Islam dipastikan tidak akan berumur panjang. Kebencian mereka tidak akan mampu mencegah kebangkitan Islam. Bahkan, gaung kembalinya Khilafah di berbagai penjuru dunia telah menjadi mimpi buruk bagi para penguasa Prancis dan sekutu Baratnya hingga sekarang. [MNews/Juan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *