[Opini] Fenomena “No Viral No Justice”, Muhasabah untuk Penegak Hukum
Penulis: Chusnatul Jannah
Muslimah News, OPINI — Belakangan ini, kinerja Polri mendapat sorotan dan kritikan tajam dari masyarakat. Sejumlah tagar menghiasi media sosial, seperti #PercumaLaporPolisi, #PercumaAdaPolisi, dan #SatuHariSatuOknum. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menanggapi perihal fenomena “No Viral No Justice” yang menggema di jagat maya.
Lewat fenomena itu, ia mengatakan, masyarakat menilai bahwa suatu laporan tindak pidana harus viral terlebih dulu agar aparat mau menindaklanjutinya. “Jadi ini kemudian sudah melekat di masyarakat bahwa harus viral, kalau tidak viral maka prosesnya tidak akan berjalan dengan baik,” kata Listyo dalam Rakor Anev Itwasum Polri 2021 secara virtual, Jumat (17/12/2021). (kompas.com, 18/12/2021)
Ia mengajak jajarannya untuk menerima masukan dan mengevaluasi diri dari tagar-tagar tersebut. Ia meminta agar jajarannya menindaklanjuti laporan yang diadukan melalui dumas (pengaduan masyarakat) sesuai harapan masyarakat.
Kekecewaan Publik
Tidak ada asap tanpa api. Tidak ada tagar tanpa rasa kesal dan kecewa. Begitulah yang publik tangkap dari tagar-tagar yang bermunculan. Publik melihat slogan Polri “Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat” tampaknya makin jauh dari harapan masyarakat. Beberapa kasus harus menunggu viral dulu baru diproses hukum. Polisi baru bereaksi dan bergerak cepat terhadap kasus-kasus viral dan menjadi perbincangan masyarakat.
Sebagai contoh, kasus pemerkosaan tiga anak yang diduga oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kasus ini viral karena polisi menghentikan penyelidikan kasus tersebut dalam waktu dua bulan.
Kasus viral lainnya, seorang polisi berinisial RB yang meminta seorang mahasiswi mengaborsi kehamilannya. Kasus ini mendapat perhatian banyak pihak karena korban meninggal bunuh diri akibat depresi.
Kasus viral lainnya yaitu anggota Polsek Pulogadung, Jakarta Timur, yang menolak laporan seorang warga yang menjadi korban pencurian. Ada pula perilaku oknum polisi di Rokan Hulu, Riau, yang memaki dan menghina korban pemerkosaan saat melaporkan kasusnya di kantor polisi.
Semua ini menambah citra buruk yang melekat di lembaga penegak hukum tersebut. Tidak ayal, masyarakat pun menyimpulkan bahwa tidak ada keadilan hukum sebelum masyarakat memviralkannya.
Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) meminta Polri segera mengevaluasi pelayanan dan kinerja atas ramainya tagar no viral no justice di media sosial sebagai kritik terhadap Korps Bhayangkara itu. Kompolnas melihat bahwa harus ada perubahan sistem penanganan kasus. Mereka berharap Polri juga bertindak tegas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran dengan memberi sanksi sesuai kesalahannya, bukan sekadar sanksi kode etik.
Mengembalikan Muruah Penegak Hukum
Beredarnya kasus viral hingga luapan kekesalan serta kekecewaan publik mestinya menjadikan institusi Polri muhasabah diri. Sudahkah melaksanakan tugas utamanya sebagaimana slogan yang melekat selama ini? Sudahkah menjalankan amanah sebagai penegak hukum dengan berpegang pada prinsip keadilan tanpa memandang jabatan, golongan, atau kepentingan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya terjawab kepada masyarakat.
Kekecewaan publik yang mengemuka bisa kita pahami dari beberapa hal berikut:
Pertama, hilangnya kepercayaan masyarakat. Kalau sudah tidak percaya, sebaik apa pun Polri memperbaiki diri, masyarakat tidak akan respek lagi. Itulah sebab membangun kepercayaan publik itu hal yang amat penting. Jika kepercayaan sudah rusak, tidak ada yang tersisa kecuali saling curiga.
Kedua, hukum berat sebelah. Saat ini, keadilan hukum seperti barang langka. Dalam hal ini, masyarakat menyoroti perbedaan respons penegak hukum terhadap kasus yang berbeda. Semisal kasus terorisme dan korupsi, dua-duanya terkategori kasus extraordinary crime, tetapi perlakuan penegak hukum sangat kontras.
Terhadap pelaku terorisme, polisi (Densus 88) main tangkap dan tidak mengindahkan asa praduga tidak bersalah. Namun, terhadap koruptor, polisi memberikan sikap lebih lembut ketika menangkap mereka. Lebih beringas terhadap terduga pelaku teror ketimbang terhadap pelaku korupsi.
Ketiga, terjebak kepentingan kekuasaan. Semisal, sangat responsif terhadap pelanggaran UU ITE yang menyeret banyak aktivis, ulama, dan kaum oposan. Namun, menjadi pasif jika berkaitan dengan pelanggaran UU ITE menimpa kelompok pro penguasa.
Respons berbeda inilah yang menyebabkan masyarakat menganggap hukum ditebang pilih sesuai kepentingan penguasa. Padahal, lembaga penegak hukum harusnya netral dan hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan hukum.
Dengan demikian, untuk mengembalikan muruah dan citra lembaga penegak hukum, Polri harus menata diri dan introspeksi. Jangan terjebak arus kekuasaan dan politik. Tegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
Jika keadilan hukum tercipta, masyarakat pasti segan. Masyarakat memberi saran, penegak hukum harus menerima masukan. Masyarakat mengkritik, penegak hukum harus memperbaiki diri. Begitulah idealnya penegak hukum. Bekerja dengan adil, muhasabah secara rutin.
Pesan Islam
Tegaknya supremasi hukum adalah kepastian untuk menegaskan mana kebenaran dan mana kebatilan. Sering kali kita menyaksikan keadilan hukum mudah diperjualbelikan sehingga muncul istilah di masyarakat, seperti “kasih uang, habis perkara” ataupun “wani piro”.
Di sinilah urgensi karakter penegak hukum yang adil, jujur, dan hanya berpihak pada kebenaran. Dalam surah An-Nisa: 135 Allah Swt. memerintahkan hamba-Nya yang beriman menjadi penegak keadilan (hukum).
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan penjelasan bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar menegakkan keadilan agar mereka tidak beranjak dari keadilan itu barang sedikit pun.
Jangan pula mereka mundur dari menegakkan keadilan hanya karena celaan orang-orang yang mencela, dan jangan pula mereka terpengaruh oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari keadilan.
Rasulullah saw. memiliki pesan khusus untuk para penegak hukum. Yang pertama, memutuskan perkara dengan adil. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang menjadi hakim lalu menghukumi dengan adil, niscaya ia akan dijauhkan dari keburukan.” (HR Tirmidzi)
Kedua, hendaknya penegak hukum berhati-hati terhadap tipologi hakim yang telah Rasul sebutkan dalam sabdanya. Rasulullah saw. bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia masuk neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga.” (HR Tirmidzi)
Ketiga, tidak silau jabatan dan kekuasaan. Penegak hukum harus membela kebenaran, tidak menyalahkan yang benar dan tidak membenarkan yang salah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Dari Abi Umamah berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Di akhir zaman, akan ada para penegak hukum yang pergi dengan kemurkaan Allah dan kembali dengan kemurkaan Allah, maka hati-hatilah engkau agar tidak menjadi kelompok mereka.”” (HR Thabrani).
Khatimah
Penegakan hukum berkeadilan dan penegak hukum yang jujur dan benar membutuhkan sistem hukum yang mampu mewujudkan keadilan dan kejujuran itu sendiri.
Sejarah membuktikan penerapan syariat Islam kafah dapat mewujudkan keadilan hakiki. Sebab, sistem Islam menjadikan hukum Allah sebagai panduan baku dalam menetapkan kebenaran dan kebatilan. Sementara, hukum sekuler menjadikan pandangan manusia sebagai pedoman dalam menentukan benar dan salah.
Jika syariat terterapkan, tidak sulit membentuk penegak hukum yang saleh, jujur, dan bertakwa. Kriminalitas dapat minim, masyarakat pun terlayani dan terlindungi dengan sistem hukum yang tegas. No Islam, no Justice. [MNews/Gz]