[News] RUU TP-KS Kental Nuansa Liberal, Cendekiawan Muslim: Liberalisasi Seksual Mengancam Peradaban Manusia
Muslimah News, NASIONAL — Kekerasan seksual selama ini terus ada. Berbagai undang-undang berusaha menyelesaikannya, tetapi tampaknya belum berhasil. RUU TP-KS digadang-gadang dapat menyolusi problematik ini.
Cendekiawan Muslim, Prof. Dr-Ing Fahmi Amhar turut merespons hal tersebut dalam FGD “RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS); Urgensi & Solusi?” di YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Ahad (19/12/2021).
“RUU TP-KS kental dengan nuansa liberal. Sedangkan kita harus mengetahui ada bahaya yang mengancam dalam hal ini, yaitu liberalisasi seksual yang berpotensi mengancam peradaban manusia,” ungkapnya.
Transformasi Peradaban
Ia menjelaskan bahwa paradigma manusia selalu berbeda, tergantung pada peradabannya, serta masa depan manusia juga sangat tergantung dengan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, menurutnya kemajuan zaman didefinisikan dengan kemajuan teknologinya.
“Pada masa society 1.0 adalah era berburu dan meramu, kemudian masa society 2.0 masuk pada era pertanian. Selanjutnya masa society 3.0 yakni era industri. Lalu masa society 4.0 sebagai era informasi. Berikutnya, masa society 5.0 yang menjadi era new society, dan kita saat ini berada pada fase society 4.0 menuju 5.0,” jelasnya.
Ia menambahkan, pandemi yang melanda dunia mempercepat perubahan society ini. Banyak sekali sektor yang terdampak oleh Covid-19 tersebut. Dampaknya, banyak profesi yang tumbang lalu beralih seiring dengan kemajuan teknologi dan otomatisasi.
Namun, ujarnya, ada profesi yang selalu ada dalam peradaban manusia yang tidak bisa diotomatisasi. Salah satunya yaitu profesi yang berkaitan dengan interaksi bersama anak.
“Karena ada hal-hal yang tidak bisa diotomatisasi dalam kehidupan manusia, termasuk aktivitas dalam melayani anak, maka kita harus fokus dalam hal ini agar keberlangsungan peradaban kita ke depannya senantiasa aman.
Di antara hal-hal yang terkait dengan keluarga seperti contohnya melayani anak, menyayangi anak, mendidik anak, melayani orang tua atau birrul walidain dan tarbiyatul aulad, itu tidak bisa diotomatisasi,” tukasnya.
Teknologi dan Liberalisasi Seksual
Ia mengingatkan, kemajuan teknologi dan otomatisasi ini tidak terkecuali masuk juga dalam ranah institusi keluarga. Saat ini pun sudah menjadi tren bahwa aktivitas seksual tidak selalu harus dalam naungan institusi keluarga. Bahkan, aktivitas seksual ini bisa diotomatisasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Hal ini ia sebut sebagai buah dari liberalisasi seksual.
Ia mengajak untuk membayangkan kondisi masyarakat ke depannya yang tidak akan selamat dan tergilas olah mesin industri dan robot. Menurutnya, fungsi-fungsi masyarakat akan tergantikan robot.
“Kita harus ingat liberalisasi yang ada di negara-negara industri maju saat ini di Barat, termasuk Jepang, membuat keluarga mereka hancur. Institusi keluarga tidak lagi menarik. Karena untuk apa lagi punya keluarga? Apabila kebutuhan biologis bisa didapat di luar keluarga,” ungkapnya miris.
Ia menambahkan bahwa di sana, jika tujuannya adalah keamanan dan ekonomi, sudah ada asuransi. Jika tujuannya pendidikan, maka negara pun bisa menjaminnya.
“Sehingga anak-anak merasa tidak harus menjamin atau merawat orang tua mereka di masa tuanya. Akibatnya, mereka tidak perlu lagi merasa punya anak. Akhirnya institusi keluarga pun rusak. Masa depan mereka pun bermasalah,” bebernya.
Ia pun mengungkap Jepang kini mulai khawatir karena angka pertumbuhan penduduk mereka mulai negatif. Bahkan, kalau tidak ada migrasi, Jepang memperkirakan tahun 2100 sudah tidak ada ras mereka yang asli.
Di akhir, ia mengingatkan untuk tidak perlu ikut pola pikir dan sikap Barat yang liberal tersebut. “Kita tidak perlu latah ikut-ikutan pola pikir dan sikap mereka karena kita tentu tidak ingin jika peradaban kita punah. Dengan pengesahan RUU TP-KS yang berpotensi meliberalisasi seks ini, sama saja kita tengah mengancam keberlangsungan peradaban generasi kita kelak,” tegasnya. [MNews/Nvt]