Opini

“Facebook Papers” Membongkar Cara Kerja Media Sosial dalam Kapitalisme

Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.

MuslimahNews.com, OPINI — Setelah Pandora Papers, dunia kembali heboh dengan skandal media sosial melalui Facebook Papers. Jika Pandora Papers mengungkap aset tersembunyi, penggelapan pajak, hingga pencucian uang para miliarder dan penguasa di dunia; Facebook Papers membongkar upaya perusahaan platform media sosial terbesar di dunia—Facebook yang kini bernama Meta—menabur konflik dan perselisihan demi meraup keuntungan.

Mantan manajer produksi Facebook Frances Haugen menuduh Facebook lebih memprioritaskan keuntungan daripada keamanan, serta menyembunyikan hasil penelitiannya sendiri dari para investor dan publik. Haugen bersaksi di depan subkomite senat AS terkait kesengajaan Facebook menggunakan konten-konten kebencian dan berbahaya di situsnya untuk membuat para pengguna kembali menggunakan Facebook. Ia pun mengatakan produk Facebook membahayakan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi.

Walaupun Mark Zuckerberg menyangkalnya, kecaman terus berdatangan dari berbagai pihak. Seperti Senator AS Richard Blumenthal yang mengatakan Facebook telah mengalami krisis moral. Kepemimpinan perusahaan ini secara kronis mengabaikan alarm internal yang serius dan memilih untuk menempatkan keuntungan di atas orang-orang. (cnbcindonesia, 26/10/2021)

Terlibat dalam Sejumlah Keributan Politik

Haugen membeberkan sejumlah skandal yang tersusun dalam Facebook Papers. Antara lain kerusuhan di Gedung Capitol pada 6/1/2021 lalu. Ketika para pendukung mantan Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol, huru-hara pun terjadi di kantor Facebook. (Kompas.tv, 29/10/2021)

Kemarahan para pengikut Trump tidak terbendung saat Facebook membekukan akun Trump. Jika memang Facebook berniat menghentikan ujaran kebencian, mengapa tidak sedari dahulu mengingat Trump berulang kali melanggar aturan situs media sosial? Mengapa baru saat Trump mendorong pendukungnya untuk mengadakan aksi?

Baca juga:  Sampai Hatikah Indonesia Blokir Korporasi Media Sosial? (Bagian 2/2)

Banyak dari pegawainya menantang kepemimpinan perusahaan yang mereka anggap bersekongkol dengan polarisasi kekerasan.  Komentar-komentar tersebut ada dalam ribuan halaman dokumen internal Facebook kepada NBC News yang memperinci debat internal Facebook seputar dampak sosial platform tersebut.

Selain kerusuhan di Capitol, mantan karyawan Facebook lain memaparkan situasi 2017 saat Facebook ikut campur dalam kontroversi rumor keterlibatan Rusia di Pemilu Presiden AS 2016. Ia menyebutkan bahwa manajernya menghadang upaya memerangi informasi negatif dan keliru dengan alasan takut pada Presiden Trump dan hal tersebut dapat merusak keuntungan.

Bukan hanya di AS, Haugen membeberkan hal yang terjadi di Vietnam saat Facebook mengizinkan ujaran kebencian berkembang secara internasional karena alasan “kekurangan linguistik”. Infonya, hal ini sudah Mark ketahui, tetapi Facebook mengabaikannya dan memicu polarisasi beracun secara daring.

Cara Kerja Media dalam Kapitalisme

Terbongkarnya skandal media sosial melalui Facebook Papers memberi kita bukti kesekian kalinya bahwa seperti inilah cara kerja media dalam sistem kapitalisme. Media sosial terbesar yang sedari awal menisbahkan diri sebagai duta demokrasi dan wadah kebebasan berpendapat nyatanya hanyalah topeng untuk menutupi keborokan mereka.

Demi meraup keuntungan, kerusuhan justru mereka fasilitasi. Mereka tidak peduli masa depan generasi sehingga membiarkan komunitas-komunitas menyimpang tetap eksis dalam platformnya, bahkan melindungi komunitas L613T yang meresahkan dunia.

Ketika Facebook mengakomodasi kepentingan umat yang tertindas—seperti peristiwa Arab Spring dan Gerakan 212 di Indonesia—semua itu semata untuk mengejar keuntungan. Facebook telah mendulang keuntungan yang berlimpah dari adanya peristiwa tersebut.

Baca juga:  Kapitalisme Merusak Harga Diri Para Perempuan

Surveillance Capitalism

Pengamat media sosial dan CEO Institut Muslimah Negarawan Dr. Fika Komara menilai Facebook tidak lebih seperti jamaknya korporasi kapitalis lainnya. Bau busuknya makin tercium dengan terungkapnya berbagai praktik zalim sebagaimana dalam Facebook Papers.

Lebih jauh, Fika menyebutkan mereka pun menjadi entitas yang memuluskan agenda global kapitalisme. Praktik zalim Facebook dalam kerangka surveillance capitalism (pengintaian kapitalisme) terhadap aktivis muslim dan agenda umat Islam makin terlihat, seperti pemblokiran/pembatasan terhadap akun-akun yang menyuarakan ketakadilan terhadap ulama.

Begitu pun yang terjadi di India, Facebook membiarkan konten-konten yang menghina Islam tetap eksis, bahkan terkesan melindungi. Sebuah komite parlemen di India mengecam pimpinan Facebook di India setelah mendapat tuduhan tidak adil terhadap muslim, yaitu membiarkan unggahan antimuslim dan ujaran kebencian terus eksis di platformnya.

Surveillance capitalism ini makin membuka kebencian Barat terhadap kaum muslim. Mereka tidak akan pernah berhenti memerangi Islam dan umatnya dari segala sisi. Ketakadilan digital yang mereka sodorkan kepada dunia Islam seharusnya menjadi cambuk bagi kaum muslim atas ketakberdayaannya. Peradaban hari ini hanya menjadikan kaum muslim sebagai objek yang termarjinalkan.

Kedaulatan Media

Mengapa media hari ini senang sekali memproduksi konten-konten sampah? Mengapa yang viral sering kali adalah sesuatu yang kurang, bahkan tidak bermanfaat bagi umat? Mengapa akun media sosial yang banyak pengikutnya justru sering kali membuat mudarat pada umat?

Baca juga:  Buzzer Politik yang Memanipulasi Data untuk Kepentingan Pihak Tertentu

Inilah hasil dari peradaban yang menghamba pada materi sehingga yang tersaji bukanlah yang bermanfaat bagi umat melainkan bagi korporasi. Kapitalisme menjadi yang paling bertanggungjawab terhadap kebodohan generasi yang makin akut.

Kapitalisme pula yang menjadi api untuk membakar kemuliaan umat manusia. Bagi peradaban ini, manusia tidak lebih mulia dari cuan. Nyawa manusia yang melayang tak lebih berharga dari sejumlah dolar. Tidak heran jika media sosial hari kerap menjadi megafon terciptanya kerusuhan di mana-mana.

Agar kaum muslim tidak sekadar menjadi objek kaum kafir, penting untuk memiliki kemandirian dan kedaulatan digital. Media digital di bawah ideologi Islam akan menebar manfaat bagi kehidupan umat manusia. Media apa pun, termasuk media sosial, ada untuk kebutuhan umat manusia.

Dengan demikian, generasi muslim harus menjadi pelaku penting dalam ruang digital. Merekalah ujung tombak dalam mengemban amanah dakwah khususnya di dunia digital agar umat tidak lagi terbelenggu dengan algoritma korporasi hasil teknologi kapitalis.

Facebook Papers memberi pelajaran bagi umat muslim akan pentingnya platform media sosial yang berideologi Islam. Media sosial akan menjadi sarana dakwah yang menjaga jawil iman umat. Dengan demikian, urgen akan hadirnya institusi yang menaungi media sosial berideologi Islam, yaitu Khilafah Islamiah. “Jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh kegiatan orang-orang kafir (yang bergerak) di seluruh negeri.” (QS Ali Imran [3]: 196) [MNews/Gz]

One thought on ““Facebook Papers” Membongkar Cara Kerja Media Sosial dalam Kapitalisme

  • M. N Firmansyah Hidayat

    Dunia yg sdh carut marut, kok yg muslimpun enggan balik ke sistem khilafah. Aneh khan..

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *