Buzzer Politik yang Memanipulasi Data untuk Kepentingan Pihak Tertentu
MuslimahNews.com, TANYA-JAWAB – Saat ini marak soal buzzer yang memanipulasi data untuk kepentingan pihak tertentu. Berikut hasil diskusi Farid Wadjdi (Fokus Khilafah Channel) dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ustaz M. Ismail Yusanto.
Farid Wadjdi/FW: Baru-baru ini Universitas Oxford menerbitkan penelitian yang menjelaskan bahwa Indonesia menjadi satu dari tujuh negara yang menggunakan pasukan cyber/buzzer untuk kepentingan-kepentingan yang disewa oleh politisi/partai politik, yang diduga melakukan manipulasi informasi. Di sisi lain, kalau kita lihat sebenarnya sudah lama dibicarakan di Indonesia. Bagaimana Ustaz Ismail melihat bahaya buzzer seperti ini bagi Indonesia?
Ismail Yusanto/MIY: Pertama, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik, khususnya ketika terkait pemilihan, baik pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, dan lebih khusus lagi pemilihan presiden. Kita tahu pengguna internet di Indonesia ini cukup besar. Pengguna handphone data terakhir –Januari 2019- lebih dari 300 juta, jadi lebih banyak daripada jumlah penduduk itu sendiri. Kemudian pengguna sosial media yang aktif itu potensial pada usia 14 sampai 45 tahun, di mana sekaligus juga menjadi pemilih yang paling besar porsinya.
Menyadari hal ini, maka para ahli politik dan media, berpikir keras bagaimana bisa memengaruhi mereka di dalam afiliasi dan aktivitas politik, preferensi politik, sampai akhirnya pada pilihan politik nantinya. Sebenarnya ini perkara yang pada awalnya sesuatu yang sangat wajar, siapa pun pasti juga akan melihat kenyataan ini dan akan memanfaatkan peluang yang ada untuk memengaruhi mereka. Jadi, pengaruh-memengaruhi di dalam dunia komunikasi-informasi itu sesuatu yang juga wajar, termasuk juga bagaimana memengaruhi mereka tentang menentukan pilihan politik.
Tetapi menjadi tidak wajar ketika usaha untuk memengaruhi pilihan politik itu dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang tidak elok. Seperti manipulasi informasi. Dan media, yakni media sosial dan media elektronik, ada titik kelemahannya.
Titik kelemahannya adalah bahwa keduanya sangat instan, bisa sampai kepada orang per orang, kepada individu. Tetapi sekaligus tidak memberikan ruang untuk bisa melakukan check dan recheck. Itu (konten, red.) dibuat bisa menjadi sangat meyakinkan, dilengkapi dengan gambar, suara. Tetapi gambar itu entah diambil dari mana, suara entah suara siapa, dan sebagainya. Karenanya, maka mudah sekali terjadi disinformasi, pembiasan informasi, bahkan salah informasi.
FW: Lantas apa bahayanya bagi iklim politik Indonesia dengan adanya buzzer seperti itu?
MIY: Kalau sampai pada puncaknya (yaitu) salah informasi, maka yang benar menjadi tambah salah, yang salah menjadi tambah benar, sekaligus juga bisa menimbulkan rasa tidak suka. Jadi perasaan itu bisa dibangun. Kepentingan bisa dibangun. Sekaligus kecintaan juga bisa dibangun.
Jadi, orang yang semestinya dibenci, menjadi dicintai. Orang yang seharusnya dicintai, jadi dibenci. Ini sangat berbahaya, karena dunia menjadi kebalik. Perasaan publik bisa diolah begitu rupa untuk mendukung bukan malaikat tapi setan, mendukung bukan good boy tapi bad boy, yang sebenarnya jelas dia itu harusnya dijauhi, tapi justru dengan manipulasi informasi malah didekati. Orang yang semestinya menjadi orang yang paling bertanggung (jawab) di dalam sebuah kejahatan, bisa dialihkan kepada pihak lain, dan seterusnya. Ini sangat berbahaya, karena hal ini bisa merusak struktur informasi masyarakat, kemudian struktur perasaan dan perilaku masyarakat.
FW: Ada yang menyebutkan, jauh sebelumnya, seperti Rocky Gerung yang menyebutkan bahwa pusat hoaks itu adalah sebutlah kekuasaan, pusat kekuasaan/penguasa atau istana sebutannya. Bagaimana Ustaz melihat ini?
MIY: Itu statement yang saya kira bisa dipahami secara rasional, karena memang penguasa adalah mereka yang memiliki segala-galanya. Dia memiliki kekuatan intelijen, aparat intelijen, memiliki perangkat birokrasi, aparat keamanan, aparat penyidik. Dia juga mempunyai lembaga-lembaga penyiaran resmi, kemudian dia memiliki dana. Jadi semua bisa dilakukan. Dan itu saya kira terjadi di hampir seluruh negara di muka bumi ini.
Kita masih ingat bagaimana dulu peristiwa 9/11. Bush dengan kekuasaan, kekuatannya –kalau bahasa sekarang itu hoaks– yang melingkupi dirinya, pemerintahannya, rezimnya, menciptakan katakanlah ‘cerita’, bahwa Amerika sedang diserang oleh teroris. Sementara, dari sumber-sumber lain yang kita bisa baca, sangat meragukan bahwa itu dilakukan oleh teroris. Ada fakta bahwa ada peledakan dengan sengaja yang dibuktikan oleh (kesaksian) para satpam di sana, bahkan dimulai dari basement, kemudian pesawat itu juga bukan pesawat penumpang, lalu ada keanehan-keanehan kenapa CNN bisa melakukan siaran langsung.
Saya pernah mendapatkan satu CD yang dibuat oleh kelompok-kelompok independen di Amerika yang membongkar itu semua. Termasuk bagaimana dikatakan pesawat menabrak Pentagon, tapi ternyata tidak ada bangkai pesawat di sana sedikitpun. Tidak ada bangkai orang, tidak ada bangkai kursi, bagasi, padahal katanya itu adalah pesawat komersial.
Ini semua tenggelam oleh pengaruh informasi dalam tanda petik “resmi” itu, yang diberikan oleh pemerintah. Nah, kalau sekarang kita percaya kepada informasi yang valid yaitu informasi tidak resmi, berarti kan ini hoaks. Hoaks itu karena kekuatan yang luar biasa lalu menjadi seperti seolah resmi. Menjadi salah-benar. Saya kira dalam kerangka seperti inilah baru mengatakan bahwa pusat hoaks itu adalah pemerintahan, kalau di Indonesia itu Istana.
FW: Bagaimana menurut legitimasi pemimpin yang dibangun atas dasar hoaks ini terkait dengan pencitraan yang dibangun?
MIY: Saya kira ada dua, yang penting di sini yang pertama adalah keabsahan, dan dukungan. Jadi, kalau dari sisi absah, dia bisa menciptakan keabsahan itu. Seperti yang sudah sering kita lihat, kita dengarkan secara yuridis sah. Tetapi apakah dengan keabsahan itu lalu dia mendapatkan dukungan? Nah, ini yang saya kira akan dikerjakan oleh para buzzer itu, agar kemudian keabsahan ini juga melahirkan dukungan. Dukungan, kan, sudah bersifat emosional. Di situ lalu diciptakan cerita-cerita yang sebagiannya mungkin manipulatif, mungkin benar sebagiannya lagi, untuk menciptakan atau melahirkan dukungan.
Hanya saya kira, di tengah masyarakat pasti ada unsur-unsur independen, unsur-unsur atau kelompok yang masih yang masih setia, masih komit kepada kejujuran, kepada kebenaran, yang akan membuka topeng ini satu persatu. Walhasil, akhirnya mungkin dia itu mendapatkan keabsahan, tapi dukungan makin hari makin tergerus. Apalagi kemudian satu persatu terbuka.
Dengan kata lain misalnya, kayak kemarin ada cerita tentang ambulans yang katanya berisi batu yang berada di tengah-tengah aksi. Tidak lama kemudian terungkap bahwa itu ambulans untuk menolong korban aksi, jadi bukan untuk membantu terjadinya kerusuhan atau anarkis. Apalagi disebutkan di situ ada banyak batu dan macam-macam. Kayak begini kan contoh, bahwa informasi yang benar itu suatu hari akan menemukan titiknya atau menemukan jalannya untuk sampai kepada publik, baru publik kemudian terbuka.
FW: Artinya akan tetap terungkap kelayakan apakah seseorang ini benar-benar layak menjadi pemimpin?
MIY: Saya percaya kepada adagium yang mengatakan “no perfect crime” atau “tidak ada kebohongan yang sempurna”. Pasti ada celah-celah. Orang bisa saja membohongi satu dua orang, satu dua kali, tapi tidak mungkin membohongi banyak orang, terus-menerus.
FW: Salah satu yang sering dikeluhkan oleh banyak aktivis yang mengkritik pemerintah itu adalah standar ganda dari pemerintah atau penguasa sekarang, ketika menyikapi mereka yang melakukan hoaks tapi pro terhadap rezim, itu sangat berbeda sekali dengan pelaku-pelaku hoaks yang bertentangan dengan rezim. Bagaimana melihat ini?
MIY: Memang harus mereka lakukan, karena kan mereka punya tujuan. Tujuannya adalah bagaimana membangun keabsahan dan dukungan tadi itu. Dilakukan dengan sebagainya, dengan cara yang benar sebagian, sebagian tidak dilakukan dengan benar. Dan kalau yang melakukan itu memang diperlukan oleh mereka, ya pasti akan dilindungi.
FW: Jadi kan bisa menimbulkan kemarahan dan kemuakan dari masyarakat?
MIY: Sudah terjadi. Salah satu unsur penting atau substansi yang paling penting dari penegakan hukum adalah keadilan. Ketika penegakan hukum itu tidak bertumpu pada keadilan, tetapi kepada like and dislike, misal dua orang melakukan perbuatan yang sama, satu dukung satu tidak, hanya karena dekat dengan penguasa, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan (distrust) publik kepada pemerintah, aparat, penegak hukum, bahwa hukum hanya berjalan demi kekuasaan dan kepentingan belaka.
FW: Kita tahu dalam Islam yang bermuat kebohongan apalagi manipulasi itu sesuatu yang diharamkan. Bukan hanya bersumber dari pemerintah atau penguasa, tetapi dari mana saja. Lantas bagaimana kita menyikapi kabar berita yang hoaks yang mungkin muncul dari mana saja? Bagaimana kita melakukan filter terhadap berita-berita itu?
MIY: Kewajiban yang paling penting ketika kita mendapatkan berita itu adalah tabayun, dalam hadis “…fatabayyanu, an tushibu qauman bijahalatin”. Jadi check dan recheck itu sangat penting. Supaya apa? Supaya kita tidak melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, atau jangan sampai menimpakan musibah pada suatu kaum tanpa dasar. Kira-kira begitu bahasanya.
Hanya, tabayun ini juga tidak mudah di era informasi seperti sekarang ini. Karena pertama, tidak semua orang kritis, cenderung menerima begitu saja, lalu jari-jemari bekerja begitu cepatnya, share, langsung memberikan komentar, padahal belum tentu apa yang diterima itu benar. Ini gejala umum pada masyarakat yang serba instan.
Yang kedua, tidak semuanya memiliki akses untuk tabayun. Misalnya, ada banyak informasi tentang kesehatan, betulkah itu? Ada informasi tentang kriminalitas, betulkah itu? Dan sebagainya. Kalau kita tidak bisa melakukan tabayun, saya kira langkah paling aman kita tidak meneruskan, tidak share, tidak komentar, agar kita tidak melakukan kekeliruan.
Hanya kadang-kadang ini informasi sangat penting kalau tidak share, sangat sayang orang lain tidak mengetahui. Di situ berarti harus ada effort yang lebih besar untuk tabayun. Bahwa check dan recheck pada situasi seperti sekarang, ketika sumber berita tidak dipercaya, wajib kita dilakukan. Berpulang kepada kita. Ketika datang informasi kepada kita dari sumber yang tepercaya, tentu akan lebih mudah daripada yang kita tidak ketahui (sumbernya), di mana kepercayaan sumber berita dalam era sekarang ini nggak jelas lagi, mana asli mana yang tidak.
FW: Apalagi sumber berita itu adalah orang-orang fasik, munafik?
MIY: Harus, harus ekstra waspada, karena di balik informasi itu ada racun-racun yang memang mereka sebarkan untuk menimbulkan kebencian, yang bisa menimbulkan salah paham.
Penutup: Demikian hasil diskusi dengan Ustaz Ismail Yusanto tentang bahaya buzzer yang penuh dengan manipulatif. Kekuasaan yang dibangun oleh kecurangan pasti akan berakhir, karena tidak ada kebohongan yang bisa ditutup terus menerus, tidak ada kecurangan yang tidak terbongkar, waktu nanti yang akan menentukannya. [MNews]
* Transkrip disalin oleh MNews dari video Fokus Khilafah Channel