Opini

Omnibus Law Dipuji, Kesejahteraan Hanya Sebatas Janji


Penulis: Asy Syifa Ummu Sidiq


MuslimahNews.com, OPINI — Lahirnya Undang-Undang (UU) Omnibus Law di pelataran Indonesia telah merubah wajah penguasa. Meskipun demikian, ternyata UU tersebut telah melahirkan kesulitan baru bagi rakyatnya. Alih-alih merevisi atau membatalkan UU sapu jagat itu, ternyata “pujian” justru disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang telah menyusunnya. Padahal, pada kenyataannya aturan itu sudah cacat dari awal. Bukankah hal ini membuktikan dimana keberpihakan pemangku kebijakan?

Sebagaimana kita tahu, beberapa waktu yang lalu, UU ini telah menimbulkan kericuhan di mana-mana. Mulai dari pelajar, mahasiswa, serikat buruh, cendikiawan, politisi hingga masyarakat luas ramai-ramai menolak UU ini dan meminta dibatalkan. Tidak hanya terluka, korban berjatuhan hingga meninggal pun ada. Bahkan, banyak di antara mereka yang ditangkap. Namun, bukannya memenuhi tuntutan rakyat, tapi malah mendukung dan membanggakan UU sapu jagad itu.

Menolak Lupa Masalah UU Sapu Jagad

Masih ingatkah kita dengan beberapa cacat UU Omnibus Law? Menurut cnnindonesia.com (6/10/20), ada 5 dampak aturan yang berakibat buruk bagi pekerja. Pertama, Pekerja terancam tidak menerima pesangon. Dengan menghapus 5 pasal, para pekerja yang mengundurkan diri, PHK serta meninggal tidak akan menerima pesangon.

Baca juga:  Mimpi Sejahtera Buruh di Rezim Kapitalis

Kedua, Tenaga Kerja Asing (TKA) lebih mudah masuk RI. Pasal 81 poin 4 hingga poin 11 menghapus beberapa aturan tentang TKA yang ada pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Contohnya, dihapusnya izin tertulis bagi pengusaha yang ingin mempekerjakan TKA. Hasilnya, kita sudah melihat ratusan TKA China yang datang ke Indonesia meski dalam waktu PPKM.

Ketiga, batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak dihapus. Aturan ini termaktub dalam Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT), dalam pasal tersebut aturan kerja maksimal 3 tahun ditiadakan. Artinya, semua diserahkan pada hasil perjanjian pengusaha dan pekerja.

Keempat, jam lembur bertambah dan cuti panjang hilang. Dengan demikian nampak para pekerja diforsir tenaganya sedangkan haknya tidak dipenuhi.

Kelima, dihapuskannya UMK, juga membuat pengusaha akan semaunya sendiri menentukan upah bagi para pekerja.

Selain bagi pekerja, UU ini juga berpengaruh untuk lingkungan. Bukannya melindungi lingkungan dari pencemaran, malah menghapus AMDAL dari syarat pengajuan pembukaan lahan usaha. Saat masih ada aturan tentang AMDAL saja, kerusakan lingkungan masih terjadi. Bagaimana jika AMDAL dihilangkan? Nampak bukan siapa yang diuntungkan?

Harusnya Mengurusi Rakyat

Pemegang kebijakan itu berkewajiban mengurusi rakyatnya, bukan melanggengkan para kapital. Karena setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban.

Baca juga:  Rezim Omnibus Law, Asal-asalan Tentukan Halal-Haram, Peran Ulama Disepelekan

Diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu Wail Syaqiq Bin Salamah bahwasanya ketika Umar ra menugaskan Busyur ibnu Asim ra untuk mengurus sedekah suku Hawazin, tetapi Busyur tidak mau menerimanya. Ketika ditanya, ”Mengapa kamu tidak mau menerimanya?” Busyur menjawab, ”Seharusnya aku menaati perintahmu, tetapi aku pernah mendengar Nabi Saw. bersabda, ‘Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum muslimin, maka di hari Kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahannam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun’.”

Lalu Umar keluar dengan wajah susah, ketika Abu Zar bertanya kepadanya, ”Mengapa Anda terlihat amat susah? Umar pun menceritakan bahwa kesusahannya karena ia telah mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas yang disampaikan oleh Busyur Asim. Lalu Abu Zar pun membenarkan bahwa ia juga pernah mendengar hadis serupa. (At-Targib jilid III, halaman 441).

Jika begitu berat tanggung jawab pemerintah, seyogianya mereka hanya takut pada Allah Swt. Bukan takut pada para pemilik modal. Jika yang terjadi sebaliknya, justru memperjelas kepemimpinan negeri bukan atas dasar keimanan, tapi karena kepentingan. Karena hanya materi dan keuntungan yang dikedepankan. Masalah rakyat justru dinomor sekian.

Baca juga:  [Editorial] Menuai Badai dari UU Ciptaker

Oleh karena itu, membanggakan omnibus law di tengah kesulitan rakyat menghadapi pandemi, adalah hal yang tidak wajar. Karena rakyat tak membutuhkan retorika, tapi rakyat butuh bukti nyata. [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *