AnalisisOpini

Pemberdayaan Perempuan sebagai Agen Perdamaian?

Oleh: Arum Harjanti

MuslimahNews, ANALISIS — Dalam pertemuan Ninth Ministerial Plenary of The Global Counter-Terrorism Forum (GCTF) di New York tanggal 25 September 2018, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, menggarisbawahi pentingnya Pemberdayaan dan Pengembangan Perempuan sebagai Agen Perdamaian dalam perjuangan global melawan terorisme. GCTF merupakan forum yang terdiri dari 30 negara untuk membahas upaya pencegahan dan penanganan terorisme secara menyeluruh. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota GCTF sejak kali pertama dibentuk pada 2011.

Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kemenlu Endah Werdaningtyas, menjelaskan Indonesia terpilih menjadi anggota GCTF karena upaya yang dinilai optimal dalam memerangi terorisme. Indonesia juga aktif menyampaikan bagaimana pencegahan aksi terorisme yang melibatkan keluarga dengan pendekatan soft melalui keluarga dan komunitas. Ia menekankan pentingnya peran perempuan dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme dan menjadikan wanita sebagai agen perdamaian, karena berdasarkan survei, 80 persen bersikap toleran terhadap perbedaan agama, sementara 88 persen menolak radikalisme.

Menlu RI menyatakan terjadinya tren baru dalam terorisme yang melibatkan keluarga seperti kejadian di Surabaya semakin membutuhkan peran perempuan dalam perjuangan melawan terorisme. Perempuan memiliki peran besar dalam menanamkan nilai-nilai damai dan toleransi dalam keluarga untuk membentuk prespektif yang positif. Pemberdayaan perempuan juga perlu dilakukan di komunitas lokal, khususnya di sektor ekonomi. Peningkatan nilai positif dan kesejahteraan akan menjadi perisai kuat terhadap pengaruh pandangan ekstrimisime dan nilai-nilai intoleran. Menlu RI menyambut baik kerja sama yang lebih erat antara GCTF dengan PBB untuk mengatasi evolusi dan trend baru terorisme.

Baca juga:  Menangkis Serangan Feminis

Peran perempuan sebagai agen perdamaian yang disampaikan oleh Menlu RI rupanya senada dengan apa yang dikampanyekan oleh masyarakat global. Dewan Keamanan PBB telah mengadopsi resolusi (UNSCr) 1325 pada tahun 2000 dan tujuh resolusi berikutnya untuk mempromosikan kepemimpinan perempuan dalam membangun perdamaian. Direktur Eksekutif UNWomen Phumzile Mlambo-Ngcuka dalam acara The Women, Peace and Security Focal Points Network dengan tema The Security Council and Women, Peace and Security: Fostering Practical Action pada 26 September 2018 di New York mendesak adanya peningkatan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional dan lebih banyak investasi dalam kebutuhan ekonomi perempuan Bahkan Heiko Maas, Menteri Luar Negeri Federal Jerman mengatakan partisipasi perempuan bukan hanya masalah kesetaraan gender, namun juga masalah perdamaian. Tidak ada kedamaian tanpa perempuan.

Tujuh belas tahun setelah peristiwa 11 September 2001, Indonesia ‘diingatkan’ untuk menguatkan komitmennya dalam mengerjakan proyek War on Terror (WoT). Di sisi lain Indonesia berada dalam radar pelaksanaan target SDGs 2030, termasuk tujuan gender equality. Karena itulah perempuan kembali diberi “tugas” sebagai agen perdamaian, untuk mencegah terorisme. Menjelang 2030, perempuan makin diberdayakan. Makin banyak “beban” yang disandarkan kepada perempuan demi mempercepat terwujudnya kesetaraan gender dalam Planet 50:50 pada tahun 2030.

Baca juga:  Keluarga Moderat= Sakinah Mawaddah wa Rahmah?

Bukan hanya dalam hal ekonomi dan politik saja, namun juga sebagai agen perdamaian. Perempuan diminta untuk sebarkan nilai damai dan toleransi, sehingga menjadi sikap keluarga agar dapat mencegah terorisme. Namun tentu saja nilai-nilai yang ditanamkan adalah nilai yang dianut Barat. Pemberdayaan ini justru akan memalingkan umat dari nilai Islam, dan menguatkan sekulerisme. ‘Padatnya’ agenda pemberdayaan perempuan akan semakin menjauhkan peran kodrati perempuan sebagai ibu dan pendidik generasi, yang mengancam ketahanan keluarga dan makin jauhnya Islam dari kehidupan. Dan inilah sesungguhnya yang ingin diwujudkan oleh musuh-musuh Islam, hilangnya Islam dari kehidupan melalui pemberdayaan perempuan ala Barat.

Di sisi lain, meski perempuan menjadi agen perdamaian, terorisme tetap tidak akan dapat diberantas dengan tuntas selama kapitalisme masih menjadi asas kehidupan. Kapitalisme telah menjadikan terorisme sebagai alat untuk memusuhi Islam demi mempertahankan hegemoninya di negeri-negeri Muslim.

Islam telah menetapkan peran baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan. Sebagai manusia, semua memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan berlomba-lomba dalam bekerjasama membangun kehidupan, termasuk dalam membangun perdamaian dan mencegah terorisme.

Namun sebagai jenis manusia yang berbeda, laki-laki memiliki tugas yang berbeda dengan perempuan. Allah telah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin, yang bertanggung jawab atas perempuan. Dan perempuan diberi peran sebagai pendamping suami, ibu dan pendidik generasi, yang akan menanamkan nilai-nilai kebaikan demi lahirnya generasi kuat dan berkualitas yang bertakwa dan berakhlak mulia.

Baca juga:  Genjot PEP, Jalan Mulus Kapitalisasi Perempuan

Islam mewajibkan negara untuk mewujudkan situasi yang kondusif agar peran masing-masing bisa optimal sesuai dengan hukum syara. Islam juga mewajibkan negara untuk menjaga pemikiran umat agar tetap berpegang pada aturan Allah, dalam membangun peradaban manusia yang mulia hingga akhir jaman. Dan semua itu hanya akan terwujud jika aturan Allah diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *