Fokus

Memahami Kaidah “Al-Ashlu fil Mar’ati Annahaa Ummun wa Rabbatul Bayti wa Hiya ‘Irdhun an Yushana”

Penulis: Najmah Saiidah

MuslimahNews.com, FOKUS — Sangat nyata di hadapan kita, sistem hidup yang mengungkung kaum muslimin saat ini—yaitu sekuler kapitalistik—telah menjadikan kehidupan manusia serba sempit dan tanpa arah. Pengaturan hidup manusia bersandar kepada akal manusia yang serba lemah dan terbatas, serta mengukur segala sesuatu berdasarkan materi.

Selanjutnya bisa tertebak, banyak dari mereka lebih suka mengadopsi pemikiran-pemikiran yang bersumber dari paham kapitalis sekuler daripada menjadikan Islam sebagai standar dalam berpikir dan berperilaku.

Hal ini pula yang menimpa kaum perempuan dan para ibu negeri ini. Tidak sedikit di antara mereka yang menerima ide yang disodorkan kaum feminis yang notabene lahir dari sistem kapitalisme sekuler.

Jargon perempuan mandiri, perempuan berhak sepenuhnya atas tubuhnya, sudah menjadi opini di kalangan kaum perempuan. Kaum perempuan lebih memilih menjadi wanita karier. Bahkan, akhirnya peran ibu rumah tangga dipandang sebelah mata karena ia tidak mampu memberikan kontribusi secara ekonomi kepada keluarga.

Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Islam. Peran seorang ibu ketika bisa menjalankannya dengan baik, maka ia merupakan peran mulia. Islam telah memberikan aturan yang khusus kepada kaum perempuan untuk mengemban tanggung jawab sebagai ibu sekaligus sebagai pengelola rumah suaminya.

Dalam kitab Muqaddimah Dustuur terdapat sebuah kaidah: Al-ashlu fil mar’ati annahaa ummun wa rabbatul bayti. Wa hiya ‘irdhun an yushana ‘hukum asal seorang perempuan adalah ibu dan pengatur rumah suaminya. Perempuan merupakan kehormatan yang wajib terjaga’. Tulisan ini akan membahas tentang pemahaman kaidah tersebut.

Landasan Dalil

Dalam pembahasan dalam kitab Taysiir al-Wushul ilal Ushul karya Syekh Atha’ bin Khalil, sebuah kaidah bisa diterima jika mendasarkan kepada nas-nas syarak, baik Al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw… Kitab Muqaddimah Dustuur juz 1 halaman 316 telah memaparkan landasan dalil dari kaidah ini, di antaranya:

الأمم بكم مكاثر فاني الولود الودود تزوجوا

“Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak). Karena sungguh aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak.” (HR Ahmad)

Kepada Nabi saw. datang seorang laki-laki yang kemudian berkata, “Saya sungguh berniat menikahi perempuan keturunan baik lagi cantik, tetapi ia mandul. Bolehkah saya mengawininya?“ Nabi saw. bersabda, “Tidak!“ Lalu datang laki-laki kedua dan beliau saw. juga melarangnya. Selanjutnya datang laki-laki ketiga, lantas Nabi saw. bersabda, “Nikahilah oleh kalian perempuan penyayang dan subur keturunannya. Sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi yang lain pada hari kiamat nanti.“ (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

“Sesungguhnya seorang perempuan berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal dia telah memberi manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air minum untuk saya dari sumur Abu Inabah.’ Setelah suaminya datang, lalu Nabi saw. bersabda kepada anak itu, ‘Wahai anak, ini ibu dan ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di antara keduanya yang kamu sukai.’ Lalu anak itu memegang tangan ibunya, dan wanita itu pergi bersama anaknya.” (HR Bukhari Muslim).

Dari hadis-hadis tersebut, sesungguhnya telah sangat jelas bahwa Islam memberikan peran yang sangat penting bagi seorang perempuan yakni sebagai ibu. Hal ini tampak dari nas tentang anjuran Rasulullah saw. kepada laki-laki yang hendak menikah dengan memilih yang subur dan penyayang. Hal ini dikuatkan dengan hadis terakhir yang menjelaskan nisbah pengasuhan anak ketika suami istri bercerai lalu anak diserahkan kepada ibunya.

Sedangkan kaitannya dengan pengelola rumah suaminya, kitab Muqaddimah Dustuur pun menjelaskan nas-nas yang mendasarinya. Hal ini berkaitan dengan kewajiban seorang istri untuk taat kepada suaminya dan tugas-tugas perempuan di dalam rumah suaminya, di antaranya:

قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى اِبْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ وَ قَضَى عَلَى عَلِيٍّ بِمَا كَانَ خَارِجًا مِنَ الْبَيْتِ

“Rasulullah saw. telah menetapkan atas putrinya, Fathimah ra. untuk mengerjakan tugas-tugas (di dalam rumah) dan telah menetapkan atas ‘Ali ra. untuk mengerjakan tugas-tugas di luar rumah.” (HR Ibnu Abiy Syaibah dalam Mushannif Ibnu Abiy Syaibah).

Tersisa satu hal lagi, yaitu bahwa perempuan adalah kehormatan yang wajib terjaga. Hal ini tampak dari aturan-aturan Islam yang menjaga kehormatan perempuan, semisal larangan berkhalwat, larangan melakukan perjalanan lebih dari sehari semalam kecuali bersama mahram, kewajiban menahan pandangan, serta aturan memakai jilbab dan khimar. (Lihat: QS An-Nuur: 31 dan Al-Ahzab: 59), dan sebagainya.

Penjelasan tentang hukum-hukum ini ada di dalam kitab An-Nizhamul Ijtima’iy fil Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani.

«لاَ يَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ دُوْنَ مَحْرَمٍ لَهَا»

“Tidak halal bagi seorang perempuan yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan safar dengan perjalanan sehari semalam tanpa mahramnya.” (HR Muslim)

Perempuan sebagai Ummun (Ibu)

Syarak mengatur sedemikian rupa agar misi keluarga dapat berjalan dengan baik. Dari sebelum pernikahan, syarak sudah mewanti-wanti untuk memilih pasangan subur, penyayang, dan memiliki pemahaman Islam yang mumpuni. Karena nantinya seorang perempuan akan menjadi ibu.

Hal itu menjelaskan kepada kita bahwa peran seorang ibu sangat penting dalam sebuah keluarga. Ibu adalah madrasah uula (sekolah pertama dan utama) bagi anak-anaknya. Tanggung jawab pengasuhan, pemeliharaan, dan pendidikan anak berada di pundaknya. Jika ia bukan penyayang, akan terbayang oleh kita hasil generasinya kelak.

Sebagai din yang lengkap dan sempurna, Islam menempatkan sosok ibu di posisi yang sangat tinggi dan tidak kalah penting dari peran kaum lelaki. Fungsi ibu bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga bersifat strategis dan politis. Oleh karenanya, Islam menuntut agar kaum perempuan untuk benar-benar menjalankan fungsi keibuan ini dengan optimal dan sebaik-baiknya.

Seorang ibu harus mampu mendidik anak-anaknya dengan rasa dan kasih sayang yang benar—mendahulukan rasa cinta dan sayang kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya—, sehingga anak-anaknya kelak akan mempunyai rasa cinta dan kasih sayang yang benar pula terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Rasa cinta seorang ibu terhadap anaknya tidak boleh menghalanginya untuk mendidik anaknya menjadi mujahid yang berkorban jiwa untuk Islam. Demikian pula, seorang anak tidak akan terhalang untuk mengorbankan miliknya yang paling berharga demi tegaknya Islam walaupun harus berpisah dengan orang tua dan keluarganya.

Kewajiban Rabbatul bait

Tentang kewajiban rabbatul bayt, yaitu sebagai pengelola dan pengatur rumah, Islam pun telah menjelaskannya. Dalam banyak hadis Rasulullah saw. juga telah memerintahkan kepada istri-istri beliau untuk melayani beliau saw. terkait aktivitas di dalam rumah, seperti,“Ya Aisyah, tolong ambilkan aku minum, ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku makan, ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku pisau dan asahlah dengan batu.”

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR Bukhari dan Muslim)

Perempuan adalah sebagai pemimpin rumah suami dan anak-anaknya. Hal ini mengandung pengertian bahwa peran kepemimpinan yang utama bagi perempuan adalah merawat, mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Di samping itu, ia pun berperan untuk membina, mengatur, dan menyelesaikan urusan rumah tangga agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain.

Dengan perannya ini, ia telah memberikan sumbangan besar kepada negara dan masyarakatnya. Sebab dengan begitu berarti ia telah mendidik dan memelihara generasi umat agar tumbuh menjadi individu-individu yang shâlih dan mushlih di tengah-tengah masyarakatnya.

Dengan begitu, bisa kita katakan bahwa kepemimpinan perempuan ini berperan melahirkan pemimpin-pemimpin di tengah-tengah umat.

Memuliakan Peran Ibu

Jika sistem kapitalisme memojokkan peran ibu, Islam justru memuliakannya. Suatu waktu, Asma’ ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengutamakan laki-laki dari wanita, maka kami mengimanimu dan mengikutimu. Dan kami para wanita serba terbatas dan kurang (dalam amal). Tugas kami hanyalah menjaga rumah dan melayani suami. Kami mengandung anak-anak mereka, sedangkan kaum laki-laki memiliki keutamaan dengan berjemaah, menyaksikan mayat, dan berjihad. Apabila mereka berjihad, kami menjaga harta dan memelihara anak mereka. Apakah kami dapat menyamai mereka dalam pahala, wahai Rasulullah?” Lalu Rasul saw. bersabda, “Pernahkah kalian mendengar dari wanita pertanyaan yang lebih baik dari ini? Kalau semua itu kalian lakukan dengan sebaik-baiknya, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang didapatkan suami-suami kalian.”

Sebagai muslimah, kita harus menyadari akan besarnya tanggung jawab terhadap masa depan Islam dan kaum muslimin, sehingga kita semua akan terpacu untuk berlomba meraih kembali kemuliaan sebagaimana para ibu pada masa Islam berjaya, yakni dengan membina diri kita dengan pemikiran-pemikiran Islam dan membentuk pola sikap kita dengan aturan-aturan Islam.

Dengan demikian, kita akan siap menjadi pendidik dan pencetak generasi mumpuni yang akan membawa umat ini kepada kebangkitan hakiki seperti kehendak Islam. Insyaallah.

“Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR Bukhari-Muslim dan Tirmidzi) [MNews/Gz]

3 komentar pada “Memahami Kaidah “Al-Ashlu fil Mar’ati Annahaa Ummun wa Rabbatul Bayti wa Hiya ‘Irdhun an Yushana”

  • Mila Erna

    Masya Allah…hanya Islam yg memuliakan perempuan

    Balas
    • Karsimah Sari

      Hanya Islam lah yang sangat memuliakan perempuan

      Balas
  • Sari lita

    Islam memulyakan perempuan.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *