Opini

Korporasi Arogan di Tengah Kasus Sengketa Lahan

Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.

MuslimahNews.com, OPINI — Beberapa waktu lalu, muncul kasus sengkarut kepemilikan lahan antara Sentul City, aktivis Rocky Gerung, dan warga di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. (republika, 3/10/2021). Kali ini, justru massa diberitakan melakukan perusakan Kantor Desa Bojong Koneng gara-gara tak terima dengan adanya penggusuran oleh pihak Sentul City.

Pihak Sentul City pun buka suara. Head of Corporate Communication PT Sentul City, David Rizar Nugroho, menegaskan pihaknya hanya menggusur tanah garapan milik warga pendatang, bukan rumah warga asli Bojong Koneng. Masalahnya, warga pendatang itu menguasai tanah garapan dari mafia tanah dan mereka mendirikan bangunan liar di atas tanah milik Sentul City. Tindakan tegas Sentul City ini sudah melalui koordinasi dengan pengurus RT dan RW desa setempat.

Mafia Tanah dan Sengketa Lahan Merajalela, Target Indonesia Bebas Sengketa Lahan 2025

Tak dimungkiri bahwa mafia tanah merajalela. Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencatat kasus yang terindikasi sebagai mafia tanah di Indonesia selama 2018–2021 mencapai 242 kasus. (cnnindonesia, 2/6/2021).

Memang, Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan RB Agus Widjayanto mengatakan bahwa kasus mafia tanah terbilang sedikit jika dibandingkan kasus sengketa dan konflik pertanahan karena perkara sengketa lahan, ternyata menjadi PR besar tersendiri bagi Kementerian ATR.

Perihal ini, Staf Khusus sekaligus Juru Bicara (Jubir) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Taufiqulhadi mengatakan sengketa lahan terus terjadi, karena pemegang hak tidak segera menyelesaikan fakta-fakta di atas lahannya. (kompas, 20/9/2021).

Menurut Taufiqulhadi, jika sebuah perusahaan merasa sebagai pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), maka seharusnya segera meminta pengadilan mengosongkan lahan tersebut. Masalahnya, jika tidak segera dikosongkan, lama-lama para penyerobot justru memiliki alasan untuk meminta peningkatan hak. Yakni, dari seorang penyerobot menjadi pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM), terutama jika sudah lebih dari 20 tahun ia menempati tanah tersebut.

Tak heran jika sejak 2017 Indonesia menargetkan program bebas sengketa lahan 2025. Kasus-kasus sengketa lahan, baik antarmasyarakat maupun antara masyarakat dan korporasi, diharapkan sudah tuntas pada 2025. Pemerintah pun menargetkan 126 juta bidang lahan di semua daerah di Indonesia sudah bersertifikat pada 2025 sebagai tanda bukti hak atas tanah. Masalahnya, dari 126 juta bidang lahan tersebut, baru 46 juta bidang lahan yang tersertifikasi. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mengupayakan percepatan pemberian sertifikat gratis, sehingga semua bidang lahan sudah terdaftar pada 2025. (kompas, 5/8/2017).

Namun, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menanggapi, justru ada sesat pikir dari pemerintah selama ini dengan melakukan reforma agraria melalui seremoni pembagian sertifikat. Menurut Dewi, sertifikasi tanah yang tanpa didahului oleh proses penataan ulang struktur agraria yang timpang, hanya akan melegalkan dan memperparah ketimpangan struktur penguasaan tanah yang sudah timpang antara masyarakat miskin, petani gurem, dan korporasi skala besar.

Tarik Ulur RUU Pertanahan

RUU Pertanahan sendiri sempat ditargetkan sah pada 24 September 2019, tetapi diputuskan untuk ditunda. Ini tersebab oleh adanya beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Diantaranya, RUU ini dinilai lebih membela kepentingan investor dan membuat posisi rakyat semakin lemah dalam konflik agraria.

Pada awal 2020, RUU tersebut sempat diajukan masuk Prolegnas 2020. Namun akhirnya, materi RUU Pertanahan masuk ke Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada Oktober 2020. Salah satu keputusannya, pengaturan pertanahan dikelola oleh Bank Tanah. Presiden Jokowi menegaskan Bank Tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria. (kontan, 11/10/2020).

Hanya saja, alih-alih mampu menuntaskan sengketa lahan, tujuan Omnibus Law UU Cipta Kerja di bidang pertanahan ini tidak menyederhanakan, tetapi justru mengambil substansi RUU yang bermasalah. Yakni tak lebih berupa copy paste dari RUU Pertanahan yang selama tertunda pengesahannya.

Terlebih soal pembentukan Bank Tanah, yang seolah-olah sejauh ini pemerintah kesulitan untuk menyediakan tanah. Pertanyaannya adalah, tanah untuk siapa? Nantinya Bank Tanah ini untuk pihak mana? Bukankah yang disebut kepentingan umum di UU Cipta Kerja lebih condong untuk kegiatan bisnis seperti kawasan ekonomi khusus, kawasan pariwisata, dan proyek prioritas yang ditetapkan oleh Presiden?

Dan bukankah saat ini sudah ada Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) yang sejatinya juga sudah menyelenggarakan fungsi Bank Tanah tersebut? Mengapa harus dibuat lembaga baru?

Tak ayal, fungsi Bank Tanah justru diduga kuat dalam rangka membantu mempermudah perizinan atau persetujuan usaha. Atas dasar ini, maka semua tanah yang dikumpulkan di Bank Tanah dapat memperoleh status Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Siapa yang mampu menggunakan HPL ini? Di alam demokrasi-kapitalisme, hal ini tak lain adalah para pemodal atau korporasi.

Lemahnya Negara dan Dampak Konflik Horizontal

Tak pelak, beragam upaya pemerintah untuk menangani sengketa lahan takkan pernah tuntas. Karena lagi-lagi kebijakannya berpihak kepada korporasi. Tak heran jika korporasi makin arogan.

Korporasi akan menghalalkan segala cara, termasuk bersedia menanam modal dalam format neoliberalisasi demi pengesahan suatu kebijakan. Konsekuensinya jelas sekali, peran negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang, sehingga individu pemodal akan lebih bebas berusaha. Negara pun kian lemah dan keberpihakannya makin mengarah pada kepentingan pemilik kapital. Terlebih adanya rente yang menggiurkan individu-individu pejabat yang mata duitan.

Selanjutnya, rakyat kecil takkan pernah lepas dari konflik horizontal dengan korporasi tersebut. Rakyat akan terus menjadi korban sengketa lahan selama sistem pengaturan pertanahan masih diberlakukan mengikuti arah pandang kapitalistik. Pembagian dan kepemilikan sertifikat lahan hanya sekadar pemoles agar rakyat diam ketika di sisi lain penguasaan lahan oleh korporasi justru ugal-ugalan.

Lihat saja fenomena orang kaya baru setelah mereka mendapat sekian miliar uang ganti rugi pembangunan infrastruktur. Padahal di balik itu semua, berapa besar kerugian ekologis yang terjadi? Bagaimana alih fungsi lahan yang tadinya produktif menjadi lahan komersial? Dampak berikutnya, bagaimana derasnya arus produk pangan impor?

Islam Menangani Sengketa Lahan

Islam selalu meniscayakan adanya pengurusan urusan umat oleh penguasa. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Hal ini termasuk soal pengelolaan pertanahan agar tidak terjadi sengketa di antara rakyat. Di sini Islam meyakini bahwa kebutuhan manusia berbeda-beda dalam hal kepemilikan tanah, dan hal ini tidak mungkin dapat disamakan.

Kepemilikan atau penguasaan tanah sejatinya didasarkan pada produktivitas tanah. Diantara sebab kepemilikan tanah yang diatur oleh Islam adalah soal menghidupkan tanah mati (ihyaul amwat). Menghidupkan tanah, berarti memakmurkannya. Yakni menjadikan tanah layak untuk lahan pertanian, membuat bangunan di atasnya, atau apa pun yang menunjukkan bukti pemakmuran tanah. Rasulullah saw. Bersabda : “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad).

Jika tanah dimiliki oleh orang yang lemah atau malas, tanah tersebut tidak akan dapat dikelola dengan baik, sehingga bisa mengurangi produktivitas tanah. Maka barangsiapa mampu berproduksi di tanah tersebut, dialah yang memilikinya. Demikian halnya, barangsiapa yang tidak mampu berproduksi, dia tidak dapat memiliki tanah tersebut.

Juga terdapat riwayat bahwa Khalifah Umar ra telah menjadikan masa penguasaan tanah oleh seseorang adalah selama tiga tahun. Jika tanah itu dibiarkan hingga habis masa tiga tahun lalu tanah itu dihidupkan oleh orang lain, orang yang terakhir inilah yang berhak atas tanah tersebut. Tindakan Khalifah Umar ra ini disaksikan oleh para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya. Dengan demikian, ketetapan ini menjadi Ijmak Sahabat.

Khatimah

Atas dasar kemampuan mengelola tanah menjadi produktif, potensi sengketa lahan dapat dihindari. Demikianlah pengelolaan tanah menurut Islam. Yang pastinya sesuai fitrah dan menjauhkan manusia dari sengketa yang berpotensi memunculkan kezaliman, alih-alih arogansi korporasi. [MNews]

3 komentar pada “Korporasi Arogan di Tengah Kasus Sengketa Lahan

  • Ga dari akar masalah jd ga beres2

    Balas
  • Yanti lubis

    Hanya islam solusi tuntas atas berbagai persoalan ummat termasuk masala sengketa tanah
    Atas dasar kemampuan mengelola tanah menjadi produktif, potensi sengketa lahan dapat dihindari pengelolaan tanah menurut Islam. Yang pastinya sesuai fitrah dan menjauhkan manusia dari sengketa yang berpotensi memunculkan kezaliman, alih-alih arogansi korporasi

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *