Opini

Menguatnya Ceruk Asing, BUMN Kian Compang-camping


Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.


MuslimahNews.com, OPINI — Diberitakan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengaku menjalin sejumlah kesepakatan penting dengan Cina, terutama terkait proyek strategis yang dikelola oleh BUMN (cnnindonesia.com, 6/6/2021).

Kerja sama Indonesia-Cina antara lain berupa produksi vaksin—mengingat Indonesia sebagai hub regional pembangunan pabrik bahan baku obat dan R&D obat herbal. Selain itu, ada pula kerja sama dalam sejumlah proyek infrastruktur vital dan kemaritiman.

Hal ini tak hanya di Pulau Jawa, tapi juga pembangunan strategis di wilayah Timur Indonesia, sebagai misi untuk mempertegas kedaulatan maritim dan perikanan. Dalam hal ini, Indonesia akan membangun pelabuhan perikanan di Ambon sebagai bagian untuk menyukseskan program lumbung ikan nasional. Erick pun menegaskan bahwa kerja sama itu memosisikan narasi terhadap perekonomian rakyat.

Ceruk Asing

Dengan sejumlah berita tentang kisruh BUMN belakangan ini, ternyata aroma ceruk asing di perusahaan plat merah itu makin terlihat. Tak ayal, hal ini menegaskan campur tangan asing yang juga kian pekat.

Meski memang hal ini sudah diinisiasi oleh Menteri BUMN sebelumnya, Rini Soemarno. Saat itu, tahun 2015, lembaga keuangan Cina berencana memberi pinjaman senilai US$50 miliar kepada sejumlah BUMN di Indonesia yang menggarap sejumlah proyek infrastruktur mulai tahun ini (tempo.co, 24/4/2015).

Kala itu, Rini mengatakan, pinjaman sekitar US$10 miliar akan diberikan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk menggarap proyek transmisi listrik. Selain itu, sambung Rini, pinjaman sekitar US$40 miliar akan diberikan oleh China Development Bank dan Industrial and Commercial Bank of Cina kepada BUMN untuk sejumlah proyek seperti pembangunan jalan bebas hambatan Trans Sumatra.

Rencananya, pinjaman juga diberikan untuk program perkapalan yang dikelola oleh PT Pelni (Persero), serta kereta cepat Jakarta—Bandung yang bakal dikelola oleh PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan untuk beberapa pelabuhan.

Berikutnya, pada September 2015, Rini membawa Direktur Utama dari tiga bank BUMN ke Beijing, Cina, untuk menandatangani perjanjian utang dengan Bank Pembangunan China (China Development Bank/CBD) (detik.com, 17/9/2015).

Bank Cina ini memberikan utang senilai US$3 miliar atau sekitar Rp42 triliun kepada PT Bank Mandiri Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI). Penandatanganan kerja sama utang dari Cina dilakukan antara Presiden Direktur CDB Zheng Zhijie, dengan Direktur Utama Bank Mandiri Budi G. Sadikin, Direktur Utama BRI Asmawi Syam, dan Direktur Utama BNI Achmad Baiquni. Rini ikut menyaksikan penandatanganan tersebut.

Suntikan pinjaman dari CDB akan digunakan untuk financing dan refinancing berbagai program pembangunan dan perdagangan selama periode Presiden Joko Widodo. Pinjaman tersebut digunakan oleh Bank BUMN untuk pembiayaan infrastruktur dan proyek lain yang meningkatkan ekspor. Sejumlah 30% dari dana pinjaman tersebut akan diterima dalam mata uang yuan atau Renminbi (RMB). Sementara sisanya dalam bentuk dolar AS.

Instrumen Hedging dan Merger dengan Asing

Ceruk asing yang lain di BUMN yakni dalam bentuk instrumen hedging. Pada tahun 2017, hal ini pernah disinggung oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Irawan. Ketika itu, Perry mengatakan, hedging mampu membantu mengurangi risiko saat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing tidak stabil. Saat nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, misalnya, perusahaan yang memiliki utang dalam dolar harus menanggung pembengkakan beban akibat selisih kurs.

Karena itu, BI mendorong BUMN agar menggunakan dan meningkatkan hedging ini, yang tak lain adalah transaksi lindung nilai. Transaksi tersebut dinilai mampu mengurangi risiko yang dihadapi perusahaan (tempo.co, 21/8/2017a).

Sementara itu, BUMN yang melakukan hedging ini adalah PLN. PLN melakukan hedging sebesar US$ 30 juta dengan tiga bank BUMN, yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Transaksi tersebut merupakan transaksi hedging pertama dengan instrumen call spread option valas terhadap rupiah (tempo.co, 21/8/2017b).

Instrumen call spread merupakan instrumen hedging terhadap risiko nilai tukar yang merupakan gabungan dua transaksi FX Option, yaitu buy call option dan sell call option. Transaksi dilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksi dengan nominal yang sama tapi dua strike price yang berbeda.

Kepala Divisi Treasury PLN Iskandar mengatakan, kebutuhan valas PLN per tahun hampir US$ 7,5 miliar. Dana tersebut digunakan untuk investasi dan operasional. Hedging dinilai mampu memitigasi risiko yang dihadapi PLN ketika volatilitas tak stabil. Selain itu, PLN juga diwajibkan hedging 25% dari net exposure.

Dan kini, pada masa Erick Thohir, sepertinya semuanya tinggal ketok palu. Di samping instrumen hedging yang sudah dilaksanakan sejak 2017 tadi, upaya merger dengan asing, yakni BUMN China, juga telah tiba sesuai target waktu.

Diberitakan, perusahaan karya BUMN, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) akan membentuk aliansi strategis pembangunan infrastruktur transportasi dan industri lainnya di Indonesia dengan BUMN China, China Communications Construction Company Co. Ltd (CCCC) (cnbcindonesia.com, 7/6/2021).

Kedua perusahaan telah menandatangani Master Agreement untuk menciptakan sinergi dengan prinsip saling menguntungkan, efisien, efektif, dan profesional. Kerja sama antara kedua perusahaan mencakup pengembangan infrastruktur transportasi dan industri lainnya seperti proyek tol Kayu Agung – Palembang – Betung, tol Ciawi – Sukabumi, Pipa Distribusi BBM Cikampek—Plumpang, Revetment Pelabuhan Benoa Bali, serta beberapa proyek infrastruktur lainnya.

Erick mengatakan sektor konstruksi menjadi salah satu pendorong ekonomi dalam masa dan pascapandemi. Menurut Erick, sektor konstruksi harus terus berjalan, bukan hanya untuk memperkuat konektivitas dalam negeri tetapi sebagai salah satu aktivitas penggiat ekonomi yang akan membantu Indonesia tumbuh selama dan pascapandemi. Bagaimanapun, kata Erick, kita harus bisa keluar dari krisis akibat pandemi dan tetap memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak.

Krisis, Jalan Masuk Penjajahan

Bagaimanapun, syahwat penjajahan oleh para pemodal kapitalisme tidak akan pernah terpuaskan hingga ke liang kubur. Ditambah adanya pandemi sejak akhir 2019, syahwat penjajahan itu kian memuncak, akibat roda ekonomi kapitalisme yang juga melambat.

Karena itu, kapitalisme membutuhkan dana segar agar roda ekonomi mereka tetap bisa berputar. Tak pelak, pandemi pun diposisikan sebagai krisis untuk makin meningkatkan imperialisasi kapitalisme, sebagai senjata termasyhur mereka.

Tak heran, jika selama pandemi, sejumlah perjanjian tata niaga internasional juga diluncurkan. Mulai dari WHO yang menjadi “stempel” keabsahan produk-produk kapitalisme di bidang kesehatan sehingga produk tersebut digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia.

Juga beragam konvensi internasional lain yang melegalkan munculnya sejumlah kebijakan yang “wajib” diadopsi secara lokal oleh tiap negara selama pandemi. Langkah berikutnya, lajur-lajur eksploitasi milik kapitalisme itu kian mulus menunaikan penjajahan ekonomi dengan berkedok pandemi.

Namun sungguh, ini semua justru memberi ruang bagi kapitalisme untuk menguatkan cengkeramannya di negara-negara dunia ketiga di seluruh dunia. Upaya ini datang dari baik kapitalisme Barat maupun kapitalisme Timur (Cina).

Apa kita tidak ingat dengan kisah pahit Zimbabwe dan Sri Lanka, yang awalnya diberi “bantuan dana” (utang) oleh Cina untuk membangun infrastruktur di negeri mereka. Namun sayangnya, mereka gagal bayar. Zimbabwe saat itu harus mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Sementara, Sri Lanka harus rela melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp1,1 triliun atau sebesar 70% sahamnya dijual kepada BUMN Cina.

Sekilas, kondisi mereka tak beda dengan negeri kita saat ini. Betapa BUMN sudah compang-camping. Ditambah lapuknya akidah Islam sebagai landasan aturan kehidupan, negeri ini telah makin sekuler dan kapitalistik. Akibatnya, kelemahan akidah ini dipastikan membuat negara rapuh, dan pada akhirnya, semua tentu menguatkan cengkeraman kapitalisme global.

Khatimah

Sungguh, semua ini bertentangan dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah Swt. kepada Rasul-Nya sebagai utusan akhir zaman, “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisaa [4]: 141)

Karena itu, andai seluruh manusia, khususnya kaum muslimin dan dunia Islam, memahami ayat Allah ini, tentu saja pertolongan Allah akan segera terwujud. Yakni dengan mengganti sistem kehidupan mereka, dari sekuler menjadi Islam. Insyaallah selanjutnya akan menjadikan kehidupan kaum muslimin berkah dalam naungan Khilafah, sebagai sistem kehidupan yang juga disyariatkan oleh Allah. [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *