Tsaqafah

[Persepsi Berbahaya] Globalisasi (Bagian 2/2)

Sambungan dari bagian 1/2

Istilah globalisasi tidak untuk menyifati sesuatu bahwa keberadaan atau terwujudnya sesuatu itu telah berskala global di sebagian besar penjuru dunia, tetapi untuk menyatakan bahwa ada satu atau beberapa pelaku yang bermaksud mengglobalkan sesuatu.


MuslimahNews.com, PERSEPSI BERBAHAYA — Teropinikan pula bahwa jika harapan-harapan itu terwujud, manfaatnya akan kembali juga bagi umumnya orang Amerika, karena akan membuat Amerika terspesialisasi sebagai negara industri maju dengan tenaga kerja yang kerja profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar.

Dan juga, pengiriman tenaga-tenaga buruh kasar ke luar negeri, artinya adalah barang akan terkumpul atau dibuat oleh buruh-buruh asing yang rendah upahnya di luar negeri, kemudian barang itu akan kembali ke pasar Amerika dengan harga yang sangat murah.

Masalah ini berakhir secara politis tahun 1992 tatkala Clinton memegang tampuk kekuasaan tahun 1993 yang kemudian mengubah kebijakan ekonomi luar negeri Amerika. Pendahulu Clinton—George Bush—telah mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan ekspor barang dan memprakarsai pembentukan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) sebagai pengganti GATT (Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan) untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi ekspor.

Namun, para investor dan kalangan bisnis Amerika memandang bahwa yang lebih penting dari peningkatan ekspor adalah penyempurnaan langkah yang telah dirintis pada akhir 80-an, yaitu restrukturisasi yang tuntas terhadap perusahaan-perusahaan, untuk menggiatkan perusahaan dan meningkatkan kemampuannya menghasilkan laba.

Mereka memandang pula bahwa restrukturisasi ini akan memungkinkan dikirimkannya para tenaga ahli (bukan hanya barang) ke luar negeri, di samping memungkinkan Amerika untuk terjun dalam kompetisi yang sangat ketat melawan perusahaan-perusahaan non-Amerika.

Para investor juga melontarkan ide-ide lain kepada Clinton dan menginginkan agar Clinton mengadopsinya. Mereka mengatakan, ketika Amerika bertahun-tahun melancarkan Perang Dingin dan memegang tanggung jawab internasional lainnya, Eropa dan Jepang telah berhasil memperkukuh kekuatan ekonominya, sehingga menjadi ancaman bagi kepentingan-kepentingan vital Amerika.

Padahal, Perang Dingin telah berakhir, sehingga Amerika wajib mempersiapkan kemampuannya untuk bersaing dengan Eropa dan Jepang, serta mulai menyaingi keduanya dengan kekuatan penuh. Amerika juga tidak perlu lagi menjaga kepentingan Eropa dan Jepang seperti pada saat Amerika melancarkan Perang Dingin.

Demikian pendapat para investor itu. Bahkan, mereka menyerukan untuk mengaktifkan dinas intelijen Amerika untuk memata-matai perekonomian Eropa dan Jepang beserta perusahaan-perusahaannya, setelah sebelumnya kurang terpakai untuk itu karena adanya Perang Dingin dan masalah-masalah politik lainnya.

Baca juga:  [Persepsi Berbahaya] Terorisme

Menyambut berbagai ide dan opini tersebut, Clinton dan Menteri Keuangan Robert Rubin—yang juga salah seorang pengusaha besar di Wall Street—mengadopsi kebijakan yang menyerukan dibukanya pasar-pasar dunia seluruhnya, tidak hanya untuk meningkatkan ekspor Amerika, tetapi juga untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan Amerika berproduksi di mana pun selama tenaga kerjanya murah, memasarkan jasa-jasa dan komoditas industrinya di Amerika dan di mana saja selama Amerika ingin eksis di pasar internasional.

Namun, yang terpenting adalah kebijakan keduanya untuk menggiatkan perusahaan-perusahaan keuangan Amerika (yaitu beraneka macam bank, perusahaan asuransi, dan kantor pialang saham) untuk menembus pasar-pasar modal di luar Amerika.

Ini adalah hal baru, sebab belum pernah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di luar Amerika dalam zona yang sangat luas, di mana sebelumnya kedatangan mereka di kebanyakan negeri tidak pernah disambut baik disebabkan aktivitasnya yang berbahaya.

Sebab, perusahaan-perusahaan keuangan pada tabiatnya selalu berupaya untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, premi asuransi, dana saham dan obligasi, sehingga terjadi akumulasi dana yang sangat besar pada perusahaan keuangan tersebut yang kemudian dapat dia kelola sesuai kehendaknya.

Para investor itu senantiasa dihantui oleh suatu ide bahwa segera setelah berakhirnya Perang Dingin, dunia mau tak mau akan terbagi menjadi 3 (tiga) zona kekuatan ekonomi raksasa:

Pertama, zona yang meliputi Eropa secara keseluruhan yang akan didominasi negara-negara Eropa Barat. Kedua, zona yang meliputi sebagian besar Asia, yang akan dikuasai oleh Jepang. Ketiga, zona yang meliputi benua Amerika, yakni Amerika Utara dan Amerika Latin, yang akan dikuasai oleh Amerika Serikat.

Mereka cemas kalau ide ini menjadi kenyataan. Karena itu, mereka menyerang ide ini dengan ganas dan mencapnya sebagai ide yang bersifat regional belaka. Mereka mengisyaratkan bahwa Eropa dan Jepanglah yang berada di balik sosialisasi ide tersebut.

Para investor itu kemudian melontarkan ide penggantinya, yaitu bahwa dunia telah menjadi satu dan bahwa tak ada seorang pun yang lebih berhak dari yang lain untuk mendapatkan sebagian darinya. Semua pihak berhak untuk saling bersaing di mana pun juga.

Mereka mempropagandakan ide ini melalui serangan media massa yang sangat intensif dan pemerintahan Clinton pun akhirnya mengadopsi ide ini. Karena itu mereka lalu menerbitkan banyak buku, di antaranya buku yang membicarakan “globalisasi” kegiatan-kegiatan perusahaan Amerika.

Baca juga:  Jalan Tengah (Sikap Moderat/Kompromi)

Serangan media massa di Amerika itu berhenti ketika pemerintahan Clinton mengadopsi ide tersebut pada awal masa pemerintahannya. Namun, serangan itu terus berlangsung ke luar Amerika di bawah kendali pemerintahan Clinton beserta lembaga-lembaga pelaksananya.

Di luar Amerika, khususnya di negara-negara yang disebut “negara-negara berkembang”, serangan media massa tetap berlangsung masif, yang akhirnya menyibukkan para penduduknya untuk memikirkan ide-ide yang dangkal dan mengecoh, dengan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas dan lemah, disertai banyak pemutarbalikan fakta yang tidak bermutu dan terasa aneh bin ajaib. Akibatnya, banyak orang yang kebingungan menghadapi ide “globalisasi”.

Meskipun terdapat kekacauan pada ide-ide yang dilontarkan dalam serangan media massa tersebut, tetapi serangan ini memang telah terencana secara sentral untuk mencapai hasil-hasil tertentu, yaitu membentuk dan membuat opini umum agar masyarakat membuka pintu yang seluas-luasnya terhadap segala kegiatan perusahaan-perusahaan Amerika dalam serangannya yang total guna memetik hasil-hasil kemenangan Perang Dingin. Selain itu juga agar Amerika dianggap lebih berhak menguasai pasar tersebut daripada Eropa dan Jepang.

Sangat disayangkan, serangan tersebut ternyata telah berhasil mencapai target-targetnya, di samping telah makin memantapkan para penguasa yang cenderung kepada Barat untuk membius bangsanya sendiri dalam menghadapi serangan terbaru Amerika dalam upayanya untuk menembus negeri-negeri mereka.

Upaya ini bertujuan untuk membuka pasar negeri-negeri tersebut terhadap barang buatan Amerika, memanfaatkan tenaga buruhnya yang murah meriah demi kepentingan Amerika, mengalirkan harta kekayaan bangsanya ke dalam kantong perusahaan-perusahaan keuangan Amerika, serta mengendalikan pasar-pasar modalnya untuk kepentingan usaha Amerika.

Ide-ide yang dijajakan dengan kedok “globalisasi” yang dilontarkan Amerika ke luar negeri, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, antara lain:

  • Setelah hancurnya Uni Soviet, tak ada lagi di dunia ini selain sistem ekonomi Barat yang mereka namakan “Sistem Ekonomi Pasar”, untuk menggantikan namanya yang sebenarnya, yaitu “Sistem Ekonomi Kapitalisme”, yang patut diingat kerakusannya dan reputasinya yang sangat buruk. Dikatakan bahwa seluruh negeri-negeri di dunia kini telah menerapkan sistem tersebut, atau minimal berhasrat dan berupaya untuk menerapkannya.
  • Dunia modal seluruhnya telah menjadi satu, sebab para pemiliknya mampu memindahkannya ke negeri mana pun atau mampu menanamkannya di bidang investasi mana pun dengan keuntungan yang lebih besar daripada pihak lain. Dikatakan bahwa pemindahan modal ini dapat berlangsung secepat kilat karena dimudahkan oleh sarana-sarana komunikasi yang cepat, dan bahwa modal ini tak akan diinvestasikan di negeri-negeri yang membuat penghalang-penghalang untuk menghambat aliran modal.
  • Dunia kerja seluruhnya juga telah menjadi satu. Tetapi perusahaan-perusahaan yang mereka katakan berasal dari bermacam-macam negara, sebenarnya tidak demikian faktanya. Karena, perusahaan induknya (holding company) tetap berasal dari satu negara saja dan tak mungkin kecuali berasal dari satu negara. Perusahaan-perusahaan ini dikatakan berkemampuan memproduksi atau memasarkan barang dalam skala global, sehingga negeri mana pun yang sedang giat membangun akan menyambut perusahaan-perusahaan tersebut untuk membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, atau untuk memasarkan produk-produknya. Jika tidak mau, perusahaan itu akan berpaling menuju negara lain.
  • Sarana-sarana komunikasi di seantero pelosok dunia seluruhnya telah sempurna dan saling berhubungan secara kompleks sedemikian rupa, sehingga tak ada satu pihak pun yang dapat mendominasinya. Dikatakan bahwa saling keterkaitan ini akan menimbulkan kondisi di mana informasi yang diterima masyarakat hampir sama, bahkan berbagai pendapat dan perasaan mereka pun hampir-hampir homogen.
Baca juga:  [Persepsi Berbahaya] Globalisasi (Bagian 1/2)

Inilah beberapa ide “globalisasi” yang dijajakan di negara-negara Dunia Ketiga. Tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melakukan privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), agar mereka dapat dengan mudah membelinya.

Mereka mengatakan bahwa tak ada alternatif lain di luar pilihan-pilihan tersebut, jika kita memang ingin menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk mengglobalisasikan modal dan tenaga kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan tetap terbelakang, kata mereka.

Maka, jangan sampai ada seorang pun yang lalai dari pengaruh seruan dan propaganda yang memutarbalikkan fakta ini, dari kedok “globalisasi” yang digunakan untuk menutupi hakikat sebenarnya di negeri mana pun yang sedikit di dalamnya orang-orang yang sadar dan bertanggung-jawab, dari kecenderungan penduduknya untuk mengikuti seruan-seruan tersebut dari media massa, serta dari meratanya ketidaktahuan akan masalah ini!

Oleh karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda “globalisasi” ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, serangan kali ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab, serangan kali ini memang tidak memakai kedok agama, meskipun sebenarnya lebih mengerikan. [MNews/Rgl]

Sumber: Buku Persepsi-Persepsi Berbahaya untuk Menghantam Islam dan Mengukuhkan Peradaban Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *