BeritaNasional

Kajian Toleran dan Intoleran, Pengamat: Ini Pesanan Barat

MuslimahNews.com — “Ini pesanan Barat, mereka hanya mengulang kasus-kasus lama yang menurutnya tidak diselesaikan oleh Pemda. Karena itu mereka tidak bakal meninjaunya dari realitas kehidupan riil yang terjadi antara Muslim dan non Muslim yang sebenarnya berjalan cukup normal,” kata Pratma Julia Sunjandari kepada MNews terkait rilis SETARA, Rabu (12/12/2018)

SETARA Institute melakukan kajian dan indexing terhadap 94 kota di Indonesia terkait toleransi dan intoleransi. Dalam temuannya, SETARA menyatakan dalam press release di laman website resminya, Jumat (7/12/2018), terdapat 10 kota dengan skor toleransi terendah, yaitu secara berurutan: Tanjungbalai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, dan Sabang.

“Kajian toleran dan intoleran adalah kajian basi yang diulang-ulang setiap tahun untuk menggiring opini masyarakat dalam meragukan ajaran Islam. Parameter ukurannya jelas sekularisme,” kata Pratma.

Lihat saja, sambung Pratma, semua kota yang level toleransinya rendah adalah kota yang dianggap tidak toleran pada praktik beragama yang menyimpang dari ajaran Islam. “Seperti Ahmadiyah dan Syiah, atau pengamanan tinggi kaum Muslimin terhadap keselamatan akidah dan syariahnya seperti kasus Gereja Yasmin di Bogor, keberatan terhadap azan di Tanjung Balai, atau Perda sanksi syariat dalam Perda-perda di Aceh,” tukas Pratma Julia, pemerhati kebijakan politik.

Baca juga:  Desak Cabut Larangan Hijab dan Jenggot, Imam Dipecat

Menurutnya, wajar jika salah satu pejabat di Aceh geram dengan hasil kajian itu, karena justru warga non Muslim tidak terganggu dengan pemberlakuan jinayah di sana. “Dan pasti mereka juga tidak akan fair dalam menilai ‘perasaan umat Islam’ sebagai pihak yang terancam keimanan dan keselamtan menjalankan syariah,” tegasnya.

“Kalaupun terjadi konflik di masyarakat, itu terjadi karena aturan internasional dan pemerintah nyata-nyata memang tidak berpihak pada Muslim. Inilah anehnya, mereka berteriak ‘tirani mayoritas’ tapi nyatanya umat Islam yang menjadi bulan-bulanan media mainstream, lembaga-lembaga HAM atau tokoh-tokoh pemuja Barat yang menzalimi kauk Muslim dengan predikat sumir sebagai kaum intoleran,” sambung Pratma.

Hari ini, kata Pratma Julia, justru intoleransi menimpa Muslim seluruh dunia. Islamofobia di Eropa, kamp konsentrasi Uyghur di Xinjiang hingga Myanmar. “Itulah hipokritnya aturan sekularis. Di Indonesia mereka lantang bela HAM non Muslim, tapi di luar sana mereka hilang suara tentang nasib Muslim,” sambungnya.

Lalu dia menjelaskan bagaimana perlakuan Islam terhadap kaum non Muslim, “Padahal di zaman keemasan Islam, sejak perjanjian Hudaibiyah pada masa Rasulullah hingga Kekhilafan setelahnya tidak pernah terjadi kezaliman terhadap non Muslim. Pakar sejarah seperti Karen Amstrong atau TW Arnold memotret jelas kehidupan non Muslim yang sejahtera tanpa persekusi dalam Khilafah. Faktor perekatnya bukan toleransi namun pelaksanaan syariat Islam secara kaaffah yang memang memuliakan manusia, apapun agamanya,” tutupnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *