[Opini] Utang Terkendali, Dalih untuk Berutang Lagi?

Sejumlah ekonom mengkritik kebijakan pemerintah yang terus menambah utang. Tentu sangat beralasan mengapa orang-orang dalam lingkaran ekonomi ini bersuara, sebab dalam menggenjot pembangunan, pemerintah seolah gali lubang tutup lubang, menutup utang dengan utang. Benarkah demikian?


Penulis: Juanmartin, S.Si., M.Kes.

MuslimahNews.com, OPINI — Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan buka suara soal kritik keras terkait utang luar negeri Indonesia yang sudah mencapai Rp6.000 triliun lebih. Luhut mengatakan bahwa sejauh ini utang masih dalam ambang batas yang terkendali.

Sebelumnya, sejumlah pihak melontarkan kritik atas utang Indonesia yang kian menggunung. Sebut saja ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini yang memprediksi besar kemungkinan Presiden Jokowi akan mewariskan utang sebesar Rp10 ribu triliun lebih ke presiden berikutnya.

Didik mencatat, utang yang menjadi tanggungan pemerintah bukan hanya di APBN sebesar Rp6.527 triliun, tetapi juga utang BUMN sebesar Rp2.143 triliun. Adapun utang BUMN keuangan sebesar Rp1.053,18 triliun dan BUMN nonkeuangan sebesar Rp1.089,96 triliun.

Ekonom yang juga pernah menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi, Rizal Ramli pun turut mengkritik kebijakan pemerintah yang terus menambah utang. Tentu sangat beralasan mengapa sejumlah ekonom bersuara, sebab dalam menggenjot pembangunan, pemerintah seolah gali lubang tutup lubang, menutup utang dengan utang.

Menepis Kritik

Untuk menepis kritik yang muncul dari beberapa pihak beberapa waktu belakangan, Menteri Luhut menyinggung bahwa beberapa utang yang pemerintah tarik adalah untuk mendanai proyek strategis. Menurutnya, hal itu memang wajar, sebab seluruh negara di dunia pun banyak yang melakukannya. Menurutnya lagi, tidak akan jadi masalah bila utang mencapai Rp6.000 triliun, sebab hasilnya pun untuk masyarakat luas juga.  Ia menegaskan rasio utang Indonesia terhadap PDB masih di bawah 60%.

Sayangnya, meski Luhut mengatakan utang Indonesia masih terkendali, kenyataan di lapangan utang-utang tersebut berdampak langsung pada rakyat, sebab sejatinya rakyatlah yang harus membayarnya.

Terlebih pada masa pandemi, guncangan ekonomi sangat terasa. Tidak sedikit perusahaan melakukan PHK massal terhadap karyawannya. Alhasil, ekonomi rakyat kian sulit. Bantuan sosial hanyalah obat penenang, itu pun tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan individu yang layak.

Belum usai membahas utang, pemerintah yang beberapa waktu lalu resmi mengesahkan UU Omnibus Law justru membuka lebar pintu masuknya investasi. Padahal, sebagian besar investasi itu adalah utang. Sebagaimana yang pernah terungkap dari pernyataan Menteri Luhut bahwa total investasi yang akan mengalir masuk Indonesia pada 2021 sebesar US$132 miliar atau sekitar Rp1.890 triliun (kurs Rp14.320/US$). Desember 2021 ini akan masuk investasi ke Kalimantan Utara (Kaltara).

Benarkah untuk Rakyat?

Menteri Luhut mengungkap bahwa utang yang pemerintah ajukan adalah untuk mendanai proyek strategis. Tentu kita layak bertanya, benarkah rakyat menikmati proyek-proyek strategis itu? Atas alasan apa pemerintah menggenjot proyek strategis di masa pandemi? Alih-alih memulihkan ekonomi rakyat yang terguncang akibat pandemi, pemerintah justru sibuk mencari sumber-sumber utang untuk mendanai sejumlah proyek yang bahkan bermasalah.

Lihat saja pembangunan sepur cepat Jakarta—Bandung, juga proyek kereta cepat Bandung—Jakarta, serta proyek pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan di tengah kondisi pandemi, sungguh melukai hati rakyat.

Mengapa masih sesumbar bahwa proyek-proyek tersebut adalah untuk rakyat? Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa pembiayaan proyek strategis nasional di masa pandemi adalah langkah pemborosan, bukan prioritas. Apalagi dananya bersumber dari utang. Jika proyek-proyek tersebut mangkrak atau gagal, tetap saja rakyat yang kena getah, alih-alih menikmati pembangunan.

Meluruskan Paradigma Mengenai Utang

Untuk menggeliatkan perekonomian nasional, agaknya pemerintah tidak memiliki jalan lain selain berutang dan berburu investasi. Wajar jika pemerintah juga membentuk tim satuan tugas percepatan investasi.

Sebagaimana kita ketahui, Presiden Jokowi telah menerbitkan Keppres 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi pada 4/5/2021 lalu. Keppres ini dikeluarkan dengan pertimbangan untuk meningkatkan investasi dan kemudahan berusaha dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja.

Padahal, utang bukanlah satu-satunya pilihan untuk memulihkan ekonomi. Indonesia yang memiliki sumber daya alam ada modal untuk itu. Sayangnya, sistem kapitalisme yang diadopsi sebagai sistem hidup negara ini telah menjadikan tata kelola ekonomi rakyat menjadi semrawut. Prinsip ekonomi yang menitikberatkan pada pemodal membuat kendali ekonomi berorientasi pada segelintir orang.

Teori trickle down effect adalah fatamorgana. Sebab, stimulus yang bersumber dari pemodal, entah itu berbentuk utang maupun investasi, bukan memeratakan sirkulasi ekonomi. Sebaliknya, ketimpangan ekonomi kian tampak. Parahnya, rakyatlah yang harus menanggung utang lewat beragam pajak yang pemerintah bebankan.

Paradigma mengenai utang harus diubah. Utang bukanlah satu-satunya solusi, melainkan alternatif solusi. Itu pun tanpa embel-embel intervensi negara lain dalam bentuk perjanjian ekonomi. Konsep inilah yang dianut dalam sistem pemerintahan Islam.

Perspektif Islam

Suatu negara tentu berpeluang mengalami masalah ekonomi. Di sinilah mekanisme pemulihan secara sistemis hadir untuk menyelesaikan masalah. Dalam Islam, hukum utang boleh-boleh saja. Akan tetapi, dalam hubungan kenegaraan, pemerintah Islam (Khilafah) menghindari berbagai bentuk skema utang yang bersyarat riba dan berpotensi menjadi alat penjajahan.

Mekanisme pengelolaan APBN Khilafah yang berpusat pada Baitulmal memastikan terpenuhinya kebutuhan individu rakyat. Jika kas Baitulmal kosong, negara boleh memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah). Jika kondisi ini belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat, negara boleh berutang dengan syarat sesuai syariat.

Meski demikian, sistem ekonomi Islam sejatinya merupakan sistem ekonomi mandiri. Semaksimal mungkin Khilafah akan membangun kemandirian ekonomi. Pemahaman bahwa untuk menjadi negara terdepan dan diperhitungkan dalam konstelasi politik internasional membuat Khilafah mengerahkan segenap upaya untuk menjadi negara terdepan, jauh dari intervensi.

Untuk itu, Khilafah memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Selain itu ada pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, serta pemasukan dari hak milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, dan tambang.

Dengan mekanisme inilah, Khilafah yang pernah menguasai dua per tiga dunia, tangguh dan disegani negara-negara dunia lainnya. Dengan pemahaman akan sabda Rasulullah bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggian Islam, negara menjalankan sistem ekonomi yang berpengaruh, baik di dalam maupun luar negeri. Wallahualam. [MNews/Has]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.