Opini

[Opini] Kelas Rawat Inap BPJS Dihapus, Harapan Kesehatan Murah Kian Pupus

Kebijakan penghapusan kelas mungkin bisa menambah jumlah kas masuk ke BPJS Kesehatan, tetapi tidak otomatis menyelesaikan persoalan defisit. Belum lagi, iuran yang makin mahal membuat kesehatan makin tidak terjangkau oleh rakyat sehingga harapan akan adanya layanan kesehatan yang murah kian pupus.

Penulis: Nida Alkhair

MuslimahNews.com, OPINI — Tahun depan, kelas rawat inap BPJS Kesehatan akan dihapus dan hanya ada kelas standar. BPJS menyatakan bahwa penghapusan kelas ini bertujuan menjalankan prinsip asuransi sosial dan ekuitas di program JKN, yakni kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis tanpa terikat besaran iuran. (kompas.com, 12/12/21).

Nantinya, hanya akan terdapat dua kelas kepesertaan, yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI. Meski mengklaim kelas standar, nyatanya ketentuan untuk kelas PBI dan non-PBI berbeda. Misalnya, terkait ketentuan luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar. Kamar untuk kelas non-PBI lebih luas dengan jumlah tempat tidur per kamar lebih sedikit daripada kelas PBI.

Sementara soal iuran, belum ada penetapan soal kenaikan dan nominalnya, saat ini masih dalam proses penghitungan. Namun, beberapa pihak menduga bahwa besaran iuran akan sama dengan kelas 2 saat ini, yakni sekitar Rp100 ribu per bulan.

Menguntungkan Asuransi Swasta

Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan melebihi kelas standar bisa memilih salah satu di antara dua opsi, yakni mengikuti asuransi kesehatan tambahan (swasta) atau membayar sendiri selisih biaya antara yang BPJS Kesehatan jamin dan biaya yang seharusnya peserta bayar.

Ada dugaan, penghapusan kelas rawat inap BPJS ini akan menguntungkan asuransi swasta, serta akan membuka peluang bisnis terkait pelayanan bagi peserta yang ingin mendapat layanan lebih dari yang BPJS sediakan.

Baca juga:  Kesehatan Gratis, Quo Vadis??

Penghapusan kelas ini juga berkonsekuensi peserta BPJS kelas 3 harus membayar lebih mahal daripada iuran saat ini. Jika biasanya membayar Rp35 ribu, ke depan harus membayar lebih.

Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tentu akan memberatkan masyarakat, utamanya yang selama ini menjadi peserta kelas 3.

Salah satu alasan penghapusan kelas BPJS adalah untuk menutup defisit yang selama ini selalu terjadi. Namun, sebenarnya langkah ini kurang efektif karena biang keladi defisit di BPJS Kesehatan adalah adanya fraud (kecurangan) oleh oknum-oknum tertentu, misalnya dengan memasukkan suatu tindakan yang sebenarnya tidak dilakukan ke dalam rekapitulasi penanganan pasien. Akibatnya, biaya yang harus BPJS tanggung pun membengkak.

Faktor lain penyebab defisit adalah buruknya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sehingga pasien rujukan ke rumah sakit menjadi banyak. Akibatnya, biaya yang harus BPJS Kesehatan bayar juga makin mahal. Dengan demikian, kebijakan penghapusan kelas mungkin bisa menambah jumlah kas masuk ke BPJS Kesehatan, tetapi tidak otomatis menyelesaikan persoalan defisit.

Di sisi lain, kesehatan makin tidak terjangkau rakyat. Iuran makin mahal meski dengan dalih “demi layanan yang standar”. Harapan akan adanya layanan kesehatan yang murah kian pupus.

Paradigma Kapitalisme

Sengkarut persoalan yang BPJS hadapi, baik defisit, biaya meningkat, layanan yang banyak mendapatkan kritikan, dan lain-lain, bermuara pada satu persoalan dasar, yaitu paradigma kapitalisme dalam pengelolaan sektor kesehatan.

Biaya kesehatan memang mahal, misalnya terkait penelitian penyakit, industri obat, alat kesehatan, laboratorium, dan sebagainya. Biaya ini kian terasa berat karena banyak terkuasai korporasi yang bermotif meraih untung besar. Akibatnya, layanan kesehatan pun menjadi mahal. Istilah “orang miskin dilarang sakit” tampaknya jelas dalam realitas.

Baca juga:  BPJS Kesehatan Terima Penghargaan, Akankah Berkorelasi Positif pada Layanan Kesehatan?

Ironisnya, penguasa turut mencari keuntungan dalam bisnis kesehatan. Pemerintah secara bertahap melepaskan tanggung jawabnya dalam penyediaan layanan kesehatan bagi rakyat. Berawal dari pengalihan tanggung jawab dari pemerintah pada BPJS, selanjutnya iuran BPJS pelan-pelan naik, dan kini muncul kebijakan penghapusan kelas yang tampaknya juga bisa berujung kenaikan iuran.

Terlihat jelas bahwa penguasa menggunakan paradigma kapitalisme dalam urusan kesehatan, yaitu paradigma mencari untung, bukan untuk memberi layanan terbaik.

Hal ini sungguh bertolak belakang dengan sistem Islam, yakni Khilafah. Dalam Islam, kesehatan adalah hak rakyat dan merupakan kewajiban negara untuk memfasilitasinya.

Sistem Islam

Negara Khilafah menyediakan layanan kesehatan untuk mewujudkan jaminan terhadap urusan rakyat, bukan untuk mencari untung. Visinya adalah mewujudkan layanan terbaik untuk rakyat, bukan besaran dana yang masuk ke kas negara. Bahkan, dalam Khilafah tidak ada kas satu dinar pun yang dipungut dari sektor kesehatan, karena penyelenggaraannya gratis.

Bukan tanpa alasan Khilafah menggratiskan layanan kesehatan. Rasulullah saw. mencontohkan penggratisan layanan kesehatan bagi rakyat Daulah Islam yang beliau pimpin. Rasulullah saw. selaku kepala negara pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis dan menjadikannya dokter umum bagi seluruh masyarakat secara gratis.

Khulafa penerus Rasulullah pun meneladani beliau dengan menyediakan layanan kesehatan gratis nan berkualitas. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam (pembantu beliau) secara gratis. Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga mengalokasikan anggaran dari Baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit di Syam.

Baca juga:  Pelayanan Kesehatan Khilafah Model Terbaik

Sepanjang 13 abad masa kekhalifahan, tidak pernah terjadi komersialisasi kesehatan yang berakibat mahalnya layanan kesehatan. Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Islam, tidak hanya di kota-kota besar. Bahkan, ada rumah sakit keliling yang mendatangi tempat-tempat terpencil, juga para dokter yang mengobati tahanan.

Rakyat Khilafah bisa merasakan layanan kesehatan terbaik level dunia tanpa mengeluarkan biaya sama sekali. Begitu bagusnya layanan kesehatan dalam Khilafah sehingga para pelancong asing pun ingin ikut mencicipi layanan rumah sakit yang mewah dan sekaligus gratis tersebut.

Biaya kesehatan bisa gratis karena Khilafah menanggungnya dengan dana dari Baitulmal (kas negara) yang bersumber dari pengelolaan kekayaan publik, bukan dari iuran rakyat. Negara membiayai penelitian dan membangun industri di bidang kesehatan, tidak menyerahkannya pada swasta sehingga korporasi tercegah untuk mendominasi sektor vital ini.

Individu yang kaya boleh turut membiayai pelayanan kesehatan melalui mekanisme wakaf. Misalnya, Saifuddin Qalawun, seorang penguasa pada zaman Abbasiyah yang mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan Rumah Sakit Al-Manshuri Al-Kabir di Kairo, Mesir.

Namun, sayangnya, praktik penyediaan layanan kesehatan yang luar biasa membahagiakan rakyat ini berakhir ketika Khilafah runtuh dan sistem kapitalisme mendominasi dunia Islam. Tanggung jawab negara terhadap layanan kesehatan pun lepas bagian per bagian.

Tidak ada solusi paripurna untuk mewujudkan layanan kesehatan berparadigma pelayanan terbaik, kecuali dengan mewujudkan sistem Khilafah. Wallahualam. [MNews/Has]

One thought on “[Opini] Kelas Rawat Inap BPJS Dihapus, Harapan Kesehatan Murah Kian Pupus

  • Sahuni

    Ya Allah tega banget

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *