[Opini] Disfungsi Negara Kapitalisme Menciptakan Kesejahteraan Hanya Sebatas Mimpi

Dalam sistem kapitalisme, terjadi disfungsi makna pelayanan negara bagi rakyat. Negara tidak berfungsi sebagai pelayan. Rakyat justru sibuk melayani diri mereka sendiri. Negara tidak menegakkan paradigma riayah (pelayanan) melainkan paradigma bisnis. Bentuk interaksi antara negara dengan rakyatnya berjalan dengan motif bisnis.

Penulis: Novita Sari Gunawan

MuslimahNews.com, OPINI — Alkisah, di sebuah negeri antah-berantah, ada pemimpin yang berkoar-koar ingin mewujudkan negara yang layak dan sejahtera bagi rakyatnya. Pernyataan pemimpin di negeri itu bak meniupkan angin segar kepada rakyat yang masih berharap besar akan tercapainya cita-cita tersebut. Meskipun pada akhirnya, janji itu tidak kunjung terwujud.

Bicara kesejahteraan, kita bisa mendefinisikannya sebagai sebuah kondisi aman, sentosa, makmur (tidak kekurangan), dan selamat (lepas dari segala gangguan). Merupakan fitrah bagi setiap manusia untuk merasakan hidup layak dan sejahtera, terpenuhinya segala kebutuhan hidup, dan jauh dari segala mara bahaya. Sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dengan manusia lainnya, manusia tentu membutuhkan aturan atau sistem demi mewujudkan cita-cita tersebut.

Senada dengan hal itu, penguasa negara ini pun menyatakan semua warga negara memiliki hak dan kedudukan setara di ranah politik dan hukum. Warga pun berhak mendapatkan pelayanan negara dalam meraih penghidupan yang layak.

Melansir bisnis.com, dalam peringatan Hari HAM Internasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/12/2021), Presiden Jokowi mengatakan, “Semua warga negara berhak dapat kesempatan setara dalam mendapatkan pelayanan dari negara dan berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak.”

Problem di Dunia Kerja

Kita mafhum bahwa dalam konstelasi kapitalisme, seseorang dituntut memenuhi hajat hidupnya sendiri. Kesejahteraan akan tercapai hanya apabila ia bekerja. Sistem ini menuntut masyarakat bekerja mati-matian untuk mendapat penghidupan layak. Mereka tidak bisa lari dari segala problem yang ada di dunia kerja.

Salah satu hak warga negara yang sering penguasa langgar ataupun kesampingkan adalah hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan layak. Padahal, payung hukum atas hal ini sudah ada, yakni Pasal 27 ayat (2) UUD NKRI 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Ayat tersebut memuat pengakuan dan jaminan negara bagi semua warga untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, realisasi di masyarakat tampaknya jauh panggang dari api. Ada beberapa penyebabnya:

Pertama, negara tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai dan tepat sasaran.

Bukannya menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya ini, negara justru mengalihkan peran tersebut pada swasta. Presiden menyatakan perluasan lapangan kerja secara berkelanjutan hanya bisa dilakukan pelaku usaha, bukan pemerintah. Artinya, kunci dari penyediaan lapangan kerja ada di pengusaha. (CNN Indonesia, 20/2/2021)

Dampaknya, seseorang harus berebut pekerjaan dengan lautan manusia lainnya secara mandiri. Padahal, sejatinya ini merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan warga negaranya mendapatkan peluang pekerjaan.

Kedua, problem internal, seperti masih banyaknya nepotisme dalam penerimaan lowongan pekerjaan.

Sebenarnya, tidak menjadi problem ketika memprioritaskan kalangan keluarga yang memang memiliki skill mumpuni. Sayangnya, standar yang dikedepankan bukanlah kecakapan dan potensi, melainkan sekadar faktor kekeluargaannya. Bahkan, prioritas dari kalangan keluarga sendiri ini bisa menggeser calon lain yang lebih cakap dan berpengalaman. Semestinya, hal tidak boleh karena kesempatan bagi pelamar pekerjaan harus dinilai secara objektif.

Selain itu, masih banyak orang yang menghalalkan segala cara, seperti praktik suap dalam lowongan pekerjaan agar bisa diterima. Mental bobrok ini senantiasa terpelihara karena gayung bersambut dengan mental para pemimpin maupun oknum-oknum perusahaan yang juga menghalalkan segala cara. Orang-orang ini meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari adanya praktik suap tersebut.

Mirisnya, terkesan ada pembiaran karena belum ada hukum jelas dan tegas dalam menuntaskan fenomena ini, bahkan menjadi sesuatu yang seolah biasa dan membudaya. Masyarakat hanya bisa bertanya-tanya, “Kita bisa apa?”

Ketiga, kedudukan wanita dianggap setara dan juga diprioritaskan untuk mendapatkan pekerjaan.

Bukan rahasia lagi, kini, kesempatan dan peluang bagi perempuan justru lebih besar. Dengan lapangan kerja yang terbatas, ditambah dengan kondisi ini, tentu saja lapangan kerja yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya angkatan kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan sehingga bukan tidak mungkin akan terjadi pengangguran di mana-mana.

Ini adalah akibat rancunya pandangan terkait siapa yang berkewajiban untuk bekerja—yang sebenarnya merupakan kewajiban laki-laki. Walaupun perempuan juga boleh bekerja, tetapi tidak menjadi wajib baginya. Pada sistem kapitalisme saat ini, laki-laki dan wanita dianggap setara dalam hal peluang mengakses pekerjaan. Oleh karena itu, kesalahan fungsi dan peran ini akhirnya ikut menyumbang tingginya tingkat pengangguran.

Keempat, rendahnya upah tenaga kerja.

Dengan penetapan upah minimum pekerja (UMP) menjadikan mereka mendapatkan upah minim yang tidak dapat memberikan penghidupan layak dan sejahtera bagi masyarakat. Padahal, dalam Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal HAM PBB, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarganya. Namun, hal ini hanya ada di atas kertas, tidak terealisasi dalam kehidupan masyarakat.

Kelima, tidak terintegrasinya sistem pendidikan bagi generasi kita dengan cita-cita kehidupan yang layak pada masa mendatang.

Kurikulum pendidikan yang tidak visioner melahirkan mayoritas rakyat berprofesi sebagai buruh. Biaya pendidikan mahal sehingga masih banyak yang tidak bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi. Level pendidikan mereka tentu akan sangat berpengaruh pada status dan pekerjaannya kelak.

Disfungsi Negara

Berbagai problem di atas tidak lain akibat lemahnya peran negara, khususnya disfungsi negara dalam melayani rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme, ada kesalahan pola pikir tentang peran negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat.

Dalam negara kapitalis, negara tidak berfungsi sebagai pelayan. Rakyat justru sibuk melayani diri mereka sendiri. Negara tidak menegakkan paradigma riayah (pelayanan), melainkan paradigma bisnis. Bentuk interaksi antara negara dengan rakyatnya berjalan dengan motif bisnis.

Selanjutnya, disfungsi negara dalam menyejahterakan rakyat akibat regulasi yang tidak sejalan dengan tujuan kesejahteraan bagi rakyat. Kebijakan-kebijakan yang terlahir justru kontradiktif dan kontraproduktif terhadap cita-cita rakyat meraih penghidupan layak. Bukannya melayani rakyat, negara tampil menjadi pelayan korporasi.

Dengan terjadinya korporatokrasi (pemerintahan perusahaan), yakni bentuk pemerintahan yang didominasi kepentingan korporasi, pemerintah menjalankan pemerintahannya secara sistem afiliasi korporasi yang memusatkan pada kegiatan dan keuntungan ekonomi yang hanya memperkaya para pemilik modal itu sendiri.

Dampaknya, seluruh kebijakan bukan demi kepentingan rakyat, melainkan untuk pemilik modal. Contohnya UU Omnibus Law, megaproyek infrastruktur, privatisasi BUMN, privatisasi perusahaan publik, dan lainnya. Negara kehilangan vitalitas dan kewenangan mengatur ekonomi dan pelayanan publik karena lembaga bisnis dan swasta berperan lebih besar terhadap arah kebijakan. Akhirnya, perputaran uang hanya beredar di kalangan kapitalis. Yang kaya makin kaya, yang miskin pun makin miskin.

Terakhir, disfungsi negara dalam menciptakan kesejahteraan akibat kentalnya motif pencitraan dari penguasa. Tujuan dan target tadi hanya ada di atas kertas. Negara ini tidak pernah menjamin penghidupan yang layak ini benar-benar terealisasi. Ini dampak dari krisis dan minimnya integritas seorang pemimpin sehingga setiap janjinya acapkali tidak sesuai realitas.

Khilafah sebagai Pelayan Umat

Dalam pandangan Islam, paradigma Negara Islam (Khilafah) dalam melayani rakyatnya adalah paradigma riayah. Negara wajib memenuhi kebutuhan asasi warga negaranya. Kalau dalam sistem kapitalisme, rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut.

Contohnya terkait jaminan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan fasilitas publik. Negara wajib memenuhi semua itu dengan standar pelayanan terbaik, cepat, mudah, dan profesional, serta rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan kebutuhan asasi dan pelayanan terbaiknya ini.

Tidak hanya kebutuhan asasi, negara juga akan memudahkan rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Hal ini untuk meningkatkan kualitas hidup warga negaranya sebagai sebagai khairu ummah (umat terbaik) sehingga berhak mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik.

Tentang pembiayaannya, paradigma pengelolaan harta milik umum oleh negara adalah paradigma riayah, bukan paradigma bisnis. Negara wajib mengelola sumber utama APBN ini untuk memenuhi hajat hidup rakyatnya. Haram bagi negara menyerahkan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam milik umum kepada swasta, baik lokal apalagi asing.

Sementara, dalam sistem kapitalisme, harta yang seharusnya menjadi milik umum justru dikelola dan dimiliki swasta, baik lokal maupun asing. Walhasil, keuntungan besar dari harta milik umum ini malah mengalir ke kantong swasta.

Khatimah

Dalam Islam, kesejahteraan rakyat akan terwujud mulai dari hulu hingga hilirnya. Berangkat dari asasnya, yakni mekanisme paradigma riayah yang diaplikasikan oleh negara melalui seluruh regulasi. Dengan ini, cita-cita kesejahteraan dan kehidupan layak akan dapat tercapai.

Kesejahteraan bukan barang mahal milik segelintir orang yang memiliki modal dan kemampuan bersaing secara ekonomi. Akan tetapi, kesejahteraan adalah milik semua warga negara yang hidup di bawah naungan Khilafah, baik muslim maupun nonmuslim. Wallahualam. [MNews/Has]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.