Opini

Klaim Vs. Fakta di Balik Keberhasilan Proyek Strategis Nasional

Melalui Menko Airlangga, pemerintah mengklaim kehadiran Proyek Strategis Nasional terbukti meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Bagaimana faktanya?

Penulis: Chusnatul Jannah

MuslimahNews.com, OPINI — Menko Perekonomian Airlangga Hartarto berkelakar pencapaian pemerintah dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berjalan sepanjang periode 2020—2021. Ia mengatakan kehadiran PSN telah terbukti meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurutnya, PSN telah berhasil menciptakan 11 juta lebih tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia berharap investasi pembangunan PSN di berbagai sektor bermanfaat bagi pengembangan wilayah, perekonomian daerah, serta nilai tambah industri.

Kemenko Perekonomian mencatat selama pandemi Covid-19, yakni Januari 2020—November 2021 terdapat 32 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berhasil diselesaikan dengan nilai investasi sebesar Rp158,8 triliun. Bahkan, hingga akhir 2021, diestimasi ada tambahan delapan proyek senilai Rp94,3 triliun. (Liputan6.com, 15/12/2021)

Klaim Vs. Fakta

Apakah klaim ini sesuai fakta yang terjadi di masyarakat? Tampaknya kita perlu mengkritisi pernyataan Menko Perekonomian yang sesumbar mengklaim keberhasilan PSN.

Pertama, klaim yang menyebutkan bahwa PSN telah menciptakan 11 juta lebih tenaga kerja sebenarnya sangat kontradiktif dengan angka pengangguran terbuka sepanjang 2020—2021.

Berdasarkan data BPS, per Agustus 2021, angka pengangguran terbuka mencapai 9,1 juta orang. Angka ini turun sekitar 670.000 orang dari jumlah pengangguran per Agustus 2020 yang mencapai 9,77 juta orang.

Jika kita bandingkan dengan klaim Pemerintah yang mengatakan 11 juta tenaga kerja tercipta, lalu ke mana jumlah 9,1 juta orang yang menganggur? Sementara di saat yang sama, hingga Mei 2021, jumlah TKA di Indonesia adalah 92.058 orang.

Kedua, memang benar, PSN telah meningkatkan laju investasi di Indonesia. Akan tetapi, hal itu juga berbanding lurus dengan jumlah utang yang dimiliki Indonesia. Tidak mungkin ratusan proyek strategis tersebut bersumber dari APBN. Selain APBN, pembiayaan infrastruktur dilakukan melalui skema kerja sama dengan perusahaan swasta atau BUMN. Dari kerja sama ini, peluang menggaet investor asing sangat besar.

Pemerintahan Jokowi pernah mengungkapkan untuk membiayai infrastruktur, Indonesia membutuhkan anggaran sekitar Rp5.000 triliun. Dengan anggaran sebanyak itu, mengandalkan APBN atau APBD adalah tindakan mustahil. Oleh karena itu, pemerintah mencari jalan lain, yaitu menarik investasi luar negeri dengan menerbitkan surat utang.  

Perlu kita ketahui, bukan hanya pemerintah yang berutang, BUMN memiliki utang yang juga fantastis. Alhasil, jadilah utang Indonesia sampai dengan kuartal III-2021 sebesar 423,1 miliar dolar AS atau setara Rp6.008 triliun (asumsi kurs Rp14.200 per dollar AS).

Pada akhirnya, utang Indonesia membengkak akibat investasi jor-joran lantaran mengikuti ambisi proyek dan infrastruktur yang kejar tayang. Nasib BUMN di ujung tanduk karena terlilit utang hingga ratusan triliun. Indonesia babak belur karena proyek strategis nasional yang habis-habisan.

Inikah tumbal yang harus Indonesia terima demi mewujudkan negara maju karena infrastrukturnya? Yang jelas, rakyatlah yang paling terdampak akibat kebijakan ini.

Sarat Kapitalis

Menko Airlangga pernah mengatakan terdapat 36 proyek strategis nasional yang pembiayaannya melalui skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Nilai dari 36 proyek itu sebesar Rp317,05 triliun.

Senada dengannya, Menteri BUMN Erick Thohir juga menyampaikan pemerintah membuka peluang kerja sama dengan swasta melalui skema Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF). Menurutnya, pemerintah perlu merangkul swasta karena mereka lebih berpengalaman dan memiliki keahlian.

Beberapa PSN yang merangkul swasta di antaranya pembangunan ekosistem industri baterai kendaraan listrik, pembangunan Kawasan Industri Terpadu (KIT), pengembangan wilayah Sanur, Bali, menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta proyek infrastruktur strategis lainnya.

Terlebih, lahirnya UU Cipta Kerja makin memuluskan jalan asing/swasta untuk berinvestasi di Indonesia. UU tersebut memberikan banyak keuntungan bagi kapitalis, seperti kemudahan izin usaha, administrasi yang cepat, hingga sanksi ringan bagi pengusaha yang melanggar.

Dari aspek lingkungan, PSN yang menjadi program kebanggaan pemerintah, justru berdampak serius pada upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Banyak pihak menilai terbitnya Perpres 109/2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional adalah awal malapetaka konflik dan bencana ekologis yang menimpa Indonesia.

WALHI memberikan tiga catatan kritis terhadap lahirnya regulasi tersebut. Pertama, mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, kondisi daya tampung, dan daya dukung lingkungan. Berdasarkan data BNPB Oktober 2020, ada lima juta masyarakat yang menjadi korban bencana ekologis.

Kedua, PSN menambah konflik di masyarakat. Dalam proses pembangunan PSN, tentu membutuhkan pembebasan lahan yang melibatkan lahan penduduk setempat. Mereka pun menjadi korban penggusuran lahan atas nama proyek negara.

Ketiga, kerugian besar akibat PSN. Semisal, proyek Food Estate yang mengalami kegagalan, bandara yang telantar dan sepi pengunjung, jalanan tol yang juga sepi pengendara, adalah bukti nyata bahwa PSN hanya memberi kesan seolah pemerintah telah melakukan pembangunan untuk masyarakat.

Apakah PSN berdampak bagi kesejahteraan masyarakat, mengentas kemiskinan, dan membuka lapangan kerja sebagaimana klaim pemerintah? Realitasnya tidaklah demikian. Masyarakatlah yang paling banyak mendapat kerugian. Contohnya, pembangunan yang sudah berjalan pada masa lalu saja terbukti tidak memberi manfaat jangka panjang, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Masyarakat malah terbebani warisan utang hingga anak cucu. Negara yang berutang, rakyat yang disuruh melunasinya dengan berbagai tarikan pajak.

Selama kapitalisme berjalan, tidak akan terwujud kesejahteraan. Pembangunan kapitalistik justru merampas hak hidup masyarakat. Negara sebagai pihak yang bertugas mengurus kebutuhan rakyat, justru mengurusi kepentingan kapitalis dan konglomerat.

Sistem Islam sebagai Konsep Ideal Pembangunan

Islam tidaklah antiinvestasi. Hanya saja, investasi dalam Islam haruslah mengikuti rambu-rambu syariat Islam, yakni

(1) tidak berinvestasi dalam bisnis haram;

(2) pembiayaan investasi tidak terkait dengan pembangunan infrastruktur sarana publik, seperti rumah sakit, bandara, jalan raya, tol, bendungan, jembatan, dll.;

(3) haram membiayai infrastruktur dengan utang luar negeri. Sebab, utang menyimpan bahaya besar bagi kaum muslim, yaitu menjadi jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai negeri-negeri kaum muslim.

Sumber pendapatan negara Khilafah berasal dari kas Baitulmal yang terdiri dari tiga bagian. Pertama, bagian fai dan kharaj meliputi ganimah, anfal, fai, khumus, kharaj, status tanah, jizyah, dan dharibah). Kedua, bagian kepemilikan umum, meliputi migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, hutan, dan aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah.

Untuk membiayai pembangunan infrastruktur, negara dapat mengambil dari pendapatan yang berasal dari pengelolaan harta milik umum. Negara akan memprioritaskan pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat, seperti jalan tol untuk memudahkan kendaraan lalu lalang, bendungan untuk menampung air hujan, rumah sakit untuk melayani kesehatan masyarakat. Semua diberikan secara mudah, murah, bahkan bisa gratis.

Pembangunan dalam Islam haruslah berorientasi pada riayah suunil umat (mengutamakan kepentingan umat). Dalam Islam, pembangunan bukan hanya terukur dari megahnya infrastruktur dan kelengkapan fasilitas publik, tetapi juga memperhatikan pembangunan SDM berkepribadian mulia dan bermental pemimpin. Ini karena SDM unggul adalah modal dasar untuk membangun peradaban gemilang.

Khatimah

Mengingat kekayaan alam yang melimpah, mestinya Indonesia tidak ngos-ngosan membiayai pembangunan. Sayangnya, penerapan sistem kapitalisme memustahilkan hal itu terjadi. Negeri ini dalam kekuasaan oligarki, tergadai di tangan penguasa kapitalis, dan terjual dalam dekapan korporasi.

Kesejahteraan rakyat bukanlah disimplifikasi dengan penciptaan lapangan kerja semata. Kesejahteraan bagi rakyat ialah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Negara dapat mengelola kekayaan alam milik rakyat ini agar memberi kemanfaatan bagi rakyat itu sendiri, bukan menjadi ajang bisnis bagi kapitalis. Dengan begitu, rakyat dapat merasakan manfaat pembangunan infrastruktur serta menikmatinya tanpa terbebani dengan utang, pajak, dan berbayar. Semua hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam kafah. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *