OpiniRemaja

[Remaja] Ada Pesan Liberal di Film Yuni

Penulis: Shezan Adzkayra Gerung

MuslimahNews.com, OPINI REMAJA — Sobat Muslimah, film berjudul “Yuni” garapan Kamila Andini tengah tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Di balik berbagai penghargaan yang diperoleh film ini, terselip isu yang kerap feminis angkat yakni budaya patriarki dan perkawinan anak.

Film yang pertama kali tayang di Toronto International Film Festival 2021 itu menceritakan tentang Yuni (Arawinda Kirana) yang menolak dua lamaran. Penolakan itu memicu gosip tentang mitos bahwa seorang perempuan yang menolak tiga lamaran tidak akan pernah menikah. Panik, gak? Ya paniklah. Tekanan meningkat ketika pria ketiga melamar. Yuni harus memilih antara memercayai mitos atau mengejar mimpi.

Pesan tersirat dari film ini bukan hanya mengenai perkawinan anak, tetapi juga mengenai perempuan yang perannya hanya di ranah domestik. Kesempatan untuk berkiprah bagi seorang perempuan seolah terbatas. Tidak hanya mempersoalkan sisi sosial budaya masyarakat, film ini juga secara halus menyerang hukum-hukum Islam yang digambarkan mengekang perempuan. Menurut feminis, emansipasi perempuan kudu diperjuangkan.

Fakta perkawinan anak yang hadir di film “Yuni” pun seolah melupakan zina dini yang subur di kalangan remaja. Padahal, zina alias seks bebas di kalangan remaja angkanya tinggi, lo. Ini yang harusnya jadi sorotan. Yuni yang mengenakan kerudung juga seolah menguatkan karakter muslimah yang menjadi korban dari keyakinan masyarakat yang tidak memihak perempuan. Terang saja, visualisasi dalam film “Yuni” berpotensi besar mengaruskan opini liberal yaitu tentang emansipasi di tengah-tengah masyarakat.

Apa itu Emansipasi?

Kamu pasti sering dengar kata emansipasi, ya kan? Apa sih emansipasi itu? Sobat Muslimah, menurut KBBI, emansipasi adalah istilah yang menggambarkan usaha mendapatkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan karena kerasnya budaya patriarki di masyarakat.

Baca juga:  Deliberalisasi Islam (Kritik atas Liberalisasi Islam)

Apa pula budaya patriarki itu? Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Perempuan menjadi pihak yang tertindas dan jadi masyarakat kelas dua. Inilah yang mendasari mengapa aktivis perempuan gencar menggaungkan gerakan emansipasi.

Btw, benar gak sih perempuan tertindas oleh laki-laki? Benarkah aktivitas perempuan melulu di sektor domestik? Benarkah syariat Islam menindas perempuan?

Salah Kaprah Pejuang Emansipasi

Sobat muslimah, pada dasarnya laki-laki dan perempuan lahir dengan potensinya masing-masing. Kaum perempuan punya sifat lemah lembut dan tabiatnya ingin dilindungi. Sementara laki-laki, sifatnya cenderung keras dan memiliki karakter sebagai pelindung. Potensi keduanya berjalan alami, apa adanya. Default dari sononya.

Jadi tidak ada niat kaum laki-laki dengan potensi yang ada pada mereka untuk menindas, apalagi melecehkan kaum perempuan. Kalau pun kekerasan terjadi, ada sejumlah faktor yang menjadi pemicunya. Misal, pergaulan bebas, pengaruh lingkungan, tayangan, dan sebagainya.

Pejuang emansipasi juga menganggap bahwa sebab ketertindasan perempuan salah satunya karena peran yang terbatas di wilayah domestik. Di film “Yuni”, sosok Yuni terkekang karena keinginan orang tua yang memaksa anak mereka untuk menikah di usia dini, padahal sang anak memiliki keinginan berbeda.

“Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akan kembali ke dapur juga.” Kata-kata ini mungkin sering terdengar. Pendidikan yang tinggi identik dengan kemampuan untuk mandiri dari sisi ekonomi. Menurut para pejuang emansipasi, perempuan yang lemah dari sisi ekonomi akan mudah mengalami tindak kekerasan. Jadi, jika tak ingin tertindas, mandirilah secara ekonomi dan berkiprahlah sebebas-bebasnya. Kurang lebih seperti itu.

Sayangnya, di tengah superiotas ekonomi yang perempuan miliki, timbul masalah baru. Ada keluarga yang terbengkalai, angka cerai gugat yang terus meningkat, pendidikan anak tergadai, punya ibu tapi lebih dekat ke asisten rumah tangga.

Baca juga:  Sekularisme Menyuburkan HIV/AIDS, Islam Membasmi Sampai Akarnya

Lalu timbul juga kegalauan pada perempuan, cinderella complex menggejala. Ada kegelisahan dengan pencapaian perempuan. Fitrah perempuan yang ingin dilindungi, mendapatkan kasih sayang dalam ikatan keluarga, serta mendapatkan ketenangan bersama suami dalam pernikahannya, berkecamuk dengan kemandirian yang mereka peroleh. Jadi wonder woman tapi kok ya gelisah.

Jika di film “Yuni” mengesankan Islam mereduksi peran perempuan, sesungguhnya ada yang salah di sini. Terlebih dengan solusi yang tampak di film ini bahwa perempuan harus bebas tanpa batasan nilai. Sebab, jika kebebasan berkiprah di ranah publik dilakukan berdasarkan sudut pandang ini, kebebasannya akan jadi kebablasan.

Alih-alih menyelesaikan masalah, pelecehan terhadap perempuan malah akan meningkat. Kaum perempuan pun kian jauh dari fitrahnya. Padahal, perempuan juga dapat berkiprah di ranah publik, lo. Tentu tanpa meninggalkan fitrah mereka sebagai seorang perempuan.

Kiprah Perempuan dalam Islam

Jadi begini ya, Sobat. Perempuan juga memiliki hak untuk berkiprah di ranah publik. Sebagai sebuah sistem hidup, Islam memiliki lensa yang agung dan aturan yang unik mengenai perempuan. Allah Swt. menurunkan seperangkat aturan yang menjelaskan bagaimana pemberdayaan perempuan baik di sektor domestik maupun publik.

Islam meletakkan peran domestik perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah. Tak seperti gambaran pejuang emansipasi bahwa ibu bukanlah profesi berkelas sebab tak menghasilkan materi, Islam justru menjadikan amanah tersebut sebagai kunci keberhasilan keluarga dan masyarakat. Dari didikan seorang ibulah, generasi cemerlang terwujud. Singkatnya, ibu adalah sekolah pertama bagi si anak.

Baca juga:  Perempuan, Price, Value dan Islam

Sementara di sektor publik, Islam menggariskan kewajiban kepada perempuan untuk turut serta menyebarkan dakwah. Allah Swt. berfirman “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kebaikan (Islam), memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran…” (QS Ali Imran: 104)

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang bangun di pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, ia tidak termasuk golongan mereka.(HR Al-Hakim dan Al-Khatib)

Nah, jadi jelas, kan? Peran kita di sektor publik mendapat jaminan kok, tanpa diskriminasi. Sebab baik laki-laki maupun perempuan, punya kewajiban untuk dakwah. Meski demikian, aktivitas publik ini gak boleh melalaikan peran domestik.

Apakah perempuan tidak bisa bersekolah tinggi dan turut menyumbangkan buah pikirnya di tengah-tengah masyarakat? Tentu saja boleh, Sobat. Bahkan Islam mendorong siapa pun yang ingin menuntut ilmu. Di masa kejayaan Islam, tidak sedikit lo intelektual muslimah yang berkiprah di tengah-tengah masyarakat.

Aisyah ra. sang ummul mukminin adalah rujukan ilmu bagi para sahabat. Ada pula sosok ilmuwan seperti Maryam Astrulabi, saintis yang pertama kali menemukan kompas. Ada Syifa, seorang kadi yang bertugas mewujudkan keadilan atas kasus yang muncul di masyarakat saat itu, dan masih banyak lagi perempuan salehah yang berkiprah di ranah publik tanpa meninggalkan peran utama mereka sebagai istri dan sebagai ibu.

Makanya, sobat muslimah wajib membentengi diri dengan ilmu-ilmu Islam, agar pemikiran-pemikiran liberal yang menyusup di berbagai media, tidak mudah meracuni kita. Ya seperti film “Yuni’ ini. Wajib bagi kita untuk menangkal pesan liberal di film “Yuni”. Wallaahu a’lam. [MNews/Rgl]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *