Gegabah Ambil Langkah Impor Obat, Penanganan Wabah hampir “Sekakmat”
Penulis: dr. Nisa Utami, Sp.PD.
MuslimahNews.com, OPINI — Di tengah euforia hasil penelitian obat Paxlovid keluaran Pfizer yang dikatakan memiliki efektivitas hingga 90% dalam menghadapi Covid-19, bahkan termasuk varian Omicron, kebijakan pemerintah Indonesia malah dipertanyakan oleh masyarakat. Pasalnya, pemerintah RI telanjur melakukan finalisasi kesepakatan impor obat Molnupiravir sebanyak 600.000—1.000.000 dosis sebagaimana ungkapan Menkes dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/11/2021) silam.
Obat yang diproduksi oleh Merck, perusahaan farmasi Amerika Serikat (AS) yang bekerja sama dengan Ridgeback Biotherapeutics ini, memiliki harga cukup fantastis. Untuk satu regimen pengobatan (dosis 2x800mg selama 5 hari) harganya berkisar 50—70 Dolar AS atau sekitar 1 juta rupiah. Konsekuensinya, pemerintah harus mengeluarkan uang sebesar satu triliun rupiah. Ini merupakan jumlah yang sangat fantastis mengingat perekonomian Indonesia sedang karut-marut akibat hantaman gelombang kedua Covid-19 Juli kemarin.
Nahasnya, baru-baru ini (13/12/2021), keluar hasil penelitian yang menunjukkan penurunan drastis efektivitas Molnupiravir. Sontak, banyak pihak menilai langkah impor obat yang pemerintah lakukan begitu gegabah dan membahayakan penanganan wabah di Indonesia.
Dalam situs resmi Merck, hasil interim analisis uji fase 3 (26/11/2021) mencatat Molnupiravir dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit dan kematian pasien Covid-19 gejala ringan-sedang hingga 50% dibandingkan Plasebo. Hal inilah yang mendasari beberapa negara berebut membeli Molnupiravir, apalagi tawaran perusahaan farmasi asal AS itu pun begitu menggiurkan. Merck mengiming-imingi akan membangun pabrik obatnya di negara yang mau bekerja sama dalam bentuk voluntary license.
Sejauh ini, Merck telah memberikan voluntary license kepada delapan pabrik obat di India untuk memproduksi Molnupiravir di negaranya. Indonesia melalui Medicines Patent Pool (MPP) juga berusaha mendapatkan lisensi tersebut agar dapat memproduksi Molnupiravir di Indonesia melalui kerja sama BUMN atau perusahaan farmasi swasta.
Lantas, benarkah ini langkah tepat untuk memperkuat ketahanan sektor kesehatan Indonesia dalam mengatasi pandemi Covid-19?
Salah Langkah
Selain mengeluarkan uang yang tidak sedikit dan belum mendapatkan izin penggunaan emergency dari FDA AS, langkah impor Molnupiravir ini sudah menuai kontroversi sejak awal pengumumannya.
Hasil uji awal yang menyatakan ada efektivitas sebesar 50% pada pasien dengan gejala ringan yang diberikan pada lima hari awal gejala (windows period), dinilai oleh Direktur P2PML Kemenkes RI dr. Siti Nadia Tarmizi sebagai salah satu alasan tepat mengimpor Molnupiravir. Hal ini berarti Molnupiravir dapat dipakai untuk mencegah pasien Corona gejala ringan mengalami perburukan.
Namun, hal ini justru tidak tepat sasaran bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, berdasarkan pengamatan terhadap pola sikap masyarakat ketika menghadapi gelombang kedua Covid-19 kemarin, masyarakat baru datang ke pusat layanan kesehatan untuk memeriksakan diri setelah berhari-hari atau sudah terjadi perburukan, bukan lagi saat windows period. Lebih ekstrem lagi, banyak masyarakat yang walaupun memiliki gejala Covid-19, tetapi selama (menganggap) masih gejala ringan, mereka memilih tidak memeriksakan diri dan langsung “meng-covid-kan diri”.
Ahli epidemiologi FKUI Pandu Iriono dalam wawancara CNN (29/10/2021) menilai, iming-iming lisensi oleh Merck itu pun strategi marketing semata agar Indonesia tertarik membeli produk mereka. Pasalnya, walaupun nanti Indonesia mendapatkan voluntary license, bahan baku pembuatan Molnupiravir sendiri belum tersedia di Indonesia.
Farmakolog UGM Zullies Ikawati, ketika diwawancarai pada kesempatan yang sama, turut membenarkan keterangan mengenai ketaksiapan farmasi Indonesia untuk membuat Molnupiravir ini. Walhasil, pada akhirnya, Indonesia akan tetap tergantung pada impor untuk mendapatkan bahan baku obat tersebut. Sungguh suatu ilusi kemandirian yang bersifat impulsif dan sangat pragmatis.
Solusi Pragmatis, Ciri Sistem Kapitalisme
Sejatinya, keputusan impor Molnupiravir ini merupakan wujud solusi pragmatis yang menjadi ciri khas kapitalisme. Pemikiran mendasar kapitalisme adalah menjadikan materi sebagai tujuan kehidupan, serta manfaat sebagai standar kehidupan. (Dodi Prasetya Azhari dalam kompasiana.com).
Solusi pragmatis ini lahir dari asas manfaat, yakni mengutamakan segi kepraktisan dan kemanfaatan ketika menghadapi suatu realitas permasalahan. Alih-alih menganalisis akar permasalahan agar dapat memberikan solusi mendasar, malah mengambil solusi pragmatis sebagai jalan pintas tanpa harus melakukan banyak perubahan.
Padahal, berbicara tentang penanganan pandemi di sektor kesehatan—yang merupakan bentuk ketahanan suatu negara—, seyogianya tidak boleh memakai pola pikir pragmatis begini. Jika pemerintah benar serius menginginkan kemandirian bangsa, perlu melakukan perubahan mendasar dan sistematik, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga kebijakan politik.
Jika salah mengenali akar permasalahan sebenarnya, langkah gegabah yang pemerintah ambil justru dapat menjadikan penanganan wabah hampir “sekakmat”. Artinya, tinggal beberapa langkah lagi bisa mengakhiri nasib negeri. Pandemi Covid-19 selayaknya mengajarkan kita bahwa sistem kapitalisme yang Barat anut jelas tidak akan mampu menyelesaikan problem pandemi.
Sistem Islam Solusi Pandemi
Sistem kehidupan Islam merupakan solusi hakiki dalam menghadapi pandemi. Selain prinsip tentang kekarantinaan dan menjaga kebersihan yang ternyata memang menjadi bagian dari ajaran Islam, Islam pun mengatur perihal ranah kebijakan publik.
Dalam Islam, kewenangan untuk mengatur dan bertanggung jawab atas setiap hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak ada di tangan pemerintah, bukan bergantung impor atau investasi pihak asing. Hal ini karena sektor kesehatan merupakan bagian dari ketahanan negara.
Pemerintah wajib berupaya semaksimal mungkin menjalankan tanggung jawab tersebut. Selain karena sadar kelak akan ada pertanggungjawaban di akhirat, juga karena menyadari betapa berharganya nyawa seorang manusia di dalam pandangan Islam.
Allah Swt. berfirman, “… barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain; atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al-Maidah: 32)
Selain itu, ketika menghadapi wabah, pemegang kekuasaan akan mendorong untuk menggunakan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah. Agar timbul kemandirian bangsa, pemerintah juga akan memperbaiki mulai dari sektor pendidikan dengan kurikulum mutakhir sehingga muncul ilmuwan muslim yang menjadi pelopor penemuan medis.
Masyarakatnya pun tidak akan bersifat pragmatis atau reaktif ketika mendapat informasi yang ternyata masih simpang siur. Oleh karena itu, butuh adanya perubahan sistem kapitalisme menjadi sistem kehidupan yang berlandaskan aturan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Wallahualam.[MNews/Has]