Soal Kasus Pelanggaran HAM Berat, Praktisi Hukum: Back to Islam Kafah, Adil untuk Seluruh Masyarakat

MuslimahNews.com, NASIONAL — Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terus-menerus terjadi di negeri ini dan belum tampak kejelasan tindak pidananya. Mengenai hal ini, praktisi hukum Ricky Fattamazaya Munthe, S.H., M.H. berpendapat solusinya adalah dengan kembali pada Islam Kafah.

Back to Islam kafah, maka politik dan hukum akan adil untuk seluruh masyarakat,” ujarnya dalam diskusi “Jokowi Gagal Tuntaskan Kasus HAM Berat?” di YouTube Khilafah News, Senin (13/12/2021).

Ia menegaskan bahwa masyarakat mesti bersatu. Menurutnya, tanpa persatuan umat, kebijakan-kebijakan akan makin zalim. Akan tetapi, ia memberi catatan, setelah umat bersatu, umat harus memiliki visi dan misi yang jelas dan konkret, yakni berdasarkan keimanan dan keyakinan.

“Tentunya apa yang kita imani dan yakini adalah Islam. Jika hukumnya Islam (kafah), keadilan pasti akan tegak di semua lini kehidupan. Tidak hanya itu, Allah pun akan memuliakan manusia atas upayanya untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi ini,” jelasnya.

Subjektif

Ketika timbul pertanyaan tentang kasus pelanggaran HAM berat apa saja yang belum selesai, menurutnya jawabannya akan membutuhkan waktu yang sangat panjang.

“Sepertinya jika menyebutkan satu per satu kasusnya, tidak akan pernah selesai. Banyak hak-hak manusia saat ini yang hilang. Bahkan, kasus-kasus yang terdahulu belum selesai, sudah bermunculan kasus-kasus yang baru,” terangnya.

Bahkan, ia memandang penindakan HAM juga terkesan subjektif, khususnya jika korbannya adalah muslim, rakyat kecil, orang-orang yang kontra rezim, bahkan mereka yang tidak seirama dengan kebijakan penguasa.

“Jika menimpa atau kaum muslim yang menjadi korbannya, seolah-olah ini pelanggaran biasa. Contohnya pada pembantaian enam laskar pemuda FPI. Maka dari definisi pelanggaran HAM berat, yang dimaksud ‘berat’ itu apa? Tidak ada rasa keadilan dan tidak ada penjagaan hak-hak asasi manusia terhadap enam pemuda tersebut. Ini kan terkesan subjektif,” cetusnya.

Kasus lain yang ia contohkan adalah penganiayaan terhadap Rasyid (16) dalam aksi demonstrasi beberapa waktu lalu yang hingga kini tidak ada kabar perkembangan proses hukumnya.

“Kita lihat (ada) dua kasus yang terjadi pada Rasyid, anak berumur 16 tahun yang disiksa, disepak, dan dibanting, lalu meninggal dunia saat demo. Sampai sekarang tidak ada pemberitaan ulang, apa yang sudah dilakukan dan sampai mana hukuman yang diputuskan terhadap para pelaku penganiayaan kepada anak yang usianya masih belasan tahun tersebut,” paparnya.

Bahkan, lanjutnya, sebenarnya kasus seperti inilah yang terkategori sebagai pelanggaran HAM berat. “Pertama, karena menyebabkan korban meninggal dunia. Kedua, karena pelakunya adalah aparat,” tegasnya.

Kemudian, kesan subjektif selanjutnya tampak ketika korbannya adalah rakyat kecil atau mereka yang kontra rezim, seolah menjadi pelanggaran biasa sehingga tindakan terhadapnya pun biasa.

“Ratusan panitia pemungutan suara yang meninggal dunia beberapa tahun lalu, ini pun belum dilacak. Belum lagi hak-hak asasi manusia terkait kepemilikan lahan dan tanah, dan sebagainya, yang tidak ditindaklanjuti,” urainya.

Ia juga melihat kesan subjektif terhadap mereka yang tidak seirama dengan politik dan kebijakan penguasa. “Mudah saja dicap radikal, teroris, dan ditangkap. Kasus orang-orang yang terduga teroris yang ditangkap ini banyak juga yang balik-balik sudah meninggal dunia,” ujarnya miris.

Pencitraan

Ia kemudian mengkritisi sikap pemerintah terkait penanganan HAM. Ia berpendapat tampak adanya pencitraan dalam pidato Presiden Joko Widodo pada Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Tahun 2021.

Dalam pidatonya, Presiden menyatakan pemerintah berkomitmen menegakkan dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, serta ingin mengedepankan keadilan bagi korban dan terduga pelaku.

“Merujuk kepada apa yang terjadi selama ini, maka apa yang disampaikan oleh Presiden pada pidato tersebut seolah terlihat seperti pencitraan dan cuci tangan yang dilakukan pemerintah hari ini terhadap kasus-kasus HAM berat,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa dalam persepsi penelitian bisa saja mengatakan tingkat kepuasan terhadap Presiden atas komitmennya terhadap penegakan HAM di Indonesia makin baik.

“Tetapi apalah arti di atas kertas jika tidak berbanding lurus dengan kenyataannya? Faktanya, kasus-kasus pelanggaran HAM berat terus-menerus terjadi,” kritiknya.

Oleh karenanya, ia menekankan bahwa solusi agar keadilan dapat tegak untuk seluruh masyarakat adalah dengan kembali pada (penerapan) Islam kafah. [MNews/Nvt]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.