Korupsi Desa Bebas Pidana, Benarkah Negara Serius Berantas Korupsi?

Penulis: Retno Sukmaningrum

MuslimahNews.com, FOKUS — Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa kepala desa dapat mengembalikan uang yang mereka korupsi tanpa harus diadili di persidangan atau diproses secara hukum. Menurutnya, saat ini dari jajaran Kejaksaan Agung dan Kepolisian sudah memberlakukan restorative justice* apabila ada kepala desa terbukti mengambil dana desa dan nilainya tidak seberapa. Ini karena kalau memprosesnya di pengadilan, biayanya akan lebih besar.[i]

Pernyataan petinggi KPK tersebut langsung diamini oleh Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil. Menurut Nasir, layak untuk menerapkan pendekatan restorative justice pada kasus korupsi dana desa.[ii]

Benarkah Dana Desa Kecil?

Jika Alexander menyatakan uang desa yang dikorupsi terhitung kecil, pertanyaannya, ukuran “kecil” itu seberapa? Mungkin jika membandingkannya dengan uang korupsi yang KPK tangani sejumlah triliunan, bisa jadi terhitung kecil. Namun, jika kita baca dari kacamata umum, kecilkah nilai tersebut? Untuk lebih jelasnya, mungkin perlu melihat sumber-sumber pendanaan desa sendiri.

Berdasarkan pasal 72 ayat (1) UU Desa, sumber pendapatan desa ini antara lain adalah

  • (a) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  • (b) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
  • (c) Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; dan
  • (d) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Rata-rata, selama tiga tahun terakhir ini, penerimaan dana desa per desa menunjukkan tren peningkatan. Tahun 2018, setiap desa mendapatkan rata-rata alokasi dana desa sebesar Rp800,4 juta. Pada 2019 sebesar Rp933,9 juta dan pada 2020 sebesar Rp960,6 juta, hampir semiliar. Jika mengorupsi 10% saja, sudah mencapai 100 juta uang rakyat!

Pada sisi lain, kebijakan otonomi daerah yang masuk hingga wilayah desa memberi peluang besar bagi desa untuk memperoleh pemasukan dari luar sumber pendapatan yang tercantum di UU Desa. Kewenangan Desa tidak lagi mengikuti skema penyerahan atau pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota, melainkan dengan skema pengakuan (rekognisi) dan subsidiaritas atas kepentingan masyarakat setempat secara langsung dari UU Desa.

Berdasarkan skema ini, ada dua jenis Kewenangan Desa yang utama: pertama, kewenangan asal-usul yang diakui negara, seperti mengelola aset (sumber daya alam, tanah ulayat, dan tanah kas desa) dalam wilayah yurisdiksi desa, membentuk struktur pemerintahan desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat, serta melestarikan adat dan budaya setempat.

Kedua, kewenangan melekat (atributif) yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berskala lokal (desa), seperti perencanaan pembangunan dan tata ruang desa, membentuk struktur dan organisasi pemerintahan desa, menyelenggarakan pemilihan kepala desa, membentuk Badan Perwakilan Desa, mengelola APB Desa, membentuk lembaga kemasyarakatan, mengembangkan BUM Desa, dan lain-lain.[iii]

Baca juga:  Dana Desa Mengukuhkan Jejaring Kapitalisme ke Pelosok Negeri

Terkait kewenangan pengelolaan sumber daya alam, tampak jelas tertuang dalam UU 6/2014 yang memberikan landasan bagi desa untuk mengelola dan mengatur, serta mempunyai hak atas (a) redistribusi negara terhadap distribusi lahan kepada desa; (b) pembebasan dari kantong-kantong hutan dan perkebunan; dan (c) share holding kepemilikan modal antara desa dan investor dalam pengelolaan sumber daya alam skala desa.[iv]

Jika desa tersebut kaya sumber daya alam, baik hutan maupun tambang, bisa bayangkan berapa besar “sharing” yang akan pihak desa terima dari pengelolaan tersebut? Jika itu termasuk yang dikorupsi, tentunya lebih dari 100 juta rupiah. Apakah masih tetap mengatakannya “kecil”?

Korupsi Adalah Kejahatan

Mengambil uang rakyat, sedikit ataupun banyak, tetaplah korupsi. Setiap korupsi adalah kejahatan yang wajib kena pidana. Kini, korupsi telah menggerogoti setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Pada semester awal 2021 saja, sudah ada 120 utang kasus korupsi yang harus KPK selesaikan.

Hingga saat ini, baru 13 kasus terselesaikan, mulai dari pejabat MPR, petinggi negara, hingga kepala desa. Uang hasil korupsi seorang kepala desa di kisaran ratusan juta,[v] sedangkan korupsi petinggi negara dan pejabat merugikan negara di kisaran miliar hingga triliunan rupiah.

Sejatinya, maraknya korupsi ini akibat dua hal, yaitu ada niat dan kesempatan. Banyaknya pejabat hingga kepala desa yang berniat korupsi tidak lepas dari nilai-nilai yang terbangun dalam sistem kapitalisme saat ini.

Dalam sistem kapitalisme, standar kebahagiaan terukur dari seberapa banyak meraih kenikmatan materi. Makin banyak kekayaan, di sanalah letak kebahagiaan. Terlebih lagi, sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal dalam sistem kapitalisme mendorong individu yang sampai di tampuk kekuasaan berpikir, “Tidak mau rugi.” Oleh karenanya, dalam masa jabatan yang terbatas, seolah “wajar” untuk berupaya balik modal menggunakan kedok jabatan.

Kesempatan yang Terbuka Lebar

Pada sisi lain, kesempatan untuk korupsi pun terbuka lebar. Mulai dari sistem politik melalui kebijakan otonomi daerah yang menciptakan makin banyak “raja-raja kecil” di daerah hingga level desa. Semenjak otonomi daerah bergulir, daerah justru menjadi sarang korupsi yang kian sulit terkontrol. Bupati atau wali kota maupun anggota dewan bagaikan pemimpin baru yang bisa menggunakan pedang kekuasaan secara semena-mena untuk memanjakan naluri dan kemaruk politik mereka.

Begitu pula sistem hukum yang ada, nyata-nyata lemah di hadapan para koruptor. Hukuman terhadap koruptor yang terlalu ringan menyebabkan tidak adanya efek jera bagi koruptor. Hal ini dapat terlihat dari hukuman bagi koruptor yang merugikan keuangan negara hingga puluhan miliar hanya terkena 6—10 tahun hukuman penjara.

Baca juga:  Horor Desa 'Siluman'

Ringannya hukuman bagi koruptor jelas tidak menyebabkan rasa takut, sebab dengan menjalani hukuman beberapa tahun saja para koruptor bisa memperoleh uang yang sangat besar yang kemungkinan tidak akan mampu mereka dapat selama masa jabatannya. Apalagi jika benar-benar menerapkan wacana “restorative justice” pada kasus korupsi demi efisiensi dan efektivitas, bisa bubar negara ini!

Bagaimana tidak? Koruptor yang sudah mengambil uang rakyat hanya sekadar diminta mengembalikan dana korupsi tanpa dihukum penjara. Yang lebih menyakitkan lagi, para penegak hukum yang seharusnya tegas menjatuhkan sanksi malah duduk bercengkerama dengan para koruptor. Sungguh sangat zalim! Kalau begini, seriuskah negara memberantas korupsi?

Gurita Korupsi Akan Hilang dalam Sistem Ilahi

Menghilangkan korupsi dalam sistem demokrasi laksana menjaring angin, yaitu sesuatu yang sia-sia. Bakal tumbuh dan tumbuh lagi. Bahkan, korupsi bukan lagi hal tabu dan tidak hanya oleh individu, tetapi sudah secara berjemaah.

Gurita korupsi ini bermuara dari tata nilai dan kebijakan berpolitik dan hukum yang lahir dari kapitalisme. Oleh karena itu, untuk memberangusnya adalah dengan mengganti sistem kapitalisme (yang melahirkan tata nilai dan kebijakan tersebut) dengan sistem sahih yang kapabilitasnya telah teruji dalam menciptakan kehidupan bernegara bebas korupsi. Sistem pengganti tersebut tidak lain adalah sistem Ilahi, yakni sistem Islam.

Dalam Islam, upaya membendung budaya korupsi melalui (di antaranya) empat langkah, yakni pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah yang harus bekerja dengan sebaik-baiknya akan sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa.

Dalam HR Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah. Jika belum beristri, hendaknya menikah. Jika tidak mempunyai pembantu, hendaknya ia mengambil pelayan. Jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).”

Oleh sebab itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini.

Kedua, larangan menerima suap (rasuah) dan hadiah. Suap dan hadiah dari seseorang untuk aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu. Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul saw. bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram); dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)

Ketiga, perhitungan kekayaan. Jumlah kekayaan koruptor tentu akan bertambah dengan cepat, meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis, atau cara lain yang halal. Akan tetapi, sebagaimana perbuatan Khalifah Umar bin Khaththab, perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.

Baca juga:  Program Perempuan SDGs, Sanggupkah Sejahterakan Perempuan?

Keempat, keteladanan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin bersih dari korupsi, terlebih pemimpin tertinggi dalam sebuah negara. Dengan takwa, seorang pemimpin akan melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah.

Kelima, hukuman setimpal. Dalam Islam, ada dua fungsi hukuman, yaitu zawajir (pencegah) dan jawazir (penebus).

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar pada awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”[vi]

Khatimah

Hanya saja, aturan yang sempurna dan paripurna ini hanya kompatibel dengan sistem Khilafah Islamiah, bukan dengan kapitalisme. Hari ini, saat Barat dan antek-anteknya terus menarasikan buruk tentang Khilafah, sudah selayaknya opini kemuliaan dan kecemerlangan sistem Khilafah yang agung makin deras teraruskan di tengah masyarakat. Hal ini semata agar umat sadar bahwa kemuliaan sebagai umat terbaik ‘khairu ummah’ yang Allah sematkan hanya bisa terealisasi dengan adanya perisai umat, yakni Khilafah Islamiah.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110) [MNews/Gz]

Glosarium:

*Restorative justice (keadilan restoratif) adalah sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Tujuannya adalah untuk saling bercerita mengenai apa yang telah terjadi, membahas siapa yang dirugikan oleh kejahatannya, dan bagaimana mereka bisa bermusyawarah mengenai hal yang harus dilakukan oleh pelaku untuk menebus kejahatannya. Hal yang bisa dilakukan meliputi pemberian ganti rugi kepada korban, permintaan maaf, atau tindakan-tindakan pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. (Wikipedia)

Referensi:

[i] https://regional.kontan.co.id/news/kpk-nilai-pengembalian-uang-yang-dikorupsi-kepala-desa-dinilai-kpk-lebih-efektif.

[ii] https://fin.co.id/2021/12/03/dpr-setuju-dengan-kpk-kepala-desa-terlibat-korupsi-tak-dipenjara/

[iii] https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-23-2014-pemerintahan-daerah

[iv] https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_6.pdf

[v] https://nasional.okezone.com/read/2021/09/19/337/2473765/deretan-kasus-korupsi-dana-desa?page=1

[vi] https://media.neliti.com/media/publications/144360-ID-upaya-islam-dalam-membendung-budaya-koru.pdf

2 komentar pada “Korupsi Desa Bebas Pidana, Benarkah Negara Serius Berantas Korupsi?

  • 15 Desember 2021 pada 18:54
    Permalink

    Restorative justice secara tidak langsung akan semakin menyuburkan korupsi.Yang dihukum itu adalah perbuatan korupnya sebagai berbuah kejahatan yang melanggar hukum jadi tidak tergantung jumblah dana nya kecil /besar sdh seharusnya dikenakan sanksi hukum

    Balas
  • 15 Desember 2021 pada 16:32
    Permalink

    Wah makin subur aja korupsi. Niat berantas gag sih??

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.