Buruh Protes Impor Alkes, Ekonomi Neolib Memang Tidak Beres
Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.
MuslimahNews.com, OPINI — Era perdagangan bebas menghendaki tidak adanya hambatan dalam kegiatan ekspor dan impor suatu negara karena dalam mazhab neolib, negara hanya berfungsi sebagai regulator. Campur tangan negara dalam melindungi rakyat dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, berharap sejahtera dalam sistem ini bagai mimpi di siang bolong.
Kembali buruh bergemuruh, kali ini dari perusahaan produsen alat kesehatan (alkes) dalam negeri. Mereka menggelar aksi demontrasi di depan Istana Presiden. Mereka protes atas kebijakan impor alat kesehatan di tengah menumpuknya alkes di perusahaan-perusahaan lokal yang mengakibatkan ratusan karyawan perusahaan alkes lokal terpaksa di-PHK. (wartaekonomi, 13/12/2021).
Masa mengajak setiap kalangan untuk bangga dengan produk buatan sendiri. Sebab, memakai barang lokal merupakan bentuk nyata dukungan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. Selain itu, masa pun menuntut agar pemerintah memberantas mafia alkes dan mafia impor dengan menolak memakai barang impor.
Lantas, mengapa pemerintah tetap mengimpor alkes walaupun perusahaan lokal mampu memenuhi kebutuhan alkes? Padahal, harga alkes impor, terkhusus dalam kasus sekarang adalah alat swab antigen, sangat mahal. Triliunan rupiah yang dikeluarkan untuk membeli alkes impor menjadi ironi saat alkes lokal menumpuk tidak terpakai.
Hegemoni Korporasi Multinasional
Inilah bentuk hegemoni korporasi multinasioanal. Perdagangan bebas yang dikendalikan negara-negara makmur hanyalah alat yang digunakan untuk kepentingan ekonomi mereka. Perjanjian-perjanjian dagang internasional yang memosisikan negara berkembang setara dengan negara makmur tidak lebih dari omong kosong yang realitasnya tidak pernah terjadi.
Negara berkembang hanya dijadikan pasar potensial atas kelebihan produksi perusahaan raksasa. Penghapusan tarif impor dan segala kemudahan yang diberikan pemerintah terhadap masuknya alkes impor adalah konsekuensi logis diterapkannya ekonomi neoliberalisme. Sejatinya, konsep pasar bebas ala neolib telah membelenggu negara berkembang untuk bisa menentukan kebijakannya sendiri.
Padahal, ketidakberpihakan pemerintah terhadap industri lokal mengancam kelangsungan hidup industri dalam negeri. Akhirnya, banyak perusahaan lokal yang gulung tikar karena pasar alkes Indonesia dibanjiri barang impor. Hilirnya, hal tersebut akan menghantarkan pada gelombang PHK besar-besaran. Lagi-lagi rakyat yang paling terkena dampaknya.
Andai saja dana triliunan untuk membeli alkes impor yang begitu mahal dialokasikan untuk membeli alkes lokal, tentu akan lebih tepat. Selain harganya jauh lebih murah, perusahaan lokal akan mampu bertahan di tengah badai pandemi yang belum juga pergi. Begitupun karyawannya akan tetap memiliki pekerjaan untuk menafkahi keluarga mereka.
Mafia Alkes
Selain tekanan asing, keran impor terus terbuka lebar juga disebabkan oleh adanya mafia alkes dan mafia impor. Siapa meraka? Mereka adalah sekelompok orang yang tega mengail di air keruh. Mereka mengambil untung dari masuknya impor alkes. Para pengusaha yang memiliki modal berkolaborasi dengan penguasa yang memiliki akses pada birokrasi. Kerjasama yang sempurna untuk menzalimi rakyat.
Tuntutan buruh atas diusutnya mafia alkes dan mafia impor bukan tanpa sebab. Praktik mafia alkes impor terkait Covid-19 memang sudah terendus lama. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) misalnya, meminta pemerintah untuk membongkar mafia alat swab antigen. Sebab, mahalnya harga alat untuk tes swab antigen menjadi penyebab rendahnya trasing Covid-19. Bukankah hal demikian kontraproduktif dengan upaya penanggulangannya?
Seandainya mafia alkes tak ada, setidaknya harga alat tes antigen bisa murah. Hal demikian pada gilirannya akan meningkatkan trasing. Selain itu, harga yang murah akan mengurangi beban anggaran. Kelebihannya bisa dialihkan pada hal urgen lain seperti memperbaiki sarana dan prasarana kesehatan di pedesaan. Bukankah semua ini sejalan dengan upaya menanggulangi Covid-19?
Kapitalisasi Sektor Kesehatan
Namun demikian, mafia alkes bukan satu-satunya problem di sektor kesehatan. Setidaknya ada tiga masalah besar lainnya yang ada di bidang Kesehatan. Pertama, infrastruktur yang kurang memadai. Berdasarkan data Kemenkes 2019, dari jumlah RS sebanyak 2.813, sebagian besarnya berada diperkotaan.
Problem kedua adalah distribusi nakes, dokter umum, bidan, apalagi dokter spesialis, sangat sedikit di pedesan. Ini yang menyebabkan jumlah kematian pada gelombang 3 Covid-19 di awal tahun 2021, menurut pakar, akan tinggi. Sebab, Covid-19 yang kini menyebar ke pedesaan tidak diimbangi dengan faskes dan nakes yang memadai.
Ketiga, masalah pendanaan. Anggaran yang selalu defisit menjadikan pendanaan dalam sektor kesehatan pun dibatasi. 3 T (Testing, Tracing, Treatmen) yang buruk pun adalah akibat kurangnya dana sehingga pandemi tak kunjung usai. Belum lagi, dana yang terbatas itu digerogoti pula oleh pejabat pemburu rente.
Inilah kompleksitas permasalahan kesehatan di Indonesia. Tidak heran, masih menjadi PR besar bagi pemerintah untuk bisa menyelesaikan pandemi melalui pembenahan sektor kesehatan. Namun, kegagalan sistem kesehatan bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan dunia mengakui bahwa berlarut-larutnya pandemi diakibatkan oleh kapitalisasi sektor kesehatan.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin, pandemi ini “dipelihara” untuk kepentingan bisnis vaksin, misalnya. Lihat saja bagaimana produsen vaksin mengunci hak paten vaksin dan memilah tujuan ekspor vaksin sehingga ketimpangan antarnegara terhadap akses vaksin pun begitu terasa. Ditambah, adanya imbauan hidup “new normal” di tengah badai korona. Semua ini menyebabkan mutasi virus terus terjadi.
Kegagalan Kapitalisme
Berlarut-larutnya pandemi, berjilid-jilidnya gelombang Covid-19 di hampir seluruh negara merupakan bukti kegagalan sistem kapitalisme mempimpin dunia. Dogma ekonomi neolib yang mengebiri fungsi negara hanya sebatas regulasi tidak terbukti mampu menumbuhkan perekonomian.
Justru sebaliknya, hal demikian hanya menjadi dalih atas lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap urusan umat. Walhasil, umat dipaksa berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhannya di tengah kebijakan yang tidak memihak mereka.
Menjamurnya mafia yang menjadi pengendali harga dan kebijakan. Begitupun adanya ketimpangan antara negara berkembang dengan negara makmur, atau antara kota dengan desa. Semua itu terjadi karena sistem kesehatan dikendalikan oleh korporasi.
Islam Berantas Mafia Alkes dan Mafia Impor
Oleh karena itu, telah jelas akar permasalahan adanya mafia alkes dan keran impor yang terus terbuka lebar, itu semua akibat adanya kapitalisasi di sektor kesehatan. Berbeda jauh dengan sistem pemerintahan Islam, kesehatan adalah salah satu kebutuhan masyarakat yang dijamin oleh negara sehingga lalainya penguasa dalam mengurusi kesehatan warganya, balasan atas mereka adalah neraka.
Sistem kesehatan di bawah kendali penuh pemerintah. Begitupun faskes dan nakes semua diurusi pemerintah. Adapun rumah sakit swasta, walaupun dibolehkan hadir, tidak akan menjadi pemain utama karena kebutuhan masyarakat akan kesehatan dari hulu hingga hilir diurusi negara.
Dengan demikian, mafia impor dan mafia alkes akan hilang dengan sendirinya. Sebab, keberadaan mereka dijegal dari berbagai sisi, baik dari sisi hukum yang sanksinya berat bagi koruptor maupun peran sentral negara yang akan menyelesaikan seluruh permasalahan.
Pendanaan pun tak akan mengandalkan utang. Sumber baitulmal yang melimpah dalam kas negara Khilafah akan menjadikan gelontoran dana bagi sektor kesehatan di masa pandemi sangat besar. Inilah yang akan meningkatkan 3 T dan pada gilirannya akan menyelesaikan permasalahan pandemi. Pada akhirnya, tidak ada solusi lain selain menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahualam. [MNews/Has]