Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz, sang Bintang dari 15 Bersaudara (Bagian 2/2)

MuslimahNews.com, KISAH INSPIRATIF Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah mengumpulkan para penghafal Kitabullah dan para fukaha di Syam lalu berkata, “Sesungguhnya aku mengundang kalian untuk suatu urusan kezaliman yang terjadi dalam keluargaku (yakni pada masa Khalifah Sulaiman), bagaimana pendapat kalian?”

Mereka menjawab, “Wahai Amirulmukminin, sesungguhnya hal itu bukanlah tanggung jawab Anda, dan dosanya ditanggung oleh orang yang merampas hak tersebut.”

Namun, jawaban tersebut belum bisa memuaskan hati Umar bin Abdul Aziz. Kemudian, salah seorang di antara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat tersebut berkata, “Undanglah Abdul Malik, wahai Amirulmukminin, karena beliau layak untuk Anda undang karena ilmu, kefakihan, dan kecerdasannya.”

Tatkala Abdul Malik masuk, Amirulmukminin bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang harta yang diambil oleh anak-anak paman kita (Sulaiman) secara zalim? Padahal, orang-orang yang memiliki hak tersebut telah datang dan menuntutnya, sementara kita mengetahui hak mereka?”

Abdul Malik berkata, “Menurut hemat saya, hendaknya Anda mengembalikan barang tersebut kepada yang memiliki selagi Anda mengetahui urusannya karena jika Anda tidak melakukannya maka Anda telah berserikat dengan orang yang mengambil hak dengan cara yang zalim.”

Menjadi teranglah hati Umar, menjadi tenanglah jiwa beliau, dan hilanglah rasa gelisah yang menyelimuti hatinya.

Surat Umar kepada Abdul Malik

Abdul Malik lebih memilih hidup di bumi ribath (perbatasan untuk menjaga serangan musuh) dan menetap di salah satu desa yang dekat dengannya daripada tinggal di Syam. Beliau menuju ke sana dan beliau tinggalkan Damaskus yang penuh dengan taman yang subur, pepohonan yang rindang, dan sungai-sungai yang indah.

Ayahanda beliau—kendati telah mengetahui betul akan kesalehan dan ketakwaan buah hatinya—masih merasa khawatir jika anaknya tergelincir oleh tipu daya setan. Sang ayah amat mendambakan jika anaknya senantiasa menjadi pemuda yang tegar. Ia selalu ingin mengetahui urusan anaknya selagi mampu mengetahuinya. Ia sama sekali tidak meremehkan urusan ini.

Maimun bin Mahran, menteri Umar bin Abdul Aziz sekaligus penasihat yang membantu beliau, bercerita, “Aku menemui Umar bin Abdul Aziz sedangkan aku lihat beliau tengah menulis surat yang ditujukan untuk putra beliau, Abdul Malik. Beliau bermaksud menasihati putranya, memberikan pengarahan, peringatan dan kabar gembira.

Di antara yang beliau tulis adalah,

“Amma ba’du, sesungguhnya orang yang paling berhak menjaga dan memahami perkataanku adalah engkau. Dan sesungguhnya Allah Taala—alhamdulillah—telah mengaruniakan kebaikan kepada kita sejak kecil hingga sekarang. Maka ingatlah wahai anakku akan karunia Allah kepadamu dan juga kepada kedua orang tuamu. Jauhilah olehmu sifat takabur dan merasa besar, karena hal itu adalah perbuatan setan, sedangkan setan adalah musuh yang nyata bagi orang-orang beriman.

Ketahuilah, sesungguhnya aku mengirim surat ini untukmu bukan karena aku mendengar suatu berita tentangmu, aku tidak mendengar berita tentangmu kecuali yang baik-baik. Hanya saja telah sampai kepadaku tentang kebanggaanmu terhadap dirimu. Seandainya rasa ujub ini muncul pada dirimu hingga menyebabkan aku tidak menyukainya, maka engkau akan melihat sesuatu yang tidak kau sukai dariku.”

Maimun berkata, “Kemudian Umar menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai Maimun, sesungguhnya dalam pandangan mataku, Abdul Malik begitu baik, tetapi aku khawatir jika kecintaanku kepadanya mengalahkan pengetahuanku terhadapnya sehingga aku menempatkan diriku seperti orang tua yang buta, pura-pura tidak tahu terhadap kekurangan anaknya.’

Lalu, Maimun menjawab, “Maka datanglah kepadanya, selidikilah keadaannya, dan lihatlah apakah engkau melihat tanda-tanda kesombongan dan kebanggaan pada dirinya? Karena dia masih terlalu muda, belum tentu aman dari tipu daya setan.”

Atas perintah Khalifah Umar, Maimun melakukan perjalanan menemui Abdul Malik hingga bertemu dengannya. Ia meminta izin lalu masuk. Setelah masuk, ia hanya mendapati seorang pemuda yang masih belia, pemuda yang gagah, tampan dan tawaduk, dia duduk di atas alas dari rambut. Lalu, Abdul Malik mendekati Maimun seraya berkata, “Aku telah mendengar ayah menyebut-nyebut kebaikan Anda, saya berharap agar Allah memberikan manfaat karena Anda.”

Maimun berkata, “Bagaimanakah keadaan Anda hari ini?” Lalu Abdul Malik menjawab, “Mendapatkan keyakinan dan nikmat dari Allah Swt.. Hanya saja aku takut jika teperdaya oleh sikap husnuzan ayah kepadaku, padahal saya belum mencapai keutamaan sebagaimana yang beliau duga. Aku khawatir jika kecintaan beliau kepadaku telah mengalahkan pengetahuan beliau tentang diriku, sehingga hal itu menjadi bencana bagiku.”

Maimun bergumam dalam pikirannya, “Aku sungguh heran, bagaimana keduanya bisa sepakat pemikirannya?” Maimun kembali bertanya kepada Abdul Malik, “Beritahukanlah kepadaku, dari mana engkau mencari nafkah?”

Abdul Malik menjawab, “Dari hasil bumi yang telah aku beli dari orang yang mendapatkan warisan dari ayahnya, aku membayarnya dengan uang yang tidak ada syubhat di dalamnya. Dengannya aku dapat mencukupi kebutuhanku.”

Maimun bertanya kembali, “Apa yang kau makan setiap harinya?” Abdul Malik berkata, “Sehari daging, sehari adas, dan sehari makan cuka dan zaitun, dengan ini cukup untuk hidup.”

Maimun berkata, “Apakah engkau merasa bangga dengan keadaanmu?” Abdul Malik menjawab, “Begitulah pada awalnya, namun manakala ayah menasihatiku, memberikan pengertian kepadaku dan mengingatkan akan kekuranganku, maka Allah memberikan manfaat kepadaku dengannya. Semoga Allah membalas kebaikan ayah dengan balasan yang baik.”

Kemudian, Maimun duduk-duduk beberapa saat sambil berbincang-bincang dengan Abdul Malik. Ia tidak melihat pemuda yang lebih tampan, lebih berakal, lebih bagus adabnya darinya kendati masih sangat muda dan sedikit pengalamannya.

Ketika waktu telah menjelang sore, seseorang mendatangi Abdul Malik dan berkata, “Semoga Allah menjadikan Anda sejahtera, kami telah mengosongkannya.”

Abdul Malik terdiam, lalu Maimun bertanya, “Apa maksud dia berkata, ‘Kami telah mengosongkannya,’?” Abdul Malik menjelaskan bahwa yang dimaksud ialah kolam mandi yang mana orang-orang mengosongkannya untuknya.

Maimun bekata, “Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang besar hingga aku mendengar berita ini.”

Abdul Malik dengan rasa takut membaca istirja [‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un], lalu berkata, “Dalam hal mana, wahai Paman?” Maimun melanjutkan, “Apakah kolam tersebut milikmu?”

“Bukan!” jawab Abdul Malik. Maimun bertanya lagi, “Lantas atas dasar apa engkau menyuruh manusia keluar darinya kemudian engkau memakainya? Seakan engkau ingin mengunggulkan dirimu di atas mereka dan engkau menjadikan kehormatanmu di atas kehormatan mereka? Engkau juga mengganggu pemilik kolam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hariannya dan engkau membuat orang-orang kecewa karena harus pulang lantaran tak boleh masuk.”

“Tentang pemilik kolam, dia telah merelakan dan memberikan haknya kepadaku,” ujar Abdul Malik. “Itulah pelayanan yang dengannya engkau dapat tercemari oleh takabur. Apa yang menghalangimu untuk masuk bersama manusia, sedangkan engkau seperti mereka juga?” tanya Maimun.

Lalu Abdul Malik menjawab, “Yang menghalangiku adalah sebagian orang-orang miskin masuk kolam tanpa menggunakan penutup maka aku tidak suka melihat aurat mereka. Dan aku tidak bisa pula memaksa mereka untuk menggunakan penutup karena mereka akan menganggap aku menggunakan kekuasaanku yang mana aku memohon kepada Allah agar membersihkan kami dari tendensi semacam itu maka berilah nasihat kepadaku semoga Anda mendapatkan rahmat dari Allah sehingga saya bisa mengambil manfaatnya. Dan berilah masukan agar saya bisa memecahkan persoalan ini.”

Lalu Maimun memberinya nasihat agar Abdul Malik menunggu sampai orang-orang keluar semua dari kolam di malam hari dan mereka telah kembali ke rumah mereka masing-masing, kemudian barulah Abdul Malik masuk ke kolam.

Abdul Malik menanggapi, “Baik, aku janji tidak akan masuk ke dalamnya di siang hari setelah hari ini.” Kemudian, dia diam sejenak seakan memikirkan sesuatu. Lalu, dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Aku mohon kepada Anda agar tidak menyampaikan kabar ini kepada ayah, karena aku khawatir dia akan marah kepadaku. Aku takut jika sewaktu-waktu ajal tiba sedangkan beliau dalam keadaan tidak rida kepadaku.”

“Jika Amirulmukminin bertanya apakah aku melihat suatu kejanggalan pada dirimu, maka apakah engkau rela jika aku harus berdusta kepada beliau?” tanya Maimun. Dia menjawab, “Tentu saja tidak, na’udzubillah, akan tetapi Anda bisa berkata, “Aku memang melihat sesuatu darinya, lalu aku menasihatinya dan memberikan gambaran bahwa urusannya itu besar, kemudian dia mau memperbaiki dirinya, karena ayah tidak akan meminta Anda untuk membuka rahasia ini selagi Anda tidak menceritakan kepada beliau. Dan Allah Swt. telah menjaga beliau dari mengorek sesuatu yang menjadi rahasia.”

Maimun berkata “Aku belum pernah melihat seorang anak dan orang tua semisal keduanya, semoga Allah merahmati keduanya.”

Kisah ini menjadi pelajaran penting bagi para orang tua bahwa kesalehan orang tua sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Begitu pula bagi seorang anak. Keteladanan orang tua adalah role model untuknya menjadi pribadi yang bertakwa. Orang tua dan anak saleh karena sistem Islam mampu membentuk kesalehan dan ketakwaan komunal. Semoga memberi hikmah bagi kita semua. [MNews/Has]

Sumber: Sindonews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.