Tipu Daya Akan Menghancurkan Pembuatnya Sendiri (Tafsir QS Al-An‘am Ayat 123)
Penulis: Rohmah Rodhiyah
MuslimahNews.com, TAFSIR AL-QUR’AN –
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا فِي كُلِّ قَرۡيَةٍ أَكَٰبِرَ مُجۡرِمِيهَا لِيَمۡكُرُواْ فِيهَاۖ وَمَا يَمۡكُرُونَ إِلَّا بِأَنفُسِهِمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ ١٢٣
“Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat (orang-orang yang berbuat dosa/maksiat) yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS Al-An’am: 123)
Ibn Abbas menafsirkan “أَكَٰبِرَ مُجۡرِمِيهَا ” (Orang-orang yang berbuat dosa/maksiat yang terbesar) adalah para pemimpin/orang-orang yang represif dan orang-orang kaya di negeri (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir QS Al-An’am ayat 123). Dari sini bisa dijelaskan bahwa“أَكَٰبِرَ مُجۡرِمِيهَا ” (Orang-orang yang berbuat dosa/maksiat yang terbesar) adalah para pemimpin, para pengusaha dengan modal yang besar, orang-orang yang mempunyai kekuatan yang berbuat represif, dan membuat kebijakan-kebijakan serta pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan ” أَكَٰبِرَ مُجۡرِمِيهَا” (Orang-orang yang berbuat dosa/maksiat yang terbesar) adalah para pemimpin dan para pembesar, dikhususkan atas mereka, karena sesungguhnya mereka paling mampu/paling tinggi kadar untuk membuat kerusakan (Imam Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, QS Al-An’am: 123).
Mengapa kejahatan atau perbuatan dosa/maksiat yang dilakukan oleh pemimpin dan orang-orang yang mempunyai kekuatan dikatakan sebagai kejahatan atau perbuatan dosa/maksiat yang terbesar karena kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis atau maksiat yang mereka lakukan dampaknya tidak terbatas, akan tetapi berdampak luas.
Misalnya seorang rektor yang melarang cadar di perguruan tinggi Islam yang dia pimpin, maka akan berdampak luas, baik ke kampus yang ia pimpin maupun kampus yang lain. Tidak hanya itu, tetapi berpengaruh juga ke sekolah, instansi, dan masyarakat pada umumnya.
Terlebih yang mengatakan adalah seorang rektor perguruan tinggi Islam, kerusakan yang timbul bisa makin luas dengan kerusakan yang parah karena masyarakat menganggap yang dilakukannya adalah kebenaran. Hal ini karena rektor perguruan tinggi Islam dianggap mempunyai kapabilitas berbicara tentang agama. Artinya, ada pembenaran bahwa seolah melarang cadar itu sesuai ajaran Islam.
Selanjutnya, berkaitan dengan tipu daya, Imam Al-Qurtubi menafsirkan ” لِيَمۡكُرُواْ”/tipu daya, maksudnya membuat manusia menyimpang dari istikamah/berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Mujahid berkata, “Mereka menjadikan manusia lari dari mengikuti Nabi saw., sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dari umat-umat dahulu sebelum mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (Imam Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, QS Al-An’am: 123).
Ibn Abbas menafsirkan ” لِيَمۡكُرُواْ”/tipu daya maksudnya adalah kemaksiatan/kerusakan dan dikatakan (mereka membuat tipu daya dalam negeri itu) agar manusia mendustakan para nabi dalam negeri itu (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir QS al-An’am ayat 123). Sedang Imam Jalaluddin menafsirkan ” لِيَمۡكُرُواْ ”/tipu daya adalah mereka membuat tipu daya dalam negeri itu, yaitu menghalangi dari keimanan (Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, QS Al-An’am: 123).
Dengan demikian tipu daya yang mereka buat berupa kemaksiatan/kerusakan adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dengan tujuan menjadikan manusia lari dari mengikuti Nabi saw., membuat manusia agar mendustakan para nabi dalam negeri itu, menyimpang dari istikamah/berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Bisa saja berupa kebijakan-kebijakan, perintah, larangan dan pernyataan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Termasuk dalam perbuatan maksiat adalah pernyataan Yudi Latif, ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang menyarankan agar “Assalamualaikum” diganti dengan “Salam Pancasila”. Sebelumnya Yudi Latif juga sudah menyarankan kepada umat Islam untuk menggeser menempatkan kitab suci, diganti konstitusi dalam berbangsa dan bernegara.
Termasuk dalam perbuatan maksiat/membuat kerusakan adalah orang yang menulis dan orang-orang yang meluluskan disertasi Abdul Azis yang berjudul “Konsep Milk al-Yamīn Muḥammad Syaḥrūr Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” yang bermuatan liberalisasi seks dengan dalih milkul yamin itu dibolehkan dalam Islam. Disertasi ini menuai kontroversi karena dianggap menyetujui keabsahan hubungan seksual nonmarital.
Demikian pula kebijakan–kebijakan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan kebijakan-kebijakan yang membuat rakyat semakin sengsara. Misalnya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang mempermudah akses tenaga kerja asing dengan dianulirnya UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini akan melanggengkan ketimpangan kemampuan antara pekerja asing dan lokal. Terlebih jika ada kebijakan investor dari negara asing yang mensyaratkan tenaga kerjanya berasal dari negaranya. Padahal, saat ini pekerja asing terbanyak di Indonesia berasal dari Cina, berjumlah sekitar 32 ribu orang. Di samping itu, Omnibus Law akan menimbulkan daya rusak yang tinggi terhadap aspek pertambangan dan lingkungan hidup.
Jika dilihat sepintas, seakan-akan mereka yang membuat tipu daya itu akan memperoleh keuntungan yang besar dan mampu mencelakakan orang lain, akan tetapi pada dasarnya tipu dayanya itu akan menimpa dirinya sendiri. Karena mereka sebenarnya tidak memperdayakan, melainkan dirinya sendiri, apa yang mereka perbuat berupa maksiat dan kerusakan/kehancuran akan menghancurkan diri mereka sendiri, mereka sendiri yang merasakan akibatnya sedang mereka tidak menyadarinya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Abbas bahwa “وَمَا يَمۡكُرُونَ إِلَّا بِأَنفُسِهِمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ” (Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya) adalah “Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, apa yang diperbuat mereka berupa maksiat dan kerusakan/kehancuran akan berakibat kepada diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir QS Al-An’am ayat 123).
Imam Qurtubi menafsirkan “وَمَا يَمۡكُرُونَ إِلَّا بِأَنفُسِهِمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ” (Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya) adalah “dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri”, artinya bahkan tipu daya mereka kembali kepada diri mereka sendiri. Yang demikian itu dari Allah Azza Wajalla membalas atas tipu daya orang-orang yang membuat tipu daya dengan azab yang pedih. Sedang mereka sekarang tidak menyadarinya karena tidak mengetahui bahwa sebenarnya tipu daya mereka akan kembali kepada mereka (Imam Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, QS Al-An’am: 123). [MNews/Rgl]