[Editorial] Mungkinkah Kekerasan Seksual Dihapus dengan Aturan Sekuler?

MuslimahNews.com, EDITORIAL – Mencuatnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum dosen, ustaz, guru, dan aparat akhir-akhir ini seakan menjadi amunisi baru bagi kalangan pegiat kesetaraan gender (KG) untuk kian mendesak pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS). Para aktivis pun memanfaatkan peringatan hari HAM pada 10 Desember ini untuk menyuarakan tuntutannya lebih kencang lagi.

Bukan hanya kalangan pegiat KG, bahkan sejumlah menteri, gubernur, dan anggota DPR pun serentak menyuarakan hal yang sama. Mereka mengatakan sudah saatnya menghentikan kasus kekerasan seksual, terutama yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban. Caranya dengan segera membuat payung hukum yang bisa menjerat pelaku dan sekaligus melindungi korban.

Terlebih kasus-kasus yang muncul akhir-akhir ini memang terbilang tragis dan dramatis, terutama kasus Bandung dan kasus Novia Widyasari. Wajar jika pemberitaan yang intens terkait kasus-kasus ini pun membuat sebagian publik turut tergiring untuk mendukung pengesahan RUU TP-KS.

Karena alasan itulah, Kantor Staf Kepresidenan (KSP) langsung menginisiasi pembentukan gugus tugas percepatan Rancangan RUU TP-KS. Selain terdiri dari stakeholder lintas kementerian/lembaga, gugus tugas ini juga melibatkan masyarakat sipil, akademisi, hingga media massa.

Kasus Terus Meningkat

Tidak kita mungkiri, dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual memang terus meningkat. Peningkatan ini sejalan dengan naiknya kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) secara umum, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Data Kemen PPPA menyebut, pada 2019 kasus KtP tercatat sekitar 8.800 kasus. Pada 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus. Lalu data November 2021 naik lagi di angka 8.800 kasus. Artinya, dalam tiga tahun terakhir hingga November 2021 sudah ada 26.200 kasus KtP. Dari data sebanyak itu, kekerasan fisik mencapai 39%, kekerasan psikis 29,8%, dan kekerasan seksual 11,33%. Sisanya kekerasan ekonomi.

Adapun KtA, kasusnya lebih banyak lagi. Kemen PPPA menyebut, pada 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Dari data tersebut, 45% berupa kekerasan seksual, 19% kekerasan psikis, 18% kekerasan fisik, dan sisanya kekerasan ekonomi.

Data ini dipastikan merupakan fenomena gunung es. Mengingat kasus KtP atau KtA, apalagi kekerasan seksual, banyak yang terjadi di ranah privat. Tidak semua orang berani melapor, apalagi membawa kasusnya ke jalur hukum.

Selain itu, bisa kita katakan, hari ini tidak ada satu pun tempat yang aman bagi terjadinya tindak kekerasan. Di semua tempat, kekerasan bisa terjadi dan pelakunya bisa orang yang paling dekat dan dihormati. Seperti saudara dan bahkan orang tua di rumah, di tempat umum, lembaga sekolah, bahkan di pondok pesantren seperti yang terjadi akhir-akhir ini

Baca juga:  Waspada Upaya Liberalisasi Seksual Melalui “Bodily Autonomy”

Kegagalan Sistem Sekuler

Kalangan pegiat KG selalu mengatakan bahwa kasus kekerasan termasuk KtP dan KtA adalah kekerasan berbasis gender. Menurut mereka, berbagai kasus kekerasan terjadi karena ada relasi kuasa yang timpang akibat mindset masyarakat yang melihat anak dan perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Oleh karenanya, solusinya adalah menciptakan budaya dan aturan yang berperspektif gender.

Mereka juga berpandangan, budaya dan aturan yang ada masih belum adil gender. Terbukti kaum perempuan sering dianggap sebagai penyebab terjadinya kekerasan, terutama kekerasan seksual, sehingga mereka seakan menderita dua kali.

Begitu pun pada kasus kekerasan psikis, ada pula kelompok yang mereka sebut sebagai kelompok rentan yang tidak mendapat keadilan hukum, semisal kaum L68TQ. Mereka adalah korban, tetapi tetap tersudutkan.

Apa yang mereka suarakan memang selaras dengan penderasan opini secara global oleh lembaga-lembaga internasional sebagai amplifier kepentingan negara adidaya. Narasi kesetaraan gender, HAM, bahkan terminologi dan definisi-definisi, seperti definisi kekerasan, definisi anak, dan sebagainya, mereka buat dan aruskan sedemikian rupa sebagai bagian dari alat perang pemikiran.

Mereka pun membuat berbagai analisis dan menyiapkan seperangkat aturan dasar sebagai acuan bagi negeri-negeri di dunia ketiga untuk menyolusi apa yang mereka sebut sebagai persoalan kekerasan, semisal konvensi-konvensi internasional. Tujuannya untuk menjauhkan umat dari pandangan yang lurus terkait akar persoalan, sekaligus menjauhkan solusi hakikinya menurut Islam. Dengan demikian umat akan terus terbelit dengan banyak persoalan dan pada saat yang bersamaan terus terposisi sebagai objek penjajahan.

Jika mau jujur, seluruh jenis kekerasan, baik yang menimpa perempuan dan anak, bahkan berbagai persoalan lainnya, sesungguhnya berakar pada rusaknya sistem sekuler yang saat ini terterapkan, bukan akibat persoalan gender. Terlebih nyatanya, kekerasan ini tidak hanya menimpa kaum perempuan dan anak, tetapi juga menimpa kaum laki-laki dan pelakunya pun bisa dari kalangan laki-laki maupun perempuan.

Bisa kita sebut kasus kekerasan ini justru berjalan secara sistemis. Penyebabnya saling berkaitan, seperti lingkaran setan, tidak bisa memilah antara satu faktor dengan faktor lainnya. Oleh karenanya, persoalan ini akan sulit terputus dengan satu solusi saja, termasuk dengan menerapkan aturan sebagaimana yang saat ini sedang mereka perjuangkan, apalagi landasannya juga sekuler.

Sistem Rusak

Sistem sekuler ini memang menjauhkan agama dari kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, pergaulan, ekonomi, hukum, sanksi, serta dalam bidang-bidang lainnya. Tidak heran jika penerapan sistem ini membuat individu dan masyarakat tidak memiliki ketahanan ideologis untuk menjalani semua problem hidup, sementara negara kehilangan kekuatannya untuk mengatur masyarakat dengan pengaturan yang benar karena tidak punya basis ruhiyah tentang pertanggungjawaban kepemimpinan di akhirat kelak.

Baca juga:  [Fokus] Marak Kekerasan Seksual, Bukan RUU TP-KS Solusinya

Masyarakat yang hidup dalam sistem rusak seperti ini justru menjadi wadah berkembangnya segala bentuk kerusakan. Pornografi, pornoaksi, kriminalitas, seks bebas, penyimpangan perilaku, miras, NAPZA, perselingkuhan, aborsi, bisnis esek-esek karena alasan ekonomi, perceraian, dan sejenisnya menjadi hal yang lumrah. Bahkan, sebagiannya bisa legal di bawah payung hukum negara. Tidak heran kasus-kasus kekerasan pun seolah mustahil dicegah.

Sebagai contoh, tidak jarang kekerasan seksual—termasuk inses—terjadi pada keluarga yang minim secara ekonomi dan pemahaman agama yang rendah. Mereka hidup dalam rumah sempit sehingga aktivitas seksual menjadi aktivitas yang bisa terakses seluruh keluarga mereka, termasuk anak-anak.

Kondisi ini makin parah dengan sistem informasi dan media yang longgar terhadap pornografi pornoaksi. Pergaulan masyarakat yang juga sangat permisif, termasuk aurat bebas terbuka, akhirnya didominasi oleh rangsangan naluri seksual yang kapan pun dan di mana pun bisa memicu kekerasan.

Hal ini diperparah dengan budaya masyarakat yang juga sangat permisif dan tidak kenal budaya amar makruf nahi mungkar, ditambah sistem hukum yang diterapkan oleh negara sangat lemah dan sama sekali tidak memiliki efek jera. Tidak heran jika masyarakat bisa menjadi sumber penyebarluasan kerusakan dan negara bisa melegalisasi kemaksiatan.

UU TP-KS Justru Mengukuhkan Persoalan

Mereka yang berpikir bahwa RUU TP-KS adalah solusi atas maraknya kekerasan seksual benar-benar salah besar. Perjuangan mereka ini dipastikan akan sia-sia sebagaimana usaha keras mereka mengegolkan berbagai aturan sekuler pada masa-masa sebelumnya.

Lihatlah, apa yang terjadi setelah UU PKDRT, UU PA, dan UU sejenisnya sudah mereka golkan? Apakah kasus KDRT, penistaan terhadap hak anak, dan yang mereka sebut sebagai masalah gender berkurang dari sebelumnya?

Terlebih selain berbasis paham sekuler liberal, RUU ini membiarkan pintu-pintu penyebab kekerasan dan kerusakan yang lebih besar terbuka lebar. Semisal membiarkan soal perzinaan dan penyimpangan seksual tidak tersentuh aturan. Bahkan, masuknya frasa “sexual consent” dalam materi peraturan seakan memberi ruang perilaku bejat itu untuk berkembang luas di masyarakat.

Mereka mengatakan bahwa peraturan ini dibuat untuk mengakomodasikan kepentingan korban. Mereka tidak mau seorang anak atau perempuan disalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Ternyata mereka melihat persoalan dalam pandangan sexist dan sangat individualis. Sama sekali tidak paham bagaimana karakter naluri manusia dan bagaimana ia “bekerja”. Terlebih pada sistem yang sama sekali tidak punya lapis penjaga.

Mereka selalu berteriak, “My body is my authority,” sehingga mau telanjang pun itu adalah otoritas dan hak gender mereka. Padahal, keputusan mereka yang egois ini bisa jadi membahayakan keamanan perempuan lain yang secara ketat berupaya menjaga kehormatan mereka, tetapi mereka ada di tempat dan waktu yang salah, bertemu dengan orang jahat yang syahwatnya terlanjur bangkit akibat perbuatan kaum sekuler yang memuja perilaku bebas.

Baca juga:  [News] Direktur Inqiyad: Ganti Frasa "Kekerasan Seksual" dengan "Kejahatan Seksual", Lebih Jelas dan Tegas!

Dengan demikian, semestinya mereka segera berpikir ulang tentang paradigma sekuler dan feminis yang selama ini mereka bangga-banggakan. Mereka tentu tidak ingin mereka sendiri atau anak dan keluarga mereka menjadi korban sebagaimana orang-orang yang hari ini nasibnya sedang mereka perjuangkan.

Butuh Solusi Islam

Mencegah atau menghapus kekerasan seksual, bahkan jenis-jenis kekerasan lainnya, hanya bisa dengan penerapan sistem Islam. Sistem ini tegak di atas akidah yang lurus, yakni keimanan kepada Allah Swt. sebagai Maha Pencipta sekaligus Maha Pengatur. Aturan Allah inilah yang dipastikan bisa menyolusi seluruh problem hidup manusia secara holistis dan integratif.

Sistem Islam ini tegak di atas prinsip halal haram, bukan demokrasi yang mengagungkan kebebasan dan HAM ataupun kemanfaatan. Penerapan sistem Islam menyangkut pendidikan, pergaulan, ekonomi, informasi, dan media massa oleh negara yang pemimpinnya bertakwa, akan memastikan individu dalam masyarakat memiliki ketahanan ideologis dan kesejahteraan yang tinggi. Semua celah kerusakan yang menjadi faktor risiko terjadinya kekerasan seksual akan tertutup secara optimal, bahkan sejak sebelum semuanya terjadi.

Kalaupun telanjur terjadi, negara akan punya kekuatan untuk menutup peluang penyebarluasan kerusakan, yakni melalui penerapan sistem hukum dan sanksi tegas yang memberi efek jera, bahkan menjadi penebus dosa bagi para pelakunya.

Adapun atas korban, negara Islam akan memberi perlakuan sesuai faktanya. Jika mereka benar-benar dirudapaksa, negara akan merehabilitasi dan mendukung mereka sepenuhnya. Sedangkan jika mereka terbukti memberi celah, mereka akan mendapat hukuman sesuai kesalahannya.

Bisa kita bayangkan jika ada satu saja orang seperti Herry Wirawan yang sudah menikah, lalu terbukti secara hukum telah melakukan kesalahan, ia akan dihukum rajam sesuai sistem sanksi Islam. Penegakan hukum seperti ini tentu akan menjadi peringatan bagi orang-orang yang punya kecenderungan melakukan kejahatan untuk mengurungkan niat buruknya sehingga terjagalah yang lainnya dari peluang menjadi korban.

Terlebih dalam sistem Islam akan lahir individu-individu yang bertakwa yang siap menjaga diri dan akhlaknya. Juga lahir masyarakat yang bersih dan sejahtera, serta negara yang siap menjadi pengurus dan penjaga rakyatnya melalui penegakan seluruh aturan Islam secara sempurna. Tiga pilar inilah yang akan menghapus kekerasan seksual hingga ke akarnya. [MNews/SNA]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.