Mayoritas Koruptor Berpendidikan Tinggi, Ada Apa dengan Sistem Pendidikan Kita?
Penulis: Nida Alkhair
MuslimahNews.com, OPINI — Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengemukakan fakta miris. Sebanyak 86% koruptor adalah alumni perguruan tinggi. Hal ini disampaikan Ghufron pada Webinar Pembukaan Rakornas Pendidikan Antikorupsi 2021, Selasa (7/12/2021). Dari koruptor yang berpendidikan tinggi tersebut, 30% berpendidikan S1, 60% S2, dan 10% S3.
Data ini menunjukkan bahwa tingginya pendidikan seseorang tidak berkorelasi dengan kejujuran dan sikap amanah. Tingginya pendidikan justru dimanfaatkan untuk melicinkan aksi korupsi. Makin banyak ilmu, makin paham celah aturan sehingga bisa korupsi dengan aman.
Padahal, seharusnya makin tinggi pendidikan seseorang, makin banyak ilmunya maka makin baik pula kepribadiannya. Nyatanya tidak. Lantas, apa yang salah dengan pendidikan kita?
Pendidikan Antikorupsi
Merespons maraknya korupsi, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas akan menyisipkan sisi antikorupsi di sektor pendidikan. Menurut Nadiem, pendidikan Indonesia harus mengarah pada satu tujuan, yaitu profil pelajar Pancasila, yakni integritas dan akhlak mulia menjadi pilar utama. Sementara menurut Yaqut, strateginya adalah melalui insersi dan integrasi dalam mata pelajaran dengan substansi pendidikan moral. Akankah strategi ini efektif?
Pendidikan antikorupsi di sekolah akan menjadi basa-basi jika hanya berupa penanaman nilai-nilai. Sementara, tatanan kehidupan berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Di sekolah belajar tentang kejujuran, tetapi dalam masyarakat jujur berkonotasi ajur (hancur). Di sekolah belajar tentang amanah, tetapi di masyarakat korupsi membudaya.
Bahkan, di lingkup sekolah saja nilai kejujuran sulit diimplementasikan, menyontek menjadi hal yang dianggap lumrah. Hal ini terjadi karena pendidikan berorientasi pada nilai. Akhirnya, segala cara ditempuh demi mendapatkan nilai bagus, termasuk dengan menyontek.
Sistem kehidupan kapitalistik yang mendominasi menjadikan materi sebagai tujuan hidup manusia. Standar perbuatan adalah keuntungan materi maka kejujuran hanya dilakukan jika menguntungkan saja. Demikianlah ketika kejujuran diajarkan sebatas nilai moral, sungguh berbeda dengan sistem pendidikan Islam.
Pendidikan Berbasis Akidah
Berdasarkan Masyru’ Dustur Daulah Khilafah pasal 165, kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan ini. Sedangkan, pada pasal 167 disebutkan, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian islami dan membekali peserta didik dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan.
Berdasarkan hal ini, keimanan pada Allah Swt. menjadi dasar pemikiran, perasaan, dan perbuatan manusia. Rasa cinta pada Allah Swt. akan melandasi muslim untuk taat pada syariat-Nya, termasuk syariat jujur dan amanah. Rasa takut pada murka Allah Swt. menjadikan muslim tidak tergiur untuk melakukan maksiat (termasuk kecurangan), meski mendatangkan keuntungan materi.
Akidah ini yang menjadi dasar muslim untuk berakhlak mulia, termasuk di dalamnya jujur dan amanah. Dia jujur bukan semata karena jujur itu sebuah kebaikan, tetapi karena dorongan keimanan.
Seseorang yang melihat kejujuran sekadar sebagai kebaikan akan mudah berlaku curang ketika terdesak kondisi atau melihat ada keuntungan di sana. Sementara, orang yang jujur karena landasan akidah akan tetap jujur karena hal itu merupakan perintah Allah Swt.. Konsekuensi balasan di akhirat berupa surga dan siksa neraka akan menjadi acuan bagi muslim untuk memutuskan bersikap jujur, meski dari perspektif materi merugikan.
Metode yang Efektif
Metode menyisipkan nilai moral dalam mata pelajaran tidak akan efektif dalam menanamkan sikap antikorupsi karena bersifat normatif. Sebaliknya, materi akan menjadi makin padat karena selain nilai antikorupsi juga akan disisipkan nilai anti-intoleran, antiradikalisme, antinarkoba, dan lain-lainnya.
Pendidikan Islam yang bertujuan membentuk kepribadian islami akan berorientasi pada tingkah laku (suluk), bukan semata pada pencapaian nilai di atas kertas. Dengan demikian, hasil pendidikan adalah terbentuknya perilaku yang islami sehingga berkorelasi dengan perbuatan, tidak terpisah.
Islam menetapkan metode pengajaran yang efektif adalah penyampaian (khitab) dan penerimaan (talaqqi) pemikiran dari pengajar kepada pelajar. Pemikiran atau akal merupakan instrumen belajar mengajar sehingga teknik pengajaran yang benar adalah untuk mengintensifkan metode rasional (aqliyah) pada siswa. Dengan metode aqliyah akan terbentuk pemikiran yang menyeluruh dan benar sehingga mengantarkan pada akidah Islam yang menjadi asas perbuatan.
Kejujuran dan sikap amanah merupakan akhlak mulia. Posisi akhlak dalam Islam adalah sebagai bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian, metode pengajaran secara aqliyah akan membentuk akhlak mulia pada peserta didik sehingga mereka menjadi orang-orang yang jujur karena Allah Swt., bukan karena keuntungan materi.
Sistem yang Bersih
Pendidikan ini efektif membentuk akhlak jujur dan amanah di tengah masyarakat dengan dukungan sistem. Khilafah merupakan sistem yang bersih, proses penyelenggaraan negara berjalan berdasarkan syariat Islam. Korupsi merupakan keharaman yang harus dihindari.
Pengawasan dilakukan terhadap harta pejabat negara sehingga diketahui apakah mereka berbuat curang ataukah tidak. Harta pejabat dihitung pada awal dan akhir masa jabatan, jika ada kenaikan yang tidak wajar, mereka harus membuktikannya. Hal ini sudah berjalan sejak masa Khalifah Umar bin Khaththab dan dilanjutkan khalifah berikutnya.
Negara menyerukan dakwah pada masyarakat sehingga tersuasanakan untuk taat pada syariat. Negara mengirim para ulama untuk menjalankan dakwah ini ke seluruh penjuru negeri. Dengan demikian, korupsi akan dipandang sebagai keburukan dan terkikis dari kehidupan.
Jika ada yang masih melakukan korupsi, sanksi tegas akan diberlakukan hingga membuatnya jera. Mohammad Hashim Kamali dalam “Islam Prohibits All Forms of Corruption” menulis, khalifah Jafar al-Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani persoalan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan semua pihak yang ada hubungan usaha dengan pemerintah.
Sementara itu, pada masa Mehmed IV, berdiri sebuah dewan inspeksi yang bertugas mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat. Beliau menjalankan hukuman bagi pejabat yang terbukti memperkaya diri secara tidak sah. Pada abad ke-18, bagi pelaku korupsi, selain denda dan pengasingan, hukuman diperluas dengan hukuman mati. Inilah pendidikan antikorupsi yang efektif dalam sistem Khilafah. Wallahualam. [MNews/Has]