Kolaborasi Moderasi dan Feminisme Menyasar Perempuan
Penulis: Chusnatul Jannah
MuslimahNews.com, OPINI — Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi menteri yang kinerjanya paling baik berdasarkan Survei Indikator Politik. Survei yang dilakukan pada November 2021 itu menobatkan keduanya sebagai menteri Kabinet Indonesia Maju yang mendapat respons positif.
Risma menang tipis atas Sri Mulyani. Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin mengatakan bahwa Indonesia patut berbangga karena dua menteri Srikandi Jokowi mendapat apresiasi secara spontan.
Bukan hanya nasional, Sri Mulyani juga masuk dalam jajaran 100 wanita paling berpengaruh di dunia versi Forbes 2021. Ia berada di peringkat ke-66 tahun ini. Posisinya naik dibandingkan tahun lalu yang berada di peringkat ke-78.
Ada satu nama lagi tokoh perempuan Indonesia yang termasuk dalam 100 wanita paling berpengaruh, yaitu Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Bos Pertamina itu bertengger di posisi ke-27 mengungguli Sri Mulyani sebagai wanita paling berpengaruh di dunia.
Bermunculannya tiga tokoh pejabat perempuan Indonesia sepertinya bakal menjadi momentum bagi para pegiat gender untuk terus mengampanyekan kepemimpinan perempuan agar tujuan kesetaraan gender dapat tercapai. Bagaimana jadinya jika feminisme dan moderasi berkolaborasi? Tentu sekularisme makin kuat menyasar perempuan.
Kepemimpinan dan Partisipasi Perempuan
Partisipasi dan kepemimpinan perempuan tidak pernah sepi dari bahasan kesetaraan gender. Setidaknya ada empat indikator untuk mengukur baik tidaknya kesetaraan gender di suatu negara, yaitu (1) partisipasi ekonomi, (2) pencapaian pendidikan, (3) kesehatan dan survivability, serta (4) political empowerment atau pemberdayaan politik.
Berdasarkan data World Bank pada 2019, Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Saat ini, partisipasi perempuan masih di bawah 30%. Bagi kaum feminis, peningkatan partisipasi perempuan sangat penting agar kesetaraan perempuan di ranah publik dapat tercapai.
Dalam “Building Islam Moderat Network” yang disusun oleh RAND Corporation, dijelaskan bahwa organisasi perempuan pegiat gender adalah salah satu mitra kerja dalam menyebarkan pemahaman Islam moderat. Oleh sebab itu, sangat logis bila kaum feminis sangat menyambut baik program moderasi Islam yang belakangan menjadi perhatian dan prioritas utama pemerintah.
Bagi feminis, syariat Islam adalah penghalang terbesar pengarusutamaan gender. Mereka menganggap berbagai hukum Islam yang mengatur kehidupan perempuan dalam ruang domestik dan publik memasung kebebasan perempuan. Oleh karenanya, moderasi Islam hadir untuk menangkal pemahaman Islam yang kaku, konservatif, radikal, dan intoleran.
Survei terhadap tiga tokoh publik perempuan ini sangat mendukung kampanye feminisme dalam menderaskan kembali pemberdayaan perempuan dalam aspek politik dan ekonomi. Mereka menganggap perempuan harus setara dengan laki-laki. Tidak boleh ada diskriminasi berkedok agama.
Pemikiran ini sangat beririsan dengan moderasi Islam ala Barat. Mereka menghendaki karakter muslimah harus moderat, yaitu mendukung demokrasi, mengakui HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum nonagama, dan menentang terorisme dan kekerasan (menurut tafsiran Barat).
Para feminis berharap, dengan menjadi muslimah moderat, kesetaraan gender dapat terwujud tanpa terhalangi syariat Islam yang sangat terperinci mengatur kehidupan perempuan. Bagi feminis, keadilan dan kesetaraan gender akan tercipta jika agama tidak terlalu ikut campur dalam kehidupan perempuan.
Kaum Feminis sebagai Corong Moderasi
Barat akan melakukan segala cara agar moderasi Islam dapat berterima dengan lapang dada. Mereka membutuhkan corong-corong dari kalangan muslim untuk menyebarluaskan ide ini. Barat menggandeng kaum feminis sebagai penjaja moderasi lantaran kebencian dan permusuhan mereka terhadap syariat Islam begitu kental.
Mereka (feminis) selalu menggugat dan mengobok-obok syariat seputar perempuan, seperti pembagian waris, pakaian, poligami, sunat perempuan, kepemimpinan laki-laki atas perempuan, serta peran perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Barat melihat perempuan dapat menjadi jembatan dan komunikator utama penderasan Islam moderat. Oleh karena itu, RAND Corporation selaku lembaga think tank kebijakan global AS mengeluarkan isu-isu gender yang bisa mendorong perempuan memperjuangkan Islam moderat. Lembaga ini memberi klaim bahwa perempuan adalah pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam. Mereka pun paling tidak diuntungkan dalam penerapan syariat Islam yang kaku. Hukum Islam yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam kewajiban bekerja, kepemimpinan, pakaian, hak waris, poligami, dan sebagainya dianggap sebagai wujud diskriminasi. Oleh karena itu, kesetaraan gender harus terwujud sebagai salah satu ciri muslim moderat. (Arini Retnaningsih, Alwaie.id).
Dalam kacamata moderasi, perempuan adalah aset strategis. Pendidikan moderasi Islam akan sangat efektif bila setiap perempuan yang notabene adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya mampu menanamkan Islam sesuai arahan Barat, yaitu keluarga muslim moderat. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Bila ibu menanamkan moderasi di dalam keluarga, setiap anggota akan terpapar juga.
Moderasi dipandang sebagai solusi atas hak-hak perempuan yang termarginalkan, khususnya hak perempuan sebagai pemimpin dan pemegang jabatan strategis pemerintahan. Menurut moderasi, perempuan haruslah berdaya dalam ekonomi dan politik. Pandangan Islam mengenai kemuliaan perempuan sebagai ‘ibu dan pendidik generasi’ bergeser menjadi ‘ibu yang mandiri dan kuat’.
Perbedaan pandangan inilah yang membuat Barat merasa perlu memoderasi ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan jalan mengaruskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Barat pun merekrut mitra dari kalangan muslim liberal, feminis, tradisionalis, sekularis, aktivis, jurnalis, dan berbagai pihak yang pro ide Barat.
Baik moderasi agama maupun feminisme sesungguhnya lahir dari rahim yang sama, yakni sekularisme. Paham ini ingin menjauhkan umat dari gambaran Islam yang sesungguhnya sehingga terciptalah proyek moderasi dan kesetaraan gender dengan membingkai perempuan akan mendapatkan hak-haknya yang terampas karena kungkungan agama dan budaya patriarki.
Islam dan Kepemimpinan Perempuan
Sebagai bagian dari anggota masyarakat, perempuan memiliki peran strategis. Peran tersebut tercakup dalam dua hal, yaitu peran domestik dan publik. Di ranah domestik, peran perempuan adalah sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Peran ini sangat krusial mengingat di tangan perempuanlah kualitas generasi ini dipertaruhkan.
Generasi rusak atau baik bergantung pada pendidikan kaum ibu dalam keluarga. Oleh karenanya, Allah memuliakan perempuan sebagai ibu karena pentingnya posisi dan kehadiran mereka dalam kehidupan rumah tangga, yaitu sebagai al-umm warabatul bayt.
Di ranah publik, Islam membolehkan perempuan berpartisipasi dalam politik dengan batasan yang syariat tetapkan. Islam membolehkan perempuan menjadi anggota partai politik, melakukan kritik dan koreksi kepada penguasa, memilih pemimpin, dan menjadi anggota Majelis Umat.
Islam juga membolehkan perempuan bekerja sebagai guru, dokter, kepala sekolah, direktur rumah sakit, kepala departemen pendidikan, pimpinan perusahaan, ataupun jabatan strategis di lembaga pemerintahan yang sifatnya administratif selain wilayah kekuasaan.
Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah, Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa perempuan boleh menjadi pegawai atau pimpinan swasta atau pemerintahan yang tidak termasuk wilayah al-hukm. Perempuan boleh menjadi kepala Baitulmal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Umat, qadhi hisbah (hakim dalam urusan pengurangan hak rakyat), atau qadhi khushumat (hakim dalam urusan sengketa antarrakyat).
Islam melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR Bukhari no 4225).
Larangan perempuan menduduki jabatan dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan antara lain, yaitu khalifah (kepala negara Khilafah), mu’awin (pembantu khalifah), wali (gubernur), qadhi qudhat (pemimpin para kadi/hakim), qadhi mazhalim (kadi/hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi Al-Qur’an dan Hadis).
Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah menyebutkan pendapat Abu Hanifah bahwa perempuan tidak boleh menjabat semua jabatan pemerintahan, tetapi perempuan boleh menjabat sebagai hakim yang memutus perkara-perkara yang ia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya. Sebaliknya, ia tidak boleh menjadi hakim yang memutus perkara-perkara yang ia tidak boleh menjadi saksi di dalamnya.
Menurut Muhammad bin Ahmad Ismail al-Qadir dalam Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah, perempuan tidak dibolehkan menjabat sebagai khalifah (kepala negara). Alasannya, kepala negara dalam Islam adalah pemimpin masyarakat, pemimpin para intelektual dan cendekiawan, baik muslim ataupun muslimah.
Khalifah pun mempunyai wewenang mengumumkan perang kepada musuh, memimpin pasukan di medan perang, dan memutuskan perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara masyarakat.
Kepala negara dalam Islam adalah juga orang yang mempunyai wewenang dan paling layak untuk menjadi imam dan khatib Jumat. Tidak bisa dimungkiri bahwa tugas-tugas tersebut tidak sesuai dengan tabiat perempuan. (muslimahnews.com, 17/3/2021).
Khatimah
Keberhasilan tokoh perempuan sebagai pemimpin tidak bisa menjadi dalil bahwa pemimpin perempuan akan membawa perubahan besar. Kalaulah mereka berhasil dan mendapat pengakuan, harus lihat dulu paradigma apa yang dipakai dalam menentukan keberhasilan seorang perempuan di ranah publik. Jika masih menggunakan kacamata kapitalisme sekuler, pujian dan peringkat yang diberikan tidak lepas dari target global yang hendak mewujudkan kesetaraan gender bagi perempuan di bawah payung moderasi agama.
Allah Swt. telah menetapkan aturan terbaik untuk umat manusia. Dialah yang paling mengetahui segala yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan demikian, para muslimah harus mewaspadai bahaya moderasi dan kesetaraan gender yang akan mengacak-acak pengaturan syariat yang sudah Allah beri. Jangan tertipu dengan propaganda dan rencana jahat kaum kafir untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sempurna. Wallahualam. [MNews/Has]