Digisexuality di Era Game Online Lahir dari Liberalisasi

Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.

MuslimahNews.com, OPINI — Kasus kejahatan seksual dalam game online kembali menjadi sorotan. Kali ini korbannya adalah anak-anak perempuan yang sering bermain Free Fire (FF). Mereka adalah 11 anak perempuan berusia 9—11 tahun, tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.

Pelakunya adalah laki-laki berusia 21 tahun. Modus yang ia pakai berawal dari bermain FF bersama korban, lalu pelaku menjanjikan korban membelikan “diamond” asalkan korban mau diajak video call sex (VCS) atau mengirimkan video dan foto bermuatan pornografi. (Pikiran Rakyat, 4/12/2021). Inilah maksud dari digisexuality (digiseksualitas), yakni memanfaatkan teknologi dalam urusan seksual. Atas perbuatannya, tersangka terjerat tiga pasal, yakni UU Perlindungan Anak, UU Pornografi, dan UU ITE.

Namun, banyak pihak merasa hukuman bagi para predator seksual selama ini terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Oleh karenanya, KPAI mendukung hukuman kebiri kimia bagi predator seksual yang tertuang dalam PP 70/2020.

Pertanyaannya, mampukah hukum yang ada—termasuk kebiri kimia—menyelesaikan permasalahan kejahatan seksual? Apa penyebab makin maraknya kejahatan seksual? Bagaimana Islam menyelesaikan permasalahan tersebut?

Lahir dari Liberalisasi

Pelaku tadi mengaku melakukan VCS dan mengumpulkan foto/video porno anak-anak perempuan itu semata untuk kepuasannya sendiri. Lantas, mengapa makin banyak manusia yang hanya mementingkan kepuasannya sendiri tanpa peduli dampak buruk akibat perbuatannya tersebut?

Inilah perilaku yang lahir dari liberalisme. Paham ini menjadikan individu bebas berbuat sesuatu untuk mencapai kebahagiaannya, sedangkan makna kebahagiaan bagi penganut ide kebebasan ini adalah terpuaskannya jasadiah mereka. Tidak heran jika penyimpangan seksual makin marak seiring tertancap kuatnya liberalisasi di negeri-negeri muslim.

Baca juga:  Mencegah Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Sesuai Tuntunan Islam

Paham kebebasan ini lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang menjadikan seluruh perbuatannya terikat pada syariat. Penancapan ide kebebasan pada diri seseorang akan makin menjauhkannya dari ajaran agama.

Kini, istilah “digiseksualitas” ikut menambah deretan daftar penyimpangan seksual. Menurut Profesor Neil McArthur dari Associate Professor of Philosophy di the University of Manitoba, digiseksualitas adalah orientasi seksual yang pelakunya lebih nyaman melakukannya menggunakan teknologi, seperti robot, pornografi, teledildonik, ataupun sexting. Perbuatan seseorang yang melampiaskan syahwatnya pada apa pun dan di mana pun, termasuk melakukan kejahatan seksual, adalah akibat liberalisme.

Sungguh, era digital asuhan peradaban Barat telah nyata menyebabkan malapetaka. Teknologi digital yang seharusnya ada untuk membantu umat memenuhi kebutuhannya malah berbalik mencelakakan dunia dan isinya. Fenomena predator seksual dalam game online menjadi satu bukti yang tidak terbantahkan.

Tidak Bisa Selesai

Hukum positif yang lahir dari sistem demokrasi tidak akan mungkin bisa menyolusi persoalan. Hal ini karena produk hukumnya dibuat oleh akal manusia yang terbatas dan lemah sehingga mustahil tercipta satu aturan paripurna yang dapat menyelesaikan hingga akarnya. Buktinya, otak-atik hukuman bagi pelaku tidak juga menjadikan angka kejahatan menurun. Bahkan sebaliknya, setiap waktu jumlahnya bertambah dengan kecepatan yang sangat mengerikan.

Selain produk hukum yang cacat, liberalisme yang terlindungi sistem demokrasi menjadi kontradiktif dengan penegakan hukum bagi pelaku kejahatan seksual. Bagi pelaku, hal demikian adalah perwujudan dari kebebasannya dalam bertingkah laku. Walhasil, seberat apa pun sanksi yang diberlakukan pada pelaku, selama liberalisasi masih menjadi acuan hidup masyarakat, tidak akan mampu menghilangkan kejahatan ini. Apalagi ditambah “lemahnya” pemerintah dalam memberantas pornografi.

Baca juga:  [Editorial] Mengais Harap dari Kepemimpinan Sekuler Demokrasi Neoliberal

Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme yang mengejar profit semata menjadikan pelaku bisnis tidak melirik agama. Bisnis syahwat yang mengalirkan keuntungan akan terus mereka pertahankan. Masyarakat, termasuk generasi, akan dengan mudahnya kecanduan pornografi dan pada gilirannya akan memicu terjadinya kejahatan seksual. 

Manusia Butuh Aturan

Berbanding terbalik dengan liberalisme sekuler, Islam yang berasaskan akidah Islam akan menyadarkan manusia tentang hubungannya dengan Sang Pencipta bahwa manusia lahir ke dunia atas kuasa Allah taala. Pun kelak Allah akan membangkitkan manusia di Yaumulakhir untuk meminta pertanggungjawaban atas yang mereka lakukan selama hidup. Oleh karenanya, bagi umat muslim, tujuan hidupnya adalah bertakwa pada Allah Swt. dan meraih rida-Nya.

Selain itu, Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa terikat syariat agar selamat dunia dan akhirat. Syariat Islam berasal langsung dari Sang Pencipta manusia sehingga hukum-hukum di dalamnya akan paripurna dan sesuai fitrah manusia. Aturannya akan mampu menyelesaikan problem manusia dan menjadikan manusia hidup dalam kemuliaannya.

Misalnya, syariat tentang pengaturan syahwat. Islam memiliki mekanisme dalam pemenuhannya, yaitu melalui pernikahan. Pemenuhan syahwat di luar pernikahan adalah haram dan mengundang murka-Nya. Oleh karena itu, perbuatan manusia yang senantiasa terikat syariat akan mengantarkan pada tertutupnya peluang untuk melakukan kejahatan seksual.

Sistem Khilafah

Islam memiliki seperangkat aturan yang dapat menyelesaikan permasalahan kejahatan seksual. Untuk memberantasnya, tidak cukup dengan ketakwaan individu saja, harus juga ada peran negara. Negara wajib menerapkan Islam secara kafah dalam sistem pemerintahan Khilafah Islamiah.

Baca juga:  Kisruh Permen PPKS, Benarkah Perguruan Tinggi dalam Jerat Liberalisme Sekuler?

Syariat Islam memiliki keterpaduan antara satu dan lainnya, yakni pelaksanaan satu hukum menuntut pelaksanaan hukum lainnya secara terpadu. Seperti fenomena kejahatan seksual, bukan hanya membahas sanksinya, melainkan harus membahas secara komprehensif tentang budaya, sistem pendidikan, hingga sistem ekonomi.

Dalam hal budaya, sikap permisif menjadi pemicu terjadinya kejahatan seksual sehingga negara harus benar-benar memastikan budaya yang melekat pada warganya adalah berasal dari Islam. Negara akan memfilter tayangan konsumsi warganya agar bisa menangkis pemahaman kufur. Negara pun akan menyodorkan konten-konten yang baik bagi umat karena dalam Islam media adalah sarana menyiarkan ajaran Islam.

Selain media, sistem pendidikan pun akan berlandaskan akidah Islam. Sekolah bukan hanya mengajarkan akademik yang nantinya sekadar mencetak generasi yang minus takwa. Tujuan sekolah adalah untuk membentuk kepribadian Islam sehingga akan lahir generasi yang bertakwa dan mampu membangun peradaban.

Mereka terdidik untuk menjadi sebaik-baik umat, yaitu yang bermanfaat bagi manusia. Mereka akan terhindar dari kegiatan unfaedah, seperti bermain game online, apalagi kegiatan maksiat seperti melakukan kejahatan seksual.

Bahkan, Islam akan memperhatikan ekonomi warganya agar seluruh kebutuhan mereka terpenuhi. Dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup satu keluarga, akan menghantarkan pada keluarga yang harmonis. Keharmonisan tersebut akan mencegah anggota keluarga untuk bermaksiat.

Oleh karena itu, wahai kaum muslim. permasalahan kejahatan seksual tidak akan mungkin bisa selesai tuntas dalam sistem sekuler liberal yang mendewakan kebebasan. Agar permasalahan multidimensi ini selesai tuntas, butuh satu sistem yang segala aturannya berasal dari Allah Sang Pencipta manusia, yaitu sistem Islam. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.