Cut Nyak Dien, “The Queen of Aceh Battle”
Penulis: Ruruh Anjar
MuslimahNews.com, KISAH INSPIRATIF — Perang Aceh (1873—1904) telah melahirkan banyak pejuang muslimah yang turut andil di medan laga. Salah satunya Cut Nyak Dien, The Queen of Aceh Battle, yang mendapatkan pengakuan para pakar sejarah asing mengenai kehebatannya. Bahkan, melalui Keppres 106/1964, Cut Nyak Dien telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Zentgraaff dalam Atjeh mengatakan para perempuan merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Dalam penelitiannya, Zentgraff mengungkap peran besar Cut Nyak Dien dalam dinamika perang Aceh-Belanda, yang banyak dipengaruhi oleh basis pemahaman agamanya yang kuat.
Muslimah Taat Beragama
Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang pada 1848. Ayahnya adalah Uleebalang (pemimpin masyarakat) bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang yang datang dari Sumatra Barat ke Aceh sekitar abad ke-18, ketika Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Sejak kecil, ia mendapatkan pendidikan agama yang kuat sehingga memahami banyak ilmu agama, serta menghafalkan Al-Qur’an. Ia juga dikenal cerdas, lembut, berkomitmen kuat, berhati baja, dan memiliki jiwa keprajuritan. Ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII saat berusia 12 tahun.
Konsisten Melawan Belanda
Ketika ia melihat kehadiran kaphe Ulanda (kafir Belanda) yang hendak memaksakan kehendaknya di Tanah Rencong, Aceh, Cut Nyak Dien pun tak tinggal diam. Ia turun ke medan laga untuk melawan Belanda, ketika akhirnya pecah perang pada 1 April 1873.
Wakil Ketua Dewan Hindia Belanda, F. N. Nieuwenhuijzen menyatakan maklumat perang terhadap Kesultanan Aceh Darussalam, pada Rabu (26/3/1873) bertepatan 26 Muharam 1290 H. Maklumat Perang itu dibacakan dari geladak kapal perang Citadel vab Antwerpen saat hendak berlabuh di Pantai Ceureumen, Ulee Lheue.
Saat itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan Sumatera. Ditambah dengan kapal Siak dan Bronbeek, yang merupakan dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.
Sejak saat itu, gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Cut Nyak Dien hadir di sana. Di antara tebasan rencong dan dentuman meriam, pekik perang muslimah perkasa itu membakar semangat rakyat Aceh. Kalimatnya pun diabadikan ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda.
“Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu, masjid kita dibakar! Tempat Ibadah kita dibinasakan! Mereka menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda!” (Szekely Lulofs, 1951: 59).
Tampaklah, Perang Aceh menjadi potret keberanian dan pengorbanannya. Bersama ayah dan suaminya, setiap waktu dihabiskan Cut Nyak Dien untuk berperang melawan kaphe-kaphe Belanda. Meskipun, perang jugalah yang kemudian menewaskan satu per satu orang yang dicintainya. Ayahnya, lalu suaminya, menyusul gugur dalam pertempuran pada malam 29 Juni 1878 di Glee Taroen Montasik.
Selanjutnya, Cut Nyak Dien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang, hingga Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh (11 Februari 1899).
Semangat yang Tidak Surut
Kehilangan Teuku Umar tak menyurutkan langkah Cut Nyak Dien. Justru semangatnya makin berkobar dengan terus mengorganisasi serangan-serangan terhadap Belanda. Segala energi dan pemikiran pejuang muslimah ini hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah. Seluruh harta benda dan kekuatannya dicurahkan fi sabilillah.
Dalam suatu kesempatan, ia berkata, “Selama aku masih hidup, kita masih memiliki kekuatan, perang gerilya ini akan kita teruskan! Demi Allah! Umar memang telah syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama! Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!”
Bertahun-tahun, ia berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain untuk menyulitkan Belanda. Belanda merasa kewalahan melawan perang gerilya rakyat Aceh sehingga membentuk pasukan elite bernama Korps Mare chausse atau Marsose. Mereka adalah yang terbaik dari pasukan KNIL, mahir bela diri, sangat piawai dengan senjata, baik senapan, bedil, maupun kelewang. Mereka juga tangguh di darat dan mampu berjalan kaki menembus hutan. Marsose terkenal kejam, dan satu per satu pejuang Aceh terbunuh oleh pasukan elit ini.
Di sisi lain, kehidupannya yang berat di hutan dan usia yang makin merenta, membuat kesehatan Cut Nyak Dien mulai menurun. Apalagi, jumlah pasukannya terus berkurang akibat serangan kaphe Belanda.
Melihat hal tersebut, tangan kanan sekaligus panglima perangnya Pang Laot Ali menawarkan Cut Nyak Dien menyerah. Cut Nyak Dien pun marah. Akhirnya, Pang Laot Ali yang tak sampai hati melihat penderitaan Cut Nyak Dien terpaksa berkhianat. la melaporkan persembunyian Cut Nyak Dien kepada kaphe Belanda dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormati Cut Nyak Dien.
Ditangkap dan Diasingkan
Pada 16 November 1905, kaphe Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya. Cut Nyak Dien memang tak bisa berbuat banyak. Senjata yang dimiliki nyaris tak berguna membela diri. Pasukan Cut Nyak Dien pun dikalahkan di Beutong Le Sageu. Cut Nyak Dhien meludahi Pang Laot, berkata ia lebih baik mati ditusuk rencong daripada menyerah kepada Belanda.
Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh). Hebatnya, walaupun di dalam tawanan, Cut Nyak Dien masih terus melakukan kontak dengan para pejuang yang belum tunduk. Mengetahui hal itu, akhirnya Belanda mengasingkannya ke Sumedang, Jawa Barat (11 Desember 1906), karena takut kehadirannya akan menyulut kembali perjuangan rakyat Aceh.
Di Sumedang, ia dan dua tawanan lainnya diterima Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, sebagai titipan pemerintah Hindia Belanda. Bupati Sumedang tidak menempatkan mereka di penjara, melainkan dititipkan pada satu rumah tokoh agama setempat.
Di pengasingannya, Cut Nyak Dien—dengan kondisi kesehatan yang tidak terlalu baik—nyaris hanya berada di dalam rumah menghabiskan waktunya dengan mengulang kajian agama dan membaca Al-Qur’an. Hanya saja, ia tetap berkontribusi dengan mengajarkan mengaji dan memberi bimbingan pemahaman agama Islam kepada ibu-ibu dan anak-anak setempat yang mengunjunginya.
Atas tindakannya ini, masyarakat Sumedang pun memanggilnya Ibu Perbu (Ibu Ratu) karena keluasan pengetahuan agamanya, tanpa mereka tahu siapa Cut Nyak Dien sebenarnya. Hingga akhirnya ia wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Kota Sumedang.
Khatimah
Cut Nyak Dien telah menunjukkan perlawanan di Nusantara terhadap kolonial Belanda yang tidak lepas dari spirit Islam. Semangat jihad begitu kental mewarnai keberanian beliau dalam membebaskan diri dan rakyatnya dari ketakadilan dan cengkeraman penjajah. Tampak pula Islam memberi ruang bagi perempuan untuk berkontribusi membela negeri dengan landasan keimanan. [MNews/Has]
Sumber:
- “The Queen of Aceh Battle”, Manajemen.stie11april-sumedang.ac.id.
- “Cut Nyak Dien”, Militer.id.
- “Cut Nyak Dhien juga Cerdas di Bidang Agama”, Republika.co.id.
- “Rumah Cut Nyak Dhien Ramai Sabtu – Ahad”, Kemenag Aceh.
- “Pelajaran Hidup dari Kisah Perjuangan Cut Nyak Dhien Melawan Belanda”, Connect.upnyk.ac.id.
- “Hari Ini, 148 Tahun Maklumat Perang Belanda terhadap Aceh yang Tak Pernah Dicabut”, Acehsatu.com
Syurga firdaus untuk beliau.
Aamiin