[Fikrul Islam] Membentuk Kepribadian Manusia

Penulis: Ustaz Hafidz Abdurrahman

MuslimahNews.com, FIKRUL ISLAM – Pembentukan kepribadian Islam sama dengan kepribadian yang lain, sama-sama dibentuk oleh aqliyah dan nafsiyah dengan landasan yang sama, yaitu cara berpikir dan dawafi’ (dorongan) yang dibangun berdasarkan pemikiran ideologis (al-fikr al-mabda’i). Ketika pemikiran ideologisnya sama, corak kepribadiannya pasti sama, sehingga menjadi kepribadian yang unik (mutamayyiz). Sebaliknya, jika pemikiran ideologisnya lebih dari satu, pasti corak kepribadiannya menjadi berwarna-warni (mutallawwin), alias amburadul (ghayr mutamayyiz).

Inilah yang menjadi ketentuan Allah, ketika Allah menentukan perubahan pada suatu kaum dibangun berdasarkan berubahnya “ma bi anfusihim” atau mafhum mereka. Allah Swt. berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu sendirilah yang mengubah apa yang ada dalam pikiran mereka.” (QS Ar-Ra’d:11)

Lafaz “anfus” yang merupakan jamak dari lafaz nafs, dalam bahasa Arab, adalah lafaz musytarak, atau lafaz yang mempunyai banyak makna. Makna lafaz ini antara lain nyawa (ruh), mata jahat (‘ayn lâmmah), tubuh (jasad), orang (syakhsh), darah (dam), zat (‘ayn as-syay’), keinginan (irâdah), kebesaran (‘udhmah), kemuliaan (‘izz), sanksi (‘uqûbah), dan pandangan (ra’y).

Karena itu, lafaz “ma bi anfusihim” dalam konteks ayat tersebut lebih tepat jika diartikan dengan “sesuatu yang ada di dalam pikiran mereka” atau “pemahaman mereka”. Inilah sunatullah yang telah ditetapkan Allah pada diri manusia, bahwa perubahan selalu harus dimulai dari berubahnya pandangan mereka mengenai segala hal.

Dari sinilah, perubahan manusia secara pribadi yang berkaitan dengan kepribadiannya, sebenarnya merupakan hasil upayanya sendiri. Caranya dengan membentuk mafhum yang dibangun berdasarkan kaidah Islam. Mafhum inilah yang akan membentuk aqliyah dan nafsiyah-nya. Masalahnya adalah apa sebenarnya mafhum itu? Bagaimana ia terbentuk?

Mafhum adalah makna pemikiran. Bukan makna kata (lafaz). Karena semua kata (lafaz) mempunyai makna, tetapi tidak semua makna kata (lafaz) dapat membentuk pemikiran dan mafhum seseorang. Misalnya bait-bait syair berikut ini,

Mereka berkata, “Apakah orang itu mampu menembuskan tombak kepada dua orang tentara sekaligus pada hari pertempuran kemudian tidak menganggapnya dahsyat?”

Saya jawab, “Andaikan panjang tombaknya satu mil, tentu akan dapat menembus tentara yang berbaris sepanjang satu mil.”

Semua ungkapan penyair dalam bait-bait syair tersebut mempunyai makna, tetapi ungkapan yang bermakna tersebut tidak mampu membentuk pemikiran atau pemahaman apa pun. Ungkapan “Andaikan panjang tombaknya satu mil,” misalnya, tidak bisa membentuk pemikiran atau pemahaman, karena realitas “panjang tombak satu mil” itu tidak pernah ada. Demikian halnya dengan ungkapan “menembus tentara yang berbaris sepanjang satu mil” yang ditembus dengan satu tombak adalah ungkapan yang bermakna, tetapi realitasnya tidak pernah ada.

Baca juga:  Islam Agama Politik dan Spiritual

Karena itu, meskipun ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai makna, tetapi tetap tidak bisa membentuk pemikiran atau pemahaman apa pun. Karena makna masing-masing lafaz tersebut realitasnya tidak dapat dibuktikan. Inilah yang dimaksud dengan mafhum sebagai makna pemikiran, bukan makna kata (lafaz).

Ini artinya bahwa ketika kata yang mempunyai makna saja belum dapat membentuk mafhum, lalu bagaimana mungkin kata (lafaz) yang tidak mempunyai makna? Tentu mustahil. Inilah batasan, “Bukan makna kata (lafaz)” yang dimaksud oleh definisi mafhum di atas.

Adapun yang dimaksud dengan “makna pemikiran” adalah gambaran realitas yang ada dalam pemikiran dalam bentuk realitas yang bisa digambarkan oleh seseorang. Karena ada pemikiran yang tidak mempunyai makna, atau realitasnya tidak dapat digambarkan.

Misalnya, “Tuhan adalah zat yang tiga dalam satu,” adalah pemikiran, tetapi pemikiran tersebut tidak mempunyai makna. Karena realitas tiga zat dalam satu (Bapak, Roh Kudus, dan Anak) tidak dapat digambarkan oleh siapa pun seperti apa wujudnya, apalagi dibuktikan realitasnya. Karena zat Bapak, Roh Kudus, dan Anak adalah tiga zat yang berbeda. Lalu, bagaimana caranya tiga zat yang berbeda-beda dapat menjadi satu? Inilah realitas yang sulit digambarkan.

Oleh karena itu, pemikiran “Tuhan adalah zat tiga dalam satu” tersebut tidak bisa membentuk mafhum apa pun. Karena realitasnya memang tidak pernah ada. Karena itulah, pemikiran seperti ini tidak bisa disebut sebagai akidah rasional (akidah aqliyah).

Karena mafhum hakikatnya merupakan “makna pemikiran”, maka cara membentuk mafhum adalah dengan membangun pemikiran dengan menunjukkan realitasnya secara simultan, sehingga antara pemikiran dengan realitasnya dapat dibuktikan oleh orang yang menerimanya. Inilah yang terlihat dengan jelas dalam firman Allah Swt.,

Baca juga:  Islam Agama Politik dan Spiritual

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu laksana air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi ini, di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman yang telah dipotong, seakan-akan kemarin belum pernah tumbuh. Demikian Kami menerangkan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (QS Yunus: 24)

Cara Allah membangun mafhum melalui ayat ini adalah dengan menghadirkan “makna pemikiran” mengenai Allah sebagai Pencipta kehidupan. Karena Zat dan bagaimana cara Allah menciptakannya tidak dapat diindra oleh manusia, banyak orang kemudian menolaknya.

Allah sengaja menghadirkan realitas lain yang sama, tetapi dapat diindra, supaya realitas Allah sebagai “Pencipta kehidupan” yang tidak dapat diindra dapat dipahami oleh manusia. Realitas lain yang sama dengan realitas tersebut adalah realitas “air (hujan) yang Kami turunkan dari langit” di mana realitas “air (hujan) yang Kami turunkan dari langit” adalah realitas yang dapat ditangkap oleh indra manusia di samping kebenarannya memang dapat diyakini. Cara Allah menghadirkan realitas lain untuk menjelaskan realitas yang Dia maksud adalah dengan menyampaikan pemikiran disertai dengan tamsil (perumpamaan) dalam bentuk realitas lain, supaya pemikiran tersebut bisa membentuk mafhum.

Ketika Allah menyampaikan pemikiran tentang “Allah adalah Pencipta kehidupan” dengan menghadirkan realitasnya yang diibaratkan dengan, “Allah Maha Pencipta air (hujan) yang Dia turunkan dari langit,” maka di akhir ayat tersebut Allah menyatakan, “Demikian Kami menerangkan kepada orang-orang yang berpikir.” Orang yang mau memikirkan semuanya dengan cara menghubungkan antara realitas pemikiran mengenai “penciptaan kehidupan” dengan realitas “penciptaan hujan” pasti meyakini akan kewujudan Pencipta yang mewujudkan semuanya tadi dari tidak ada menjadi ada.

Akal adalah fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia, tanpa membedakan Ahmad, Muhammad, ataupun Zaid. Semua manusia mempunyai fitrah yang sama, tetapi ada yang sempurna dan tidak.

Baca juga:  Islam Agama Politik dan Spiritual

Dalam hal ini, kita tidak perlu membahas akal manusia yang tidak sempurna. Karena mereka adalah orang yang dikecualikan oleh Allah Swt. dalam menerima taklif syar’i . Yang perlu kita kaji adalah akal yang sempurna, yang dapat dimanfaatkan oleh orang tersebut.

Hanya tetap harus dipahami, bahwa sekalipun akal tersebut merupakan fitrah manusia, nyatanya tidak semua orang bisa memeluk akidah Islam. Karena masalah yang terakhir ini merupakan usaha manusia, sementara yang pertama adalah fitrah manusia, tanpa perlu usaha. Sedangkan untuk menjadi orang Islam dan kafir harus melalui usaha. Demikian juga pembentukan kaidah berpikir yang mengendalikan akal manusia dengan kaidah Islam (akidah Islam) harus melalui usaha.

Naluri dan kebutuhan jasmani yang mendorong manusia untuk melakukan aktivitas tertentu juga merupakan fitrah manusia yang tidak perlu diusahakan oleh manusia. Tetapi menjadikan kaidah Islam (akidah Islam dan hukum syarak) sebagai landasan untuk memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmani tersebut sampai terbentuk muyul Islam adalah hasil usaha manusia, dan bukan merupakan fitrah. Karena itu, kondisi tersebut memerlukan usaha manusia sehingga bisa mempunyai kecenderungan pada perkara yang halal dan enggan melakukan perkara yang diharamkan.

Dengan demikian, jelas bahwa kemampuan berpikir dan dorongan (dawâfi’) manusia merupakan fitrah, tetapi dijadikannya akidah Islam sebagai landasan berpikir dan muyul bukan merupakan fitrah, melainkan usaha manusia.

Oleh karena itu, siapa saja yang ingin membentuk dirinya sendiri, maupun membentuk orang lain agar memiliki kepribadian Islam, sudah sewajarnya mulai dengan mewujudkan landasan Islam tersebut. Caranya dengan menanamkan akidah Islam secara rasional, bukan dengan cara yang lain, sehingga akidahnya menjadi akidah aqliyah. Dengan cara menanamkan keyakinan secara rasional, bahwa Allah Swt. Mahaada, Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., serta mengimani seluruh akidah yang dibawa oleh Al-Qur’an, seperti adanya Malaikat, Kitab lain selain al-Qur’an, Hari Kiamat, dan lain-lain. [MNews/Rgl]

Sumber: Hafidz Abdurrahman. Islam Politik & Spiritual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.