[News] Keluh Kesahnya Pejabat terhadap BUMN, Pengamat Ekonomi: Tidak Dijumpai dalam Sistem Islam

Bagaimana mungkin sebuah BUMN yang artinya mereka tinggal mengeksplorasi aset yang ada, bahkan dana awalnya itu berasal dari anggaran negara, bisa mengalami kerugian?

MuslimahNews NASIONAL—Merespons pernyataan terbuka Menteri BUMN yang mengeluhkan BUMN ibarat benalu dalam pohon sehingga perlu memangkas 74 anak cucu perusahaan BUMN, pengamat ekonomi Islam Ustazah Nida Sa’adah, S.E., M.E.I., Ak. menyatakan hal ini tidak pernah ditunjukkan pejabat publik dalam sistem Islam.

Sumber: Detikfinance (2/12/2021)

“Bagaimana mungkin para pejabat publik ini menyampaikan keluh kesah dan ketidakpuasannya tentang apa yang sebetulnya berada dalam regulasi dan kewenangannya? Ini adalah satu potret yang tidak pernah ditunjukkan dalam sistem politik bernegara ala Islam pada awal peradaban Islam, yakni Khilafah. Tidak pernah dijumpai satu catatan bahwa apakah pejabat publik, baik itu Khalifah maupun pejabat publik lainnya menyampaikan keluh kesahnya di hadapan masyarakat tentang apa yang tidak beres di dalam pengaturan negara,” ujarnya pada sebuah kanal YouTube, Ahad (5/12/2021), tentang “Kisruh Anak & Cucu Usaha BUMN”.

Ia memaparkan, bahkan tidak hanya Menteri BUMN yang mengatakan anak dan cucu usaha BUMN tidak dikelola secara maksimal. “Pada beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Jokowi juga menyampaikan secara terbuka keluh kesahnya di hadapan publik tentang kinerja perusahaan BUMN yang lebih banyak merugi dan disuntik dana dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN),” urainya.

Kerugian

Ia memaparkan, yang dikeluhkesahkan pejabat publik itu terkait banyaknya kerugian yang dialami. “Ini juga satu hal yang sebetulnya cukup dipertanyakan. Bagaimana mungkin sebuah badan usaha milik negara yang artinya mereka tinggal mengeksplorasi aset yang ada, bahkan dana awalnya itu berasal dari anggaran negara, tidak sama sebagaimana korporasi milik privat, bisa mengalami kerugian? Apalagi, yang dikelola itu adalah barang yang menjadi kebutuhan publik yang tidak pernah kehilangan konsumen,” ungkapnya.

Ia menyatakan, ini kondisi aneh. “Padahal, mereka justru orang pertama yang mengambil tindakan untuk menyelesaikan ketidakberesan itu,” ungkapnya.

Baca juga:  Kerugian BUMN Berlapis-lapis, Islam Solusi Praktis

Kalau dalam sistem Islam, ia melanjutkan, salah satunya dapat kita lihat dari potret yang diberikan Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada saat ia menjumpai satu keluarga yang menjadi rakyatnya. “Ketika  ada seorang janda dan beberapa anaknya yang mengalami kelaparan, maka tanpa banyak berkata-kata, Khalifah segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan keadaan itu,” ucapnya.

Salah Filosofis

Ustazah Nida Sa’adah menganalisis setidaknya ada tiga muara atau penyebab mengapa hal ini terjadi. “Pertama, adalah kesalahan secara filosofis tentang penetapan aset. Secara fundamental kalau kita lihat dari kajian menurut pandangan syariat Islam, maka kesalahan terbesarnya ada pada tidak dipilahnya mana aset yang menjadi milik umum, milik rakyat, dan milik negara. Semua aset yang tersedia di negeri ini, seakan-akan menjadi milik negara. Sehingga negara bisa memberikan kepada siapapun, bisa melelangnya, bisa memberikan tender secara khusus kepada privat, kepada korporasi pribadi untuk mengelolanya dan dalam pengelolaannya maka diperbolehkan juga bagi korporasi privat itu untuk mengambil keuntungan,” jelasnya.

Ia menambahkan, kalau dalam pandangan syariat Islam, “Aset-aset ada yang menjadi milik umum, contohnya sumber daya alam yang tersedia dalam deposit yang melimpah. Dalam hadis Nabi dikatakan bahwa kaum muslimin dan umat manusia, mereka berserikat dalam tiga hal yakni air, padang gembalaan dan api. Artinya, berbagai deposit sumber daya alam dalam berbagai bentuknya yang tersedia dalam jumlah yang melimpah maka menurut syariat Islam itu adalah milik umat. Sehingga haram hukumnya diprivatisasi, tidak boleh negara sekalipun memberikan hak pengelolaannya kepada orang tertentu,” ujarnya.

Ia menjelaskan lagi, bahwa akan berbeda dengan aset yang menjadi milik negara yang memang dalam Islam boleh saja dikelola. “Satu contoh ketika Nabi memberikan pengelolaan atas tanah kepada satu suku tertentu dengan pertimbangan kemaslahatan bagi rakyatnya,” cetusnya.

Namun dalam pengelolaan hari ini, semua aset yang ada di negeri ini dikelola dengan prinsip apapun yang menjadi regulasi dari negara. “Ini tanpa dibedakan kalau itu menjadi milik umat, maka harusnya tidak boleh ada orientasi profit sama sekali dalam pengelolaannya. Karena negara dalam posisi wakil dari umat untuk mengelolanya kemudian mereka mengembalikan kepada pemilik sejatinya yaitu rakyat yang seharusnya menikmati hasil yang menjadi milik mereka,” katanya.

Baca juga:  [News] "Holding" BUMN Pangan, Pengamat: Rakyat Hanya Mendapat Tetesan Kesejahteraan

Salah Konsep

Kedua, ia menerangkan, muaranya salah di dalam konsep pengelolaan. “Kalau kita lihat dari penamaan BUMN, Badan Usaha Milik Negara. Dari nama itu saja sudah dapat kita lihat konsepnya adalah sebagaimana perusahaan atau korporasi. Yang membedakan adalah perusahaan ini merupakan milik negara,” tukasnya.

Ia mengungkapkan, sementara di dalam Islam, pengelolaan aset-aset milik umat itu ada yang tidak boleh sama sekali berorientasi pada profit dan ada dalam rangka mana yang terbaik untuk rakyat. “Tidak dalam rangka negara mengambil keuntungan sebesar-besarnya tetapi mana yang terbaik untuk rakyatnya. Dan dalam hal ini, kesalahan penetapan orientasi yakni orientasi profit itu menjadi pertimbangan utama ketika mengelola aset-aset yang dimiliki oleh satu negara. Itu menjadi muara penyebab kekacauan. Karena berarti filosofi dalam pengelolaannya adalah mengambil keuntungan,” terangnya.

Ia menekankan, hal ini berkelindan dan berpadu dengan buruknya attitude beberapa pejabat publik. “Sehingga bertambah rumit masalahnya itu ketika di dalam pengelolaan tadi terjadi korupsi dan manipulasi pengelolaan aset untuk kepentingan orang-orang tertentu,” cetusnya lagi.

Ia memaparkan perbedaannya di sistem Islam. “Dalam Islam, diberikan regulasi secara khusus bahwa tidak boleh pejabat publik apalagi Khalifah melakukan suatu usaha atau berbisnis pada saat ia menjabat. Begitu juga dengan para pejabat publik lainnya. Ini untuk menutup celah-celah kemungkinan terjadinya manipulasi dan kemungkinan terjadinya korupsi. Termasuk tadi penetapan orientasi profit yang harusnya tidak dilakukan pada aset-aset yang menjadi milik umat,” tuturnya.

Ia menerangkan lebih detail, kalaupun akan diambil keuntungan maka diperlukan audit yang sangat ketat untuk memastikan bahwa profit itu semuanya dikembalikan kepada kebutuhan pokok massal. “Yakni untuk memberikan dana kesehatan secara gratis pada semua jenis layanan kesehatan dan dana pendidikan juga secara gratis pada semua jenjang. artinya ketika diambil orientasi profit, itu akan dikembalikan lagi kepada masyarakat luas agar menikmati hasilnya. Untuk itulah ada mekanisme di dalam Baitul Mal yang akan melakukan perhitungan dan audit yang ketat terhadap hal ini,” paparnya.

Baca juga:  Rakyat “Kesetrum” Tagihan Listrik di Masa Pandemik

Salah Tujuan

Ketiga, menurutnya, kesalahan aspek penetapan tujuan atau target sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri BUMN. “Sampai dilakukan pemangkasan besar-besaran dalam rangka menaikkan kapasitas untuk kompetisi global,” jelasnya.

Ia menekankan lagi, bahwa sangat berbeda sekali dengan apa yang diajarkan dalam sistem politik Islam. “Kebijakan yang diambil dalam negara, apalagi dalam mengelola aset-aset yang menjadi milik masyarakat, yang menjadi milik negara. Itu orientasinya adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya baik itu yang bersifat individual yakni memastikan laki-laki semua memiliki lapangan pekerjaan sehingga mereka bisa memberikan nafkah dan yang kedua memastikan pemenuhan kebutuhan pokok komunal yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan,” urainya.

Ia menyimpulkan, orientasi pengelolaan berbagai aset itu adalah dalam rangka memenuhi ini. “Tidak dalam rangka untuk bisa bersaing dalam peta persaingan global. Kalaupun berbicara tentang peta persaingan global, maka ada visi tertentu yang diberikan oleh Islam saat negara Khilafah itu menjalin hubungan dengan negara luar. Yaitu dalam rangka untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh alam. Tentu untuk bisa seperti itu maka dia harus bisa meraih posisi sebagai negara pertama. Sedangkan, meraih posisi sebagai negara pertama tentu sangat sulit tanpa memberikan pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran kepada semua rakyat yang ada di dalam negara.” urainya gamblang.

Jadi, ia menekankan, muara persoalan ini karena tidak dikelolanya berbagai aset yang ada di negeri ini menurut prinsip-prinsip yang diajarkan syariat Islam secara kafah, yang dicontohkan dalam Khilafah Islam,” tutupnya. [MNews/Nvt]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.