Fikrul Islam

[Fikrul Islam] Ikhtilaf di Kalangan Mujtahid terhadap Sebagian Hukum

Penulis: Muhammad Husain Abdullah

MuslimahNews.com, FIKRUL ISLAM – Ada nas-nas syariat, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadis, yang lafaznya mengandung lebih dari satu makna. Pada nas-nas semacam inilah, ijtihad bisa dilakukan guna memilih (tarjih) salah satu makna yang lebih tepat. Contohnya adalah, firman Allah Swt.,

…اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا…

“Atau jika kalian menyentuh wanita sedang kalian tidak menjumpai air maka bertayamumlah.” (QS An-Nisa [4]: 43)

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam memaknai lafaz “laamastum (kalian menyentuh)” tersebut. Kelompok pertama menganggap bahwa makna “laamastum” adalah ‘jaama’ tum (kalian bersetubuh)’. Mereka lebih cenderung mengambil makna kiasan (al-ma’na al-majaziy) untuk lafaz tersebut. Mereka berargumentasi dengan indikasi (qarinah) yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan meninjaunya secara bahasa.

Dari sinilah disimpulkan bahwa seorang laki-laki yang menyentuh wanita dengan tangannya tidak membatalkan wudunya.

Kelompok kedua menganggap bahwa makna “laamastum” adalah ‘masastum bi al-yad (kalian menyentuh dengan tangan)’. Dari sini disimpulkan bahwa jika seorang laki-laki menyentuh wanita dengan tangannya, maka akan membatalkan wudunya. Dalam hal ini mereka pun berargumentasi dengan qarinah dari Al-Qur’an, di samping bahwa mereka juga meninjaunya secara bahasa.

Baca juga:  M. Natsir: Ikhtilaf Bukan Sumber Perpecahan

Hasil dari perbedaan pemahaman terhadap sebagian nas-nas syarak yang mengandung lebih dari satu makna ini mengakibatkan para mujtahid berbeda dalam mengistinbat sebagian hukum syarak yang bersifat praktis. Setelah itu, umat Islam yang lain mengikuti hasil ijtihad mereka.

Jumlah para mujtahid itu sendiri mencapai ribuan orang. Hanya saja ada sebagian mereka yang lebih terkenal dibanding yang lainnya disebabkan oleh banyaknya orang yang bertaklid kepada mereka. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keempatnya dari kalangan ahlusunah. Sedangkan Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Imam Zaid bin ‘Aliy, keduanya dari kalangan ahlu al-syi’ah.

Imam-imam tersebut memiliki murid-murid serta para pengikut. Mereka telah berijtihad dalam berbagai masalah yang tidak diijtihadkan oleh guru mereka. Mereka pun telah melembagakan hasil-hasil ijtihad mereka, yang mereka himpun di dalam kitab-kitab dalam bentuk yang terkategorisasi dan tersistematisasi dengan rapi.

Setelah itu kumpulan pendapat dan hasil ijtihad ini disebut dengan mazhab. Mazhab itu sendiri adalah suatu metode yang menjadi dasar bagi para imam tersebut untuk mengistinbat hukum-hukum syarak. Inilah yang biasa dikenal sebagai usul fikih. Orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar yang jelas bagi usul fikih adalah Imam asy-Syafi’i. [MNews/Rgl]

Baca juga:  M. Natsir: Ikhtilaf Bukan Sumber Perpecahan

Sumber: Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *