[Tapak Tilas] Islam di Pakistan

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

MuslimahNews.com, TAPAK TILAS — Sebelum 1947, Pakistan merupakan bagian tidak terpisah dari India. Bahkan, selama berabad-abad sebelumnya, kedua negara beserta negara-negara yang ada di wilayah Anak Benua India termasuk bagian wilayah Khilafah Islamiah.

Oleh karenanya, eksistensi Islam di Pakistan tidak bisa lepas dari sejarah masuknya Islam ke India, yakni hadir sejak pasukan Muhammad bin Qasim, jenderal Umayyah, berhasil menaklukkan Sindh pada 711. Peristiwa ini secara resmi diakui sebagai tonggak berdirinya Negara Pakistan.

Sejak saat itu, wilayah Anak Benua India terus berada dalam naungan Khilafah Islam. Meski kepemimpinan wilayah silih berganti, tetapi kesatuan negeri-negeri Islam di sana masih tetap terjaga. Bahkan, saat dinasti Mughal (1526—1858) menjadi penguasa daerah, Muslim Pakistan sempat merasakan kejayaan peradaban Islam.

Peta India. Foto: VOV World

Jejak Kejayaan

Kondisi itu tepatnya terjadi pada generasi ketiga kekuasaan dinasti Mughal, yakni saat Jalaluddin Akbar (Akbar Khan, 1556—1605), cucu Babur sekaligus anak Nashirudin Humayun mulai memegang tampuk kekuasaan. Kemudian kejayaan ini dilanjutkan oleh penerus Akbar, yakni Jahangir (Nuruddin Muhammad Salim, 1605—1628) dan Shah Jahan (Shahabuddin Muhammad Khurram, 1628—1658), dan Aurangzeb (1658—1707).

Di Pakistan, jejak-jejak kejayaan Islam itu masih tersisa hingga sekarang. Di antaranya Benteng Lahore (Lahore Fort) yang terletak di daerah Punjab. Benteng ini merupakan salah satu karya besar arsitektur Dinasti Mughal saat Lahore pada 1585—1598 sempat menjadi ibu kota wilayah (kegubernuran).

Kemegahan dan keindahan Benteng Agra peninggalan Kerajaan Mughal di Agra, India, selalu menjadi daya tarik pelancong untuk mengenal lebih jauh benteng yang dibangun awal abad ke-15 Masehi ini. Benteng Agra terletak 2,5 kilometer dari Taj Mahal, situs waris. Foto: Antara

Bangunan kuno yang berdiri pada masa pemerintahan Khan Akbar ini memiliki ukuran 426,7×340 meter. Di dalamnya terdapat pula beberapa situs terkenal seperti Sheesh Mahal, Gerbang Alamgiri, Paviliun Naulakha, dan Masjid Moti. Pada 1981, UNESCO menetapkan Benteng Lahore sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage Sites).

Selain situs tersebut, ada juga Masjid Badshahi (Masjid Raja). Masjid yang didirikan pada 1673 oleh Aurangzeb, cicit Shah Akbar sekaligus putra Shah Jahan pendiri Taj Mahal ini, merupakan masjid terbesar kedua di Pakistan dan di Asia Selatan. Bahkan, konon merupakan masjid ketujuh terbesar di dunia yang mampu menampung lebih dari 100 ribu jemaah.

Masjid Badshasi. Foto: Islampos.

Jejak lainnya adalah Taman Shalimar (Shalimar Bagh) di Lahore. Taman ini juga masuk dalam situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Dibangun pada 1641 oleh penguasa kelima Dinasti Mughal, Shah Jahan, yang memerintah pada 1627—1658. Konon taman ini merupakan desain taman air terhebat yang pernah dibangun Dinasti Mughal. Ia memiliki 152 air pancur dengan singgasana dan paviliun-paviliun pualam yang desainnya sangat rumit.

Shalimar Garden. Foto: https://www.tripadvisor.co.id/

Dampak Penjajahan

Pada 1603, British East India Company (Serikat Dagang Hindia Timur Inggris) tiba di wilayah Anak Benua India. Pelan tetapi pasti, serikat dagang yang merepresentasi imperialisme kerajaan Britania ini berhasil menggerogoti kekuasaan Islam di wilayah Anak Benua India, termasuk Pakistan.

Baca juga:  Idulfitri di India, Ramazan-Eid dalam Ketertindasan

Terlebih, secara internal kekuasaan Mughal di akhir-akhir kekuasaan Jalaluddin Akbar telah kehilangan ketahanan ideologi sejak ia bersikap kompromi dengan kekufuran. Dengan demikian, meski pada masanya kekuasaan Islam mengalami era keemasan, tetapi pada masanya pula keterikatan umat kepada Islam mengalami kemerosotan.

Sebagaimana kita ketahui, pada akhir-akhir kekuasaannya, Shah Akbar mengeluarkan kebijakan menyinkretiskan ajaran Islam dengan ajaran lain yang ada di wilayah kekuasaannya. Atas nama menjaga stabilitas nasional, ia membuat ajaran Din Ilahi yang mencampurkan ajaran Islam, Hindu, Singh, dan Zoroaster. Ia pun menghapus jizyah dan memberi ruang besar kepada penganut Hindu untuk masuk ke lingkaran kekuasaan.

Kebijakannya ini memang tidak dilanjutkan oleh penguasa-penguasa setelahnya. Bahkan, pada masa Jahangir dan Aurangzeb, segala bentuk pelanggaran terhadap syariat mulai dihapuskan. Mereka berusaha mengembalikan fungsi kekuasaan sebagai penerap aturan-aturan Islam.

Sayangnya, tumpuan ideologi sudah telanjur melemah. Kebijakan ini malah memicu berbagai instabilitas. Wafatnya Aurangzeb membawa dinasti Mughal pada kelemahan. Kebijakannya yang dipandang keras telah menyisakan benih perpecahan di kalangan rakyat Mughal.

Semua ini diperparah oleh kelemahan 13 generasi penguasa yang memegang kepemimpinan setelahnya sehingga dinasti Mughal benar-benar runtuh pada 1857 M. Selain pola hidup yang kian jauh dari tuntunan Islam, juga melemah dalam pembinaan militer dan pertahanan.

Oleh karenanya, jatuhlah Anak Benua India, termasuk Pakistan dalam cengkeraman imperialis Inggeris lebih dalam. Saat itu Inggeris berkolaborasi dengan orang-orang Hindu untuk menyingkirkan pengaruh Islam dalam kekuasaan.

Kental dengan Islam

Sebenarnya, budaya Islam dalam masyarakat Pakistan terbilang cukup kental. Namun, secara politik kehidupan mereka dari masa ke masa dikuasai oleh rezim sekuler. Termasuk ketika pada 1947, Anak Benua India dimerdekakan dalam beberapa negara bangsa berdasar perbedaan agama mayoritas.

Sebagaimana wilayah lainnya, Pakistan dimerdekakan sebagai negara bangsa dengan pemimpin pertamanya, Muhammad Ali Jinnah (1947-1948). Namun meski merdeka, pengasuhannya diberikan pada kerajaan Inggeris dalam bentuk persemakmuran. Lalu saat kekuatan politik Inggris melemah, posisinya digantikan oleh Amerika Serikat hingga sekarang.

Karenanya, meski Pakistan mewadahi ekspresi mayoritas Muslim, namun sistem pemerintahannya sangat sekuler. Adapun keterlibatan pemerintah dalam konflik dengan India soal Kashmir, dipastikan alasannya bukan karena isu agama, melainkan karena alasan keamanan dan sumber daya.

Baca juga:  Perundingan antara Amerika dan Taliban

Kalaupun ada spirit perjuangan atas dasar agama pada isu Kasmir, itu hanya terpelihara pada kelompok-kelompok mujahidin yang ada di wilayah-wilayah itu saja. Sementara penguasa kedua belah pihak memosisikan kelompok-kelompok ini sebagai teroris radikal yang harus ditumpas hingga ke akar.

Keindahan Kashmir, surga di bumi. Foto: https://adventurertreks.pk/

Pada masa kepemimpinan presiden keenam Muhammad Zia Ul Haq (1978—1988) memang sempat terjadi proses Islamisasi secara legal dan besar-besaran. Sampai-sampai Zia disebut sebagai sosok paling berjasa yang mengubah Pakistan menjadi pusat global politik Islam.

Saat itu, Zia mulai mengesahkan berbagai undang-undang bernuansa Islam. Pada 1980, ia membubarkan perlemen dan menggantinya dengan Majlis Syura. Ia pun menegakkan mahkamah syariat untuk menangani kasus hukum berdasarkan sistem sanksi Islam.

Selain itu, ia mulai menghapus riba dalam sistem keuangan. Juga mewajibkan zakat yang diambil secara tahunan. Lalu dalam pendidikan ia merombak kurikulum dengan materi-materi Islam. Juga mewajibkan kantor-kantor, sekolah, pabrik dan tempat-tempat sejenis untuk memiliki tempat ibadah.

Namun sayang, kekuasaannya tak mempunyai fondasi yang kuat lantaran kekuasaan politiknya diperoleh dengan cara kudeta berdarah. Tiak heran jika kebijakan-kebijakannya pun hanya didukung oleh sebagian kalangan masyarakat saja.

Bahkan banyak yang menilai, islamisasi yang dilakukannya justru berdampak instabilitas nasional. Berbagai gelombang protes disampaikan oleh kelompok-kelompok pegiat HAM dan feminis. Bahkan hingga terjadi gejolak politik yang cukup besar.

Pada 17 Agustus 1988 Zia wafat dalam kecelakaan pesawat yang dinaikinya. Ia tewas bersama para pejabat, politikus, dan petinggi dari kalangan militer yang mendukungnya. Hingga saat ini penyebab kecelakaan masih menjadi tanda tanya. Yang pasti ia digantikan oleh Ghulam Ishaq Khan, yang mengembalikan Pakistan sebagai negara sekuler.

Mengembalikan Kemuliaan dengan Islam

Hari ini Pakistan masih dikuasai rezim sekuler. Meski sempat menjadi negara nuklir, secara politik negeri Muslim saat ini tak memiliki posisi strategis dalam konstelasi politik internasional. Pakistan dan India justru berada dalam pusaran kepentingan politik negara-negara Adidaya, khususnya Amerika sang adikuasa.

Bahkan negeri ini terus dibayang-bayangi konflik berbasis kekerasan dengan India tetangganya hingga sekarang. Isu terorisme pun terus terjadi, baik yang dilakukan bangsa Hindu di satu sisi, maupun umat Islam di sisi yang lain.

Di masa lalu, antara India dan Pakistan setidaknya pernah terjadi tiga peperangan besar. Semuanya bertumpu pada isu Kashmir yang disebut-sebut sebagai surga di bumi. Sementara pada 1971, konflik bergeser pada isu Pakistan Timur, yang berakhir dengan pemisahan menjadi negara Bangladesh.

Pada era 2000-an, konflik menyangkut perbatasan banyak melibatkan Amerika Serikat. Maklum di era ini, isu penyatuan negeri-negeri Islam dalam satu kepemimpinan khilafah kian mencuat ke permukaan. Termasuk muncul dalam isu Kashmir yang melibatkan mujahidin lintas wilayah.

Baca juga:  India, Lambang Kegagalan Demokrasi Melindungi Minoritas

Maka atas arahan AS, Presiden Musharraf  (1999-2008) yang merupakan salah satu anteknya melakukan negosiasi menyangkut masalah Kashmir dengan India yang penguasanya juga merupakan antek AS. Alih-alih memperjuangkan hak kaum Muslim Kashmir yang dikuasasi bangsa Hindu, keduanya malah sepakat memberi legalitas alias hak bagi orang-orang India di Kashmir yang berarti menambah penderitaan kaum Muslim di sana.

Fakta ini sejatinya mengkonfirmasi keburukan konsep negara bangsa dan sekulerisme. Terlebih hubungan Pakistan dengan tetangganya belum benar-benar pulih hingga sekarang. Ketiadaan Islam ideologi sebagai landasan kehidupan bernegara, serta hilangnya payung khilafah membuat muslim Pakistan dan negeri-negeri di sekitarnya tak bisa bersatu dan menyatu sebagai sebuah bangsa.

Bahkan nampak, bahwa para penguasa sekuler justru dijadikan alat oleh negara adidaya untuk menghalangi kebangkitan Islam. Dalam hubungannya dengan politik kawasan, AS benar-benar berkepentingan menjauhkan kawasan Anak Benua India dari konflik berkepanjangan. Targetnya, agar India yang merupakan sekutu strategisnya bisa menghadapi pengaruh Cina.

Oleh karenanya, kaum Muslim di Pakistan dan anak Benua India lainnya, tak akan pernah bangkit jika tak berusaha mengambil ideologi Islam sebagai landasan kehidupan dan asas persatuan. Mereka akan terus menjadi bulan-bulanan, dan seluruh potensi wilayahnya akan diposisikan sebagai objek penjajahan.

Gaung Persatuan

Memang gaung dakwah Islam ideologi yang kian bergema di seluruh dunia pada era 90-an juga berkembang di Pakistan. Ide khilafah dan Islam kaffah mulai diterima sebagai arus baru pergerakan Islam.

Terkait hal ini Republika pada 15/8/2020 pernah melansir artikel yang memuat dua hasil survei. Pertama survei yang dilakukan British Council Universitas Karachi pada akhir 2000-an yang menunjukkan, 76% mahasiswa memilih sistem Islam untuk Pakistan. Sebagian kecilnya memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan.

Kedua, survei yang dilakukan Universitas Quaid e Azam pada akhir 2000-an, juga menyebut 79% persen pelajar mengatakan Khilafah Islam paling cocok bagi Pakistan serta dianggap menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat. Sementara 12% lainnya mendukung demokrasi.

Hal ini menunjukkan, ide perubahan ke arah Islam sudah menjadi cita-cita di kalangan pelajar dan intelektual yang merupakan motor pergerakan. Terlebih rakyat Pakistan secara umum dikenal sangat besar “cemburunya” pada Islam. Terbukti, aksi-aksi protes atas penodaan ajaran Islam kerap melibatkan massa yang super besar.

Aksi protes di Pakistan. Foto: khilafah.com

Semoga semua ini menjadi harapan besar, bahwa benih kebangkitan Islam makin tumbuh subur di Pakistan sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri muslim lainnya. Umat Islam di mana pun tidak boleh lelah berjuang agar kemuliaan yang Allah janjikan segera menjadi kenyataan.

Satu saat posisi asli umat Islam sebagai khairu ummah akan kembali. Saat itu umat Islam akan kembali hidup dalam persatuan hakiki di bawah naungan Islam, dan segera merebut kembali posisi sebagai pemimpin peradaban yang akan membawa dunia dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.