Kaffah

Aksi Bela Islam Wajib Terus Dilanjutkan

MuslimahNews.com, KAFFAH – Aksi 212 atau Aksi Bela Islam telah menjadi sejarah besar bagi umat Islam negeri ini. Aksi tersebut, yang beberapa kali diselenggarakan, pernah diikuti oleh sekitar 7 juta orang muslim dari beragam latar belakang. Bahkan aksi itu dihadiri juga oleh sebagian nonmuslim. Aksi 212 atau Aksi Bela Islam tersebut terbukti telah menunjukkan bahwa umat Islam dapat bersatu, sekaligus masih memiliki vitalitas yang luar biasa untuk membela agamanya.

Wajib Dilanjutkan

Pembelaan terhadap Islam wajib terus dilanjutkan. Tidak boleh kendor. Pembelaan itu tidak boleh dibatasi oleh waktu dan momen, seperti aksi, atau sekadar reuni. Harus dilakukan secara terus-menerus, berkelanjutan sepanjang waktu.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qur’an, para pembenci Islam akan terus-menerus melakukan permusuhan terhadap Allah Swt., Rasul-Nya, dan Al-Qur’an. Tentu dengan berbagai cara. Kaum kafir dan kaki tangan mereka akan terus berusaha tiada henti memerangi Islam dan kaum muslim. Mereka baru puas jika kaum muslim telah berbalik arah: kembali pada kekafiran. Mereka akan merasa puas jika kaum muslim telah meninggalkan Islam, lalu berbalik memusuhi Islam dan kaum muslim.

Allah Swt. berfirman,

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Mereka (kaum kafir) akan terus-menerus memerangi kalian hingga mereka berhasil mengembalikan kalian dari agama kalian jika saja mereka mampu.” (QS Al-Baqarah [2]: 217)

Karena itulah pembelaan kepada Allah Swt., Rasul-Nya, dan Al-Qur’an juga harus terus-menerus kita lakukan.

Memang benar Islam adalah mulia. Kemuliaan Islam tak akan berkurang karena dinistakan dan dimusuhi oleh manusia. Ini adalah ranah akidah/keyakinan/keimanan. Namun, membela dan menjaga kemuliaan Islam adalah ranah amal kita sebagai muslim. Tentu keliru jika keyakinan akan kemuliaan Islam malah menghalangi kita untuk menjaga dan membela kemuliaan Islam.

Allah Swt. tegas memerintahkan kita untuk menjadi para penolong (agama)-Nya,

ياَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا أَنْصَارَ اللهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah.” (QS Ash-Shaff [61]: 14)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat tersebut, yakni Allah Swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar menjadi penolong Allah dalam seluruh keadaan mereka dengan ucapan, perbuatan, jiwa, dan harta mereka.

Perintah agar menjadi penolong Allah itu, menurut Imam as-Samarqandi (w. 373 H) di dalam Bahru al-‘Ulûm, bermakna: tolonglah Allah, tolonglah agama-Nya, dan tolonglah Muhammad saw..

Baca juga:  Reuni 212-2019: Dua Ciri Khas, Munajat untuk Negeri, hingga Kasus Sukmawati

Menurut Imam an-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) di dalam tafsirnya, Marâh Labîd: “Jadilah penolong Allah” bermakna jadilah penolong agama-Nya.

Menurut Imam Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H) di dalam Lathâ`if al-Isyârât (Tafsîr al-Qusyairiy), ayat di atas bermakna: jadilah penolong agama-Nya dan Rasul-Nya.

Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) di dalam Mafâtîh al-Ghayb, frasa “jadilah penolong Allah” merupakan perintah untuk melanggengkan pertolongan dan teguh di atasnya.

Allah Swt. juga memerintahkan kaum mukmin untuk membela Rasulullah saw.,

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Sungguh Kami telah mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kalian mengimani Allah dan Rasul-Nya, sekaligus mendukung dan memuliakan dia.” (QS Al-Fath [48]: 8-9)

Apalagi membela dan menolong agama Allah adalah “wasilah” agar kita mendapatkan pertolongan-Nya. Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengukuhkan kedudukan kalian.” (QS Muhammad [47]: 7)

Imam ar-Razi menjelaskan, frasa “in tanshurulLah (jika kalian menolong Allah)” dalam ayat di atas bermakna: menolong agama-Nya, memperjuangkan tegaknya syariat-Nya, dan membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya.

Imam as-Sa’di di dalam Tafsîr as-Sa’di (Taysîr ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân) menjelaskan makna ayat di atas: “Ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum mukmin agar membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya, dan berjihad melawan musuhnya. Semua itu bertujuan untuk mengharap rida Allah. Jika mereka melakukan semua itu, Allah akan menolong mereka dan mengukuhkan kedudukan mereka.”

Dengan demikian kita wajib terus menolong Allah, Al-Qur’an, dan Rasul-Nya. Kita wajib terus menolong agama yang mulia ini. Hanya dengan membela agama-Nya, membela kalam-Nya (Al-Qur’an), membela Rasul-Nya, memperjuangkan syariat-Nya, serta membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya, maka Allah akan menolong kita.

Menggenapkan Pembelaan

Pembelaan terhadap Al-Qur’an telah nyata dapat melahirkan aksi umat yang fenomenal dan bersejarah. Aksi itu menunjukkan bahwa kaum muslim sesungguhnya bisa bersatu dan bergerak membela kitab sucinya. Saat satu ayat saja, QS al-Maidah ayat 51, dinistakan, umat paham bahwa yang dinistakan adalah Al-Qur’an yang mereka imani, yang tidak pernah mereka ragukan kebenarannya sedikit pun. Lalu dengan kesadaran dan keyakinan itu, mereka bergerak membela Al-Qur’an.

Baca juga:  [News] Direktur Pamong Institute: Aksi 212 Modal Sosial yang Potensial, Pemerintah Harus Berpikir Positif

Namun, perlu disadari, di balik penistaan satu ayat Al-Qur’an itu sesungguhnya masih ada sebab mendasar yang melahirkan aneka bentuk penelantaran dan pencampakan Al-Qur’an. Sebab mendasarnya adalah karena negeri ini memang sekuler, yakni menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan. Karena menerapkan sekularisme, negeri ini dijauhkan dari Al-Qur’an dan hukum-hukumnya; dijauhkan dari Islam dan syariatnya. Karena itu yang terjadi bukan hanya satu ayat yang ditelantarkan dan dicampakkan, tetapi sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an ditelantarkan dan hukum-hukumnya tidak diterapkan dalam kehidupan.

Inilah yang justru dikeluhkan oleh Rasulullah saw.. Beliau bahkan mengadukan umatnya yang mencampakkan Al-Qur’an kepada Allah Swt., sebagaimana firman-Nya,

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا

“Berkatalah Rasul, ‘Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang dicampakkan.’” (QS Al-Furqan [25]: 30)

Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufasir dikategorikan hajr al-Qur’ân (mencampakkan Al-Qur’an). Di antaranya, menurut Imam Ibnu Katsir (W. 774 H): menolak untuk mengimani dan membenarkan Al-Qur’an; tidak mentadaburi dan memahami Al-Qur’an; tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangan Al-Qur’an; berpaling dari Al-Qur’an, kemudian berpaling pada selain Al-Qur’an, di antaranya mengambil tharîqah (jalan hidup) dari selain Al-Qur’an (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/335).

Karena itu kesadaran akan pembelaan terhadap Al-Qur’an harus digenapkan menjadi kesadaran untuk menghentikan penelantaran dan pencampakan Al-Qur’an, sekaligus kesadaran untuk mengambil dan menerapkan Al-Qur’an. Kesadaran akan pembelaan terhadap Al-Qur’an semestinya juga mendorong umat Islam untuk dapat bersatu dan bergerak guna memperjuangkan seluruh isi Al-Qur’an agar dapat diterapkan dalam kehidupan.

Allah Swt. memerintahkan kita untuk mengembalikan segala perselisihan pada Al-Qur’an dan as-Sunah, yakni pada syariat-Nya.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir.” (QS An-Nisa’ [4]: 59)

Baca juga:  Peleburan Bangsa-Bangsa dalam Khilafah

Menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, firman Allah Swt. (artinya), “…jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir” ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum pada Al-Qur’an dan as-Sunah bukanlah orang yang mengimani Allah Swt. dan Hari Akhir.

Allah Swt. juga menafikan (kesempurnaan) keimanan seseorang sampai dia menjadikan Rasul saw. sebagai hakim, yakni menjadikan hukum Al-Qur’an dan as-Sunah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (Lihat QS An-Nisa’ [4]: 65).

Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (2/267) mengatakan, “Sungguh jika seseorang meyakini bahwa hukum yang Allah turunkan tidak wajib, boleh sekadar dijadikan pilihan, atau ia merendahkannya, padahal ia meyakini itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kekufuran yang besar.”

Allah Swt. telah memerintahkan agar manusia memutuskan segala perkara dengan hukum-hukum-Nya.

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

“Hukumilah mereka berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan (kepada kamu) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS Al-Maidah [5]: 49)

Menurut Imam al-Khazin (w. 741 H), dalam ayat ini Allah Swt. memerintahkan Rasulullah saw. untuk memberlakukan di tengah-tengah manusia hukum yang telah Allah Swt. turunkan dalam Kitab-nya (Al-Qur’an) (Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’âni at-Tanzîl).

Perintah ini secara umum juga merupakan perintah kepada seluruh umat Islam. Secara khusus, Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk memutuskan segala perkara dengan hukum-hukum-Nya. Allah Swt. pun menyifati penguasa yang tidak memutuskan perkara dengan hukum-Nya sebagai orang zalim (QS Al-Maidah [5]: 45), fasik (QS Al-Maidah [5]: 47) bahkan bisa kafir (QS Al-Maidah [5]: 44).

Alhasil, kesadaran sekaligus aksi umat untuk membela Al-Qur’an harus terus dilanjutkan. Kesadaran dan aksi bela Al-Qur’an itu harus digenapkan dengan memperjuangkan agar Al-Qur’an dan seluruh hukum-hukumnya diterapkan di tengah kehidupan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Allah Swt. berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), maka bagi dirinya kehidupan yang sempit dan dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 124). [MNews/Rgl]

Sumber: Buletin Kaffah No. 221 (27 Rabiulakhir 1443 H/3 Desember 2021 M)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *