[Resensi Buku] Pendidikan, Pilar Peradaban
Resensi Buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam
Peresensi: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
MuslimahNews.com, RESENSI BUKU — Pendidikan adalah fase yang tidak mungkin terpisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan adalah instrumen pencetak kualitas generasi. Tidak heran, seseorang disebut ‘terbelakang’ ketika kurang ilmu. Seseorang juga bisa disebut ‘kolot dan pragmatis’ ketika tidak mempersenjatai dirinya dengan ilmu dalam menjalani kehidupan.
Allah Swt. berfirman, “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).
Ini artinya, ilmu harus bersanding dengan iman agar pendidikan mampu mengemban visi mulia dalam rangka menghasilkan generasi terbaik bagi dunia. Sayangnya, ketika bandul peradaban telah berayun dari dunia Islam menuju Barat, tidak pelak Barat pun menjadi kiblat pendidikan dan peradaban. Bahkan, kondisi tersebut masih terjadi hingga saat ini.
Peralihan Bandul Peradaban
Momentum sejak sebelum runtuhnya Khilafah Islamiah telah menjadi bulan-bulanan Barat untuk menyerang Khilafah dan kaum muslimin. Barat “berhasil” menjadi mercusuar. Gencarnya transfer tsaqafah asing membuat kaum muslimin terbaratkan hingga mengganti ideologinya. Sebagai tumbal berikutnya, dunia Islam harus menerima kenyataan pahit sebagai konsekuensi peralihan bandul peradaban ini. Kaum muslimin pun tersekularisasi dan terliberalisasi.
Barat—bisa kita katakan—cukup cermat membaca situasi. Barat paham benar bahwa pendidikan adalah suatu sistem yang mampu menghasilkan pasukan besar generasi yang memiliki pemikiran yang seragam. Tidak heran, pendidikan menjadi pintu utama penjajahan pemikiran yang Barat lancarkan, khususnya terhadap dunia Islam yang selama ini menguasai panggung peradaban dunia.
Ini sungguh ironis. Pasalnya, melalui kegemilangan sistem pendidikan jugalah kaum muslimin pernah menjadi pemimpin peradaban dunia. Berderet nama besar para intelektual, ulama, dan ilmuwan muslim yang karya-karyanya menjadi acuan di seluruh dunia sejak dulu hingga era digital.
Namun, lihat kini! Kaum mana yang paling miskin? Jawabannya, kaum muslimin. Kaum mana yang paling bodoh? Jawabannya juga kaum muslimin. Pada titik ini, ada sesuatu yang “hilang” dari kaum muslimin sehingga berdampak kronis pada kemunduran dan keterbelakangan mereka.
Kegagalan Pendidikan Modern
Seiring berjalannya waktu, pendidikan modern toh nyatanya tidak mampu menandingi pendidikan produk peradaban Islam dahulu, kendati berbagai fasilitas modern nan canggih telah Barat poleskan pada sistem pendidikan besutannya. Akan tetapi, semua itu tidak mampu mengembalikan kaum muslimin, bahkan masyarakat dunia, menjadi konstruktor terbaik bagi peradaban manusia.
Lihat saja, predasi seksual menjadi ancaman generasi di berbagai jenjang pendidikan. Praktik-praktik amoral terjadi tanpa pandang bulu, bahkan menjadi ekses yang tidak jarang dilakukan oleh kaum terpelajar. Polemik guru honorer pun tidak kunjung usai. Kebijakan zonasi seolah membatasi pengembangan potensi anak didik. Sejumlah persoalan makin mencederai konsep thalabul ‘ilmi ketika pada masa pandemi penguasa sangat gagap menyolusi antara luring dan daring.
Belum lagi tindakan plagiarisme dan jual beli gelar akademik, sudah umum terjadi. Standardisasi karya ilmiah berwujud jurnal-jurnal yang terindeks internasional juga makin membenamkan kaum pintar menjadi pion permainan kapitalisasi pendidikan. Simalakama dana riset juga turut menghantui. Belum lagi lahirnya beragam kebijakan liberal justru menjauhkan visi mulia pendidikan, alih-alih menyandingkannya dengan keimanan.
Ini adalah indikator bahwa pendidikan modern gagal mencetak intelektual hakiki. Sistem pendidikan ibarat stempel bagi penguasa untuk melegalisasi sistem pemerintahan kufur dan meminggirkan sistem pemerintahan Islam. Penguasa agen Barat membakukan politik pengajaran dan metodologi pendidikan milik Barat sehingga meniscayakan insan-insan pendidikan menjadi penjaga dan pelestari ideologinya, yakni kapitalisme, beserta seluruh ide turunannya berupa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.
Khatimah
Mencermati semua ini, jika kita menghendaki kembalinya sistem pendidikan yang gemilang bagi seluruh manusia, sesuatu yang “hilang” tadi juga harus kita bangkitkan kembali. Cita-cita mulia yang ingin teraih melalui sistem pendidikan tidak boleh secara parsial mengacu pada fikrah Islam tanpa mengadopsi thariqah-nya. Kegemilangan itu justru hanya mampu teraih ketika ada sistem makro yang tegak menaungi sistem pendidikan tersebut, yakni Khilafah Islamiah. Oleh karenanya, jangan biarkan keberadaan Khilafah menjadi sekadar romantika sejarah.
Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam memang tidak mungkin diterapkan oleh negara yang tidak ada hubungan sedikit pun dengan Islam. Sistem pendidikan Islam harus ditopang oleh undang-undang yang menerapkan dan menjamin pelaksanaan syariat Islam secara utuh.
Tidak pelak, sistem pendidikan yang hakiki membutuhkan tegaknya Khilafah Islamiah sebagai satu-satunya negara penegak ideologi Islam sehingga mampu menjamin pelaksanaan syariat Islam di dalamnya. Jelas sekali, tegaknya Khilafah adalah prasyarat agar sistem pendidikan mampu memberikan peningkatan daya pikir dan pengentalan syakhshiyah (kepribadian) Islam, yakni saat ilmu akan senantiasa bersanding dengan iman sehingga kaum terpelajar mampu menjadi generasi penopang pilar peradaban dunia. Insyaallah. [MNews/Gz]