Guru, The Real “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, Sampai Kapan?
Penulis: Asy Syifa Ummu Sidiq
Terima kasihku kuucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
Setiap hari aku dibimbingnya
‘Kan kuingat selalu nasihat guruku
Terima kasih untukmu
MuslimahNews.com, OPINI — Jasa guru tidak pernah lekang oleh waktu. Merekalah abdi sejati yang selalu sabar tanpa tepi. Mereka rela berkorban demi masa depan. Tidak perlu lagi meragukan perannya dalam pembangunan pendidikan. Mereka adalah pucuk senjata bagi kemajuan bangsa. Mengingat begitu penting jasa mereka, sudahkah kita benar-benar berterima kasih pada mereka layaknya kutipan lagu “Terima Kasih Guruku” karya Sri Widodo itu?
Beban Berat Guru
Seperti yang kita ketahui selama ini, guru bertanggung jawab mendidik murid-muridnya. Mereka mengajari membaca, menulis, menghitung, ilmu pengetahuan, hingga akhlak. Orang tua menyerahkan anak-anak mereka agar kelak menjadi pribadi yang baik, taat, dan pemimpin yang kompeten. Bisa membayangkan betapa beratnya tugas guru?
Hanya saja, tugas guru saat ini juga bertambah dengan persyaratan administrasi. Mereka harus mengolah data untuk laporan dan meningkatkan pangkat. Selain itu juga mereka harus mengikuti berbagai pelatihan sebagai prasyarat kenaikan jabatan. Sungguh, betapa sibuknya para guru, selain harus menyiapkan materi untuk mengajar, mereka juga terbebani “seabrek” masalah administrasi yang menyita waktu.
Salin itu, mulai tahun depan, kurikulum akan berubah. Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan kurikulum yang baru akan berbasis pada teknologi. Menurutnya, kurikulumnya akan lebih fleksibel. Para guru pun akan mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menunjang kemampuan. (Gurubisa, 28/11/21).
Minim Apresiasi
Sejuta tugas guru tidak sebanding dengan apresiasi yang mereka dapat. Begitulah kira-kira yang dirasakan mayoritas para abdi negara itu. Masih ingat tes PPPK beberapa waktu lalu? Banyak sekali peserta yang telah mengabdi bertahun-tahun, pada akhirnya gagal dalam tes. Alhasil, mereka hanya menjadi guru honorer. Para peserta pun banyak yang berusia lanjut.
Selain itu, adanya perbedaan fasilitas antara guru honorer dan pegawai negeri pun ada. Mulai dari besaran gaji, tunjangan, hingga masa pensiun. Seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), seorang guru mengaku dibayar Rp700.000,-/bulan. Nominal sebesar itu tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih parah lagi, ternyata sudah delapan bulan ia tidak menerima gajinya. (Republika, 29/11/21).
Jebakan Kapitalisme
Sangat disayangkan ribuan nasib guru belum juga mendapatkan perhatian. Gaji mereka kecil, tetapi tugas mereka besar. Tidak jarang pula guru terjebak pinjaman online karena kesulitan masalah ekonomi. Masalah apresiasi ini berlarut-larut, tidak terselesaikan hingga sekarang.
Sebagaimana diketahui khalayak umum, negara yang kaya ini mengalami masalah keuangan. Anggaran negara sebagian besar tersedot untuk membayar bunga utang. Sedang pendapatan hanya bertumpu pada pajak. Padahal, kekayaan alamnya melimpah baik darat atau laut. Jebakan utang telah memporak-porandakan ekonomi negara. Keadaan semakin parah ketika Sumber Daya Alam (SDA) dikuasai asing dan swasta.
Semua itu bermula karena negara telah membuka hati untuk kapitalisme. Di mana para kapitalis akan berkuasa atas seluruh kebijakan sehingga mereka menguasai kekayaan SDA yang ada. Bagaimana dengan negara? Negara hanya mendapat secuil pendapatan dari bongkahan SDA yang dikelola. Selain itu, besaran pajak yang terbatas juga tak mencukupi untuk memberikan apresiasi bagi para guru. Karena pajak tidak hanya dipakai untuk pembiayaan pendidikan, tapi juga yang lain seperti kesehatan, administrasi, keamanan dll.. Lagi-lagi karena kapitalisme, negara menjadikan pajak sebagai prioritas pendapatan.
Islam Menghormati Guru
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan Islam. Bagi Islam, guru memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka adalah orang-orang berilmu yang mendapatkan perhatian khusus dari Allah Swt.. Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Mujadalah 11).
Islam memperhatikan segala hal tentang guru. Salah satunya adalah gaji, seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar Bin Khatab. Beliau memberikan gaji kepada guru sebesar 15 dinar. Kalau dihitung dengan kurs rupiah (02/12/21) 15×4,25xRp852.927= Rp54.374.096,3. Dari mana uang sebanyak ini? Jumlah guru tentunya lebih dari satu kan?
Islam mampu memberikan apresiasi yang besar pada guru karena dukungan sistem keuangannya. Dalam Anggaran Islam, pendapatan berasal dari beberapa pos. Seperti pos jizyah, fai, kharaj, ganimah, harta tidak bertuan, pengelolaan SDA dll. Khusus pos pengelolaan SDA ini dipegang langsung oleh negara, haram dikelola oleh swasta apalagi asing. Hasil dari pengelolaan SDA dialokasikan demi kepentingan rakyat. Seperti fasilitas umum atau sarana dan prasarana, kesehatan, pendidikan, keamanan dan segala hal yang dibutuhkan masyarakat.
Sehingga nasib guru dalam Islam akan menjadi perhatian penting. Mereka tak akan lagi memiliki gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Karena dari segi gaji, pemimpin Islam telah memberikan dengan jumlah yang cukup. Selain itu, jika guru tersebut berprestasi, Islam akan memberikan penghargaan yang lebih. Contohnya saat menghasilkan karya buku, sebagai mana di masa khilafah Abbasiyah, para penulis akan mendapatkan penghargaan dinar seberat buku yang dibuat tersebut.
Sungguh, betapa luar biasa perhatian Islam kepada guru. Kondisi ini pernah terjadi selama 13 abad, saat Islam menjadi landasan dalam setiap kehidupan. Penghormatan pada guru hanya bisa dilakukan oleh Islam. Oleh karena itu kita perlu memakai Islam sebagai landasan segala hal dan mencampakkan kapitalisme sampai ke akar-akarnya. [MNews]