Ada Apa di Balik Narasi Toleransi dan Intoleransi?
Penulis: Wiwing Noeraini
MuslimahNews.com, FOKUS — Saat ini, toleransi dan intoleransi telah menjadi salah satu narasi yang sangat masif teraruskan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan, sejak tahun 1955, PBB menetapkan setiap 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional. Pemerintah Indonesia pun ikut memperingatinya. Pada peringatan tersebut, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa inti peringatan ini adalah merayakan keberagaman dan toleransi dalam wujud nyata. (Ihram.co.id, 16/11/2021).
Dengan melihat sejarah kemunculannya, peringatan Hari Toleransi adalah untuk mengampanyekan toleransi sebagai solusi berbagai kekerasan antarras, bangsa, dan agama yang marak terjadi sejak Perang Dunia II berakhir. Toleransi yang mereka maksud tentu adalah menurut makna Barat, yaitu pengakuan terhadap hak asasi manusia, pluralisme, dan penghormatan terhadap perbedaan (toleransi terhadap kemaksiatan-pen.). (Kompas.com). Ada apa di balik narasi ini?
Di Balik Narasi Toleransi dan Intoleransi
Sesungguhnya, di balik narasi toleransi dan intoleransi ada proyek Barat untuk mendekonstruksi, melumpuhkan, bahkan melenyapkan ajaran Islam. Hal tersebut setidaknya tampak dari lima hal berikut ini:
Pertama, menumbuhkan keraguan pada umat Islam akan kebenaran ajaran Islam. Dalam narasi Barat, muslim yang berpegang teguh pada ajaran Islam akan mendapat cap sebagai fundamentalis, radikal, dan intoleran. Akibat tidak mau mendapat cap demikian, sebagian muslim memilih meninggalkan ajaran agamanya sedikit demi sedikit.
Kedua, menghilangkan rasa kebanggaan umat Islam terhadap ajaran Islam. Islam dicitrakan secara keji melalui media-media, yaitu sebagai agama yang antagonis terhadap ide-ide kebebasan, HAM, demokrasi, pluralisme, dan nilai-nilai Barat lainnya. Akhirnya, muncullah rasa rendah diri pada diri umat Islam, juga islamofobia, yakni takut pada ajaran agamanya sendiri.
Ketiga, menciptakan suasana ketakutan pada diri para pejuang Islam untuk menyampaikan kebenaran. Para ulama yang dakwahnya dianggap berseberangan dengan penguasa akan mendapat beri label ‘intoleran’, kemudian memersekusi, bahkan menangkap dan mengamankan mereka.
Masih ingat dalam benak kita, dahulu, seorang ulama besar Indonesia Buya Hamka ditangkap rezim saat itu karena dianggap bertentangan dengan pemerintah. Kemudian HRS, Gus Nur, dan yang terbaru penangkapan tiga ulama oleh Densus 88, yaitu Farid Okbah, Ahmad Zain An Najah, dan Anung Al Hamat. Ahmad Zain An Najah adalah pengurus Komisi Fatwa MUI. Yang sangat memprihatinkan, penangkapan ketiga ulama ini dengan perlakukan yang sangat tidak layak. (detik.com 18/11/2021).
Keempat, memaksa umat Islam menerima konsep jalan tengah dan kompromi dalam berkeyakinan dan menjalankan ajaran agamanya. Walhasil, atas nama toleransi, umat Islam terjebak pada racun pluralisme dan moderasi beragama sehingga mencampuradukkan yang hak dan batil. Islam memang menghargai pluralitas, tetapi tidak mengakui pluralisme. Selain itu, syariat Islam sangat layak terterapkan pada masyarakat yang plural (beragam) tanpa butuh moderasi.
Kelima, westernisasi segala aspek kehidupan kaum muslim. Barat seolah menjadi kiblat bagi kaum muslim. Melalui berbagai bidang, seperti 4F—fun, fashion, film, and food—Barat terus mempropagandakan ideologinya. Umat Islam akhirnya begitu membanggakan budaya Barat dan merasa rendah diri dengan budaya Islam. Umat mulai meninggalkan perilaku islami yang merupakan bagian dari ajaran Islam, seperti hal berpakaian, makan, dan hiburan, karena menganggapnya ketinggalan zaman.
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa toleransi dan intoleransi adalah narasi sesat dan berbahaya yang harus umat Islam tolak dan lawan.
Islam dan Toleransi
Sebagai agama rahmatan lil ’alamin, Islam memiliki paradigma khas terkait toleransi, yakni dengan merujuk pada sumber hukum Islam—Al-Qur’an dan Hadis—, bukan menurut cara pandang Barat yang kufur.
Toleransi dalam cara pandang Barat adalah pengakuan terhadap pluralisme, yaitu pengakuan bahwa setiap agama adalah benar. Tentu saja pluralisme adalah ajaran yang bertentangan dengan Islam.
Allah Swt. berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran: 19).
Kemudian firman Allah Swt.,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran: 85).
Namun, bukan berarti Islam tidak mengajarkan toleransi. Justru Islam adalah agama yang sangat toleran, dalam arti menghargai keragaman suku, agama, dan bahasa. Allah Swt. telah menegaskan Islam sebagai agama toleran (lihat QS Al-Kafirun: 1—6).
Islam adalah agama dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yakni dengan cara memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan kebenaran Islam tanpa ada unsur paksaan.
Allah Swt. berfirman,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS Al-Baqarah: 256).
Dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah jilid 2, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa penerapan syariat Islam secara kafah oleh Khilafah mampu mewujudkan toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Warga negara Khilafah yang nonmuslim berkewajiban untuk membayar jizyah dan tunduk kepada sistem Islam. Sebagai imbalannya, mereka mendapat hak untuk hidup di dalam naungan Khilafah dengan tetap memeluk agama mereka, serta bebas menjalankan ibadah menurut agama mereka.
Hanya saja, karena mereka hidup di bawah naungan Khilafah—yang berdasarkan akidah Islam, serta menjalankan syariat Islam—tentu tidak mungkin agama lain selain Islam lebih menonjol, atau setidaknya sama dengan Islam.
Nabi Saw. menegaskan,
اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى
“Islam itu tinggi, dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam).” (HR Ad-Daruquthni (III/ 181 no. 3564)).
Karena itu, pada masa kekhalifahan Islam, nonmuslim yang hidup di dalam wilayah negara Khilafah menyadari betul posisi dan kedudukan mereka. Mereka tidak akan minta umat Islam dan negara menoleransi mereka dalam menjalankan agama mereka lebih dari yang telah menjadi hak mereka.
Begitulah cara Islam menjaga dan melindungi agama dan keyakinan nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah. Mereka tidak terganggu dalam hal ibadah mereka dan tidak mendapat paksaan untuk meninggalkan agama mereka.
Khatimah
Narasi toleransi dan intoleransi ala sistem sekuler adalah narasi sesat dan kufur yang harus segera kita akhiri. Caranya adalah dengan menyadarkan umat bahwa narasi ini merupakan proyek Barat untuk mendekonstruksi, melumpuhkan, bahkan melenyapkan ajaran Islam.
Sejatinya, Islam telah memiliki konsepsi toleransi yang adil dan proporsional. Konsep ini yang akan menjadikan kaum muslim dan nonmuslim bisa hidup rukun secara sempurna dan penuh keamanan serta kesejahteraan. Wallahualam. [MNews/Tim WAG-Gz]
Tak mengherankan ide2 dari barat mmg selalu akan menabrak nilai2 islami