Rekontekstualisasi Ajaran Islam, Berbahayakah?

Penulis: Rahmah

MuslimahNews.com, FOKUS TSAQAFAH — Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta telah usai. AICIS 2021 bertema “Islam in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”.

Perumusan tema ini adalah untuk menjawab dinamika perubahan Islam dunia, juga untuk melihat lebih dekat bagaimana reaktualisasi fikih dan kebijakan publik dari sudut pandang Islam dalam beragam isu, seperti pandemi, moderasi beragama, kerukunan, harmoni, tata kelola pendidikan, serta isu spesifik lain, seperti isu wisata halal dan sebagainya.[1]

AICIS 2021 menghasilkan sepuluh rekomendasi, di antaranya adalah mengontekstualisasi ajaran Islam dalam kehidupan warga negara agar ajaran Islam yang komprehensif mampu digunakan dalam semua konsep kehidupan.[2]

Rekontektualisasi Ajaran Islam

“Recontextualization (rekontekstualisasi)” menurut Meriem-Webster Dictionary online adalah ‘menempatkan sesuatu dalam konteks yang berbeda’ (recontextualization: to place (something, such as a literary or artistic work) in a different context)’

Dengan demikian, rekontekstualisasi ajaran Islam adalah sebuah upaya merekontekstualisasi ajaran Islam, baik dengan mengonstruksi/ijtihad kembali hukum dalam fikih Islam yang sudah ada, maupun menafsirkan kembali teks-teks/nas-nas yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis agar sesuai konteks atau realitas sosial budaya sekarang. Rekontekstualisasi ajaran Islam meliputi rekontekstualisasi hukum Islam (fikih), serta rekontekstualisasi penafsiran Al-Qur’an dan Hadis.

(1) Rekontekstualisasi Fikih Islam

Pelaksanaan peraturan untuk menyelesaikan problematik kehidupan manusia sesuai dengan Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sejalan dengan perkembangan hidup manusia, berkembang pula problematik kehidupannya.

Hal ini memerlukan adanya mujtahid yang berijtihad untuk menetapkan hukum agar kaum muslimin tetap terikat dengan hukum syarak. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak terikat dengan hukum Islam dengan alasan belum ada hukumnya.

Dari sini, merupakan keniscayaan selalu ada mujtahid yang berijtihad, yaitu melakukan pengerahan segenap daya upaya dalam menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil yang terperinci. Inilah yang menjadikan hukum Islam akan selalu relevan pada setiap zaman. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, AlSyakhshiyah al-Islamiyah Juz I, hlm. 198).

Dari definisi di atas, seorang mujtahid akan dikatakan berijtihad jika ia bersungguh-sungguh mengerahkan segenap tenaga dan pikirannya secara maksimal untuk mengetahui hukum syarak dari dalil yang terperinci. Dalam berijtihad, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat, antara lain pertama, memahami bahasa Arab, yaitu pemahaman tentang lafaz-lafaz dan susunannya.

Baca juga:  [News] Moderasi Beragama dalam Soal Ujian PAI, Membahayakan Generasi?

Kedua, memahami pengetahuan tentang syarak, yaitu nas-nas syarak dari Al-Qur’an dan Sunah yang berkaitan dengan masalah hukum, atau kaidah usul fikih—al-umum wa al-khusush, al-muthlaq wa al-muqayyad, an-nasikh wa al-mansukh.

Ketiga, Pemahaman terhadap suatu fakta yang hendak dihukumi secara mendalam. (Muhammad Husain Abdullah. 1990. Dirosah fi al-Fikr al-Islam, Aman: Dar al-Bayariq. hlm. 45—46).

Selanjutnya, seorang mujtahid juga harus memahami bahwa nas-nas sebagai objek ijtihad adalah nas-nas yang zhanni, yaitu nas-nas yang maknanya masih samar; bukan nas-nas qath’i, yaitu nas-nas yang maknanya sudah pasti/jelas, semisal ayat tentang hukum menerapkan syariat Islam.

Tidak Sesuai Kaidah Ijtihad Syar’i

Dengan mengkaji secara mendalam terhadap rekontekstualisasi fikih Islam, bisa kita simpulkan bahwa rekontekstualisasi fikih Islam tidak sesuai dengan kaidah ijtihad yang syar’i karena beberapa aspek.

Pertama, landasan yang dipakai dalam rekontekstualisasi fikih Islam bukan akidah Islam, melainkan moderasi Islam. Kedua, terdapat kaidah usul fikih yang tidak lurus dan kaidah usul/kaidah ijtihad yang tidak dikenal dalam ilmu usul fikih yang muktabar. Misalnya, al-ibrah bi al-maqasid la bi alfaz (yang menjadi patokan hukum adalah maksud/ujuan syariat, bukan ungkapannya (dalam teks/nas)”; jawaazu nashkhin nushuushi bilmashlahah (boleh menasakh/menghapus ketentuan nas—ajaran agama Islam karena ada kemaslahatan). (Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, 2004).

Ketiga, nas Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi objek rekontekstualisasi fikih Islam bukanlah objek ijtihad, yaitu sesuatu yang belum ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis. Seharusnya, nas Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi obyek ijtihad adalah nas-nas yang mutasyabihat (samar/tidak jelas), yakni nas-nas yang mengandung lebih dari satu makna, baik sama derajatnya maupun yang tidak sama.

Hukum yang dihasilkan dari rekontekstualisasi fikih Islam menjadikan hukum tersebut berubah secara diametral. Misalnya, rekontekstualisasi fikih tentang pembagian waris. Menurut jumhur ulama, pembagian waris wajib mengikuti ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadis, setelah rekontekstualisasi, berubah menjadi pembagian sesuai kesepakatan. Selanjutnya, jumhur ulama berpendapat wajib menerapkan hukum Islam secara kafah, setelah rekontekstualisasi, menjadi tidak wajib menerapkan hukum Islam secara kafah, yang penting keadilan dan kesejahteraan bisa tercapai.

Mereka melakukan rekontekstualisasi terhadap nas-nas tersebut, padahal nas tentang pembagian waris, kewajiban menerapkan hukum Islam secara kafah, serta haramnya riba, adalah sudah pasti/qath’i.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan nas tentang haramnya riba dalam QS Al-Baqarah: 275:

Baca juga:  Pokok-Pokok Nalar Moderat Vs. Nalar Islam

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

275. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ayat yang berbunyi “وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰ” ini adalah nas qath’i/pasti/jelas. Jumhur ulama sepakat mengharamkan semua jenis riba dan menghalalkan jual beli. Akan tetapi, setelah merekontekstualisasi nas tersebut, hukum riba berubah menjadi ‘boleh kalau bunga atau uang tambahan itu tidak berlipat dan tidak mencekik’.

(2) Rekontekstualisasi Penafsiran Al-Qur’an

Untuk menafsirkan Al-Qur’an, butuh ilmu tafsir atau metode penafsiran Al-Qur’an dan harus bersumber dari akidah Islam. Artinya, harus bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis dan sesuai dengan keduanya. Metode menafsirkan Al-Qur’an yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis meliputi pertama, tafsir bi al riwayah/ tafsir ma’tsur, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sabda Rasulullah, atau dengan perkataan Sahabat, sebagai penjelasan apa yang dikehendaki Allah dalam Al-Qur’an. (Syekh Muhamad Ali ash Shabuni. Al Tibyan fi Ulumi al-Qur’an, hlm. 67—70).

Kedua, tafsir bi al-dirayah/tafsir bi ar-ra’yi, yaitu tafsir yang disusun dengan menyandarkan pada bahasa Arab dan berdasarkan pendapat/ijtihad. Yang dimaksud “pendapat” di sini adalah ‘ijtihad yang didasarkan pada kaidah penafsiran yang sahih’, yaitu upaya sungguh-sungguh menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan bahasa dan bersandarkan pada Al-Qur’an, bukan menjadikan penafsiran berdasarkan pendapatnya yang disandarkan pada akal/hawa nafsu.

Berdasarkan hal itu, rekontekstualisasi ataupun reinterpretasi Al-Qur’an adalah upaya menafsirkan kembali teks-teks berbagai nas yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis agar sesuai dengan konteks atau realitas sosial budaya sekarang.

Dengan mengkaji secara mendalam terhadap metode penafsiran yang dipakai dalam rekontekstualisasi atau reinterpretasi Al-Qur’an, baik tafsir maqashidi maupun tafsir kontekstual, terdapat beberapa konsep penafsiran yang tidak sesuai dengan metode penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan akidah Islam. Ketaksesuaian ini terdapat pada beberapa hal:

  • a. Dasar penafsiran bukan akidah Islam, tetapi moderasi Islam,
  • b. Tafsir maqashidi dan tafsir kontekstual tidak bisa dimasukkan dalam tafsir bi al riwayah/tafsir ma’tsur karena tafsir maqashidi dan tafsir kontekstual tidak menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ataupun sabda Rasulullah ataupun perkataan Sahabat. Di samping itu, tafsir maqashidi dan tafsir kontekstual juga tidak termasuk tafsir bi al dirayah/bi ra’yi karena tafsir maqashidi dan tafsir kontekstual tidak disusun dengan menyandarkan pada bahasa Arab dan berdasarkan pendapat/ijtihad, yaitu upaya sungguh- sungguh menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan bahasa dan bersandarkan pada Al-Qur’an, misalnya QS An Nisa’: 34: ‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Mufasir atau para ulama salaf sepakat bahwa laki-laki pemimpin keluarga dan wajib memberi nafkah kepada keluarga. Akan tetapi, setelah ditafsirkan ulang dengan tafsir kontekstual, hukumnya berubah menjadi pemimpin keluarga dan wajib nafkah bisa laki-laki atau perempuan karena ilatnya (alasan yang memunculkan hukum) adalah nafkah. Mereka berargumentasi bahwa kondisi masyarakat pada saat Al-Quran turun, yang bekerja mencari nafkah adalah laki-laki. Berbeda dengan keadaan sekarang, baik laki-laki dan perempuan, keduanya bekerja mencari nafkah. (Jurnal Harkat. Vol. 2. April 2002)

Baca juga:  [Fokus] Moderasi Beragama, Solusi atau Masalah?

Bahaya Rekontekstualisasi Ajaran Islam

Jika yang direkomendasikan AICIS adalah rekontekstualisasi ajaran Islam sebagaimana uraian di atas, yaitu yang selama ini sudah dilakukan, tentu ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Rekontektualisasi ajaran Islam akan mengubah hukum Islam secara diametral.

Kalau kita perhatikan hukum hasil rekontekstualisasi berbeda dengan pendapat jumhur ulama salah salaf saleh, yaitu berbeda dengan hukum fikih Islam yang muktabar. Demikian pula, hasil rekontekstualisasi tafsir/penafsiran ulang, juga berbeda dengan penafsiran mufasir salah saleh.

Perhatikan rekontekstualisasi dalam berijtihad, mereka mengabaikan pedoman berijtihad yang syar’i. Misalnya, mereka merekontekstualisasi nas-nas qath’i (pasti); memakai kaidah usul yang tidak lurus dan menerapkan kaidah usul fikih yang tidak tepat dengan fakta yang akan dihukumi.

Dampaknya, umat Islam sudah merasa sesuai ajaran Islam saat menerapkan hukum hasil rekontekstualisasi. Ini akan berakibat umat makin jauh dari penerapan Islam secara kafah.

Jika demikian, berarti rekontekstualisasi akan menjadikan umat berpaling dari syariat Islam, padahal berpaling dari syariat Islam memunculkan krisis multidimensi atau kehidupan yang makin sempit sebagaimana dalam QS Thaha ayat 124,

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤

124 “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Wallahualam. [MNews/Gz]

Referensi:

[1] https://www.kemenag.go.id/read/dibuka-wapres-aicis-2021

[2] https://radarsolo.jawapos.com/pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.