[Tapak Tilas] Islam dan Kaum Muslim di Anak Benua India

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

MuslimahNews.com, TAPAK TILAS — Saat ini merupakan hari-hari yang berat bagi minoritas muslim di India. Pendukung Partai Bharatiya Janata (BJP), partai nasionalis Hindu yang berkuasa di berbagai negara bagian India, secara sistematis melakukan kekejaman terhadap warga muslim yang minoritas.

Di Haryana, Uttar Pradesh, Tripura, Maharashtra, dan di tempat-tempat lainnya, masjid-masjid, toko, dan rumah milik umat Islam terus mengalami perusakan dan pembakaran. Mereka dilarang melakukan peribadatan termasuk salah Jumat. Bahkan, kelompok Hindu radikal kerap menebar kotoran sapi demi mengganggu peribadatan umat Islam.

Di samping itu, Pemerintahan Hindu juga menangkap ratusan orang aktivis, termasuk advokat dan jurnalis yang bersuara lantang memprotes perlakuan mereka terhadap minoritas muslim. Penangkapan ini dilakukan atas nama Undang-Undang Kegiatan (Pencegahan) yang Melanggar Hukum yang dikenal kejam.

Ironisnya, semua islamofobia yang dilegalkan oleh negara ini sudah berlangsung sangat lama. Sementara, lembaga-lembaga HAM internasional cenderung diam tidak bersuara. 

Akar Konflik

Konflik berbasis agama memang bukan hal baru di India. Benih konflik ini berhasil ditumbuhkan dengan baik oleh Inggris sejak menjajah India pada awal abad ke-17 M. Usaha ini terus diperkuat saat Inggris memerdekakan India pada 1947 dan menjadikannya sebagai bagian dari negara persemakmuran.

Sebetulnya, interaksi umat Islam dengan bangsa India sendiri sudah terjadi sejak abad ke-7 M melalui jalan perdagangan. Namun, kekuasaan politik Islam baru tegak melalui penaklukan sejalan dengan upaya penyebaran dakwah ke kawasan Asia Selatan mulai awal abad ke-8 M.

Pada masa itu, anak Benua India sudah masuk dalam target futuhat pemerintahan Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus. Momentum penaklukannya sendiri terjadi saat penguasa Sind, Raja Dahir, melakukan perampokan pada kapal-kapal milik Raja Bangladesh yang sedang mengangkut hadiah untuk khalifah sebagai tanda persahabatan.

Kala itu, Hajjaj bin Yusuf as-Saqifi, Gubernur Irak pada kekuasaan Khalifah Dinasti Umayyah, Al-Walid bin Abdil Malik memerintahkan Muhammad bin Qasim bersama pasukannya untuk mengatasi perampokan tersebut. Raja Dahir akhirnya terbunuh dan Muhammad bin Qasim berhasil mendirikan kekuasaan Islam pertama di Sind untuk pemerintahan Umayyah. 

Sejak saat itu, lebih dari 10 periode gubernur dari pemerintahan Umayyah dan 30 gubernur dari pemerintahan Abbasiyah memimpin wilayah India. Kala itu kawasan India meliputi seluruh anak Benua India di era sekarang.

Tentu saja proses futuhat di India tidak berjalan secara sekaligus. Perlawanan oleh sebagian raja-raja Hindu tetap terjadi di beberapa kawasan. Namun, peperangan ini senantiasa berakhir dengan kemenangan umat Islam.

Pada perkembangan selanjutnya, proses islamisasi berjalan secara alami. Keindahan ajaran Islam yang antikasta dan keadilan penerapan hukum-hukumnya oleh negara membuat sebagian raja-raja dan rakyatnya akhirnya memeluk agama Islam dengan sukarela.

Kalaupun banyak di antara mereka yang tetap dalam agamanya, kekuasaan Islam memperlakukan mereka dengan seadil-adilnya. Mereka bisa hidup berdampingan secara damai dalam hubungan muamalah yang dijaga oleh hukum-hukum negara.

Masa Keemasan Islam

Islam di India sempat mengalami kejayaan terutama pada masa kesultanan Mughal (1526—1858). Dinasti ini didirikan oleh panglima perang asal Uzbekistan, Zaharuddin Muhammad Babur, cucu dari Timor Lenk, sekaligus keturunan penguasa Mongolia, Jengis Khan. Ia berhasil merebut kekuasaan dari Sultan Delhi, Ibrahim Lodi yang kala itu kondisinya sudah melemah.

Puncak kejayaan dinasti Mughal terjadi pada generasi ketiga kekuasaannya. Yakni saat Jalaluddin Akbar (Akbar Khan, 1556—1605 M), cucu Babur sekaligus anak Nashirudin Humayun mulai berkuasa. Kemudian kejayaan ini dilanjutkan oleh penerus Akbar, yakni Jahangir (Nuruddin Muhammad Salim, 1605—1628 M) dan Shah Jahan (Shahabuddin Muhammad Khurram, 1628—1658 M) dan Aurangzeb (1658—1707 M).

Pada masa mereka wilayah kekuasaan Mughal tidak hanya meliputi India saat ini saja, tetapi meliputi Afghanistan, Lembah Indus di Himalaya, Bolochistan, Pakistan, Kashmir, dataran tinggi Dekkan, Srilanka, Myanmar, Nepal, dan Bangladesh.

Posisinya pun sangat diperhitungkan. Meski posisinya merupakan wilayah yang otonom dari Khilafah Utsmani, keberadaannya diperhitungkan di seantero dunia. Bahkan, sebagian sejarawan menyebutnya sebagai salah satu negara mesiu Islam atau adidaya khususnya di Asia Selatan.

Pada masa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni budaya, ekonomi, dan perdagangan berkembang luar biasa. Berbagai karya arsitektur megah dan indah peninggalan peradaban Mughal masih bisa kita saksikan hingga sekarang. Di antaranya, Benteng Agra, Istana atau Kota Fatehpur Sikri, Mausoleoum Taj Mahal, Benteng Merah atau Lal Qila dengan Masjid Moti atau masjid mutiara di dalamnya, benteng Lahore, juga masjid agung dan Buland Darwaza (Pintu Tinggi), dan lain-lain.

Pasang Surut Peradaban

Sayangnya, di masa pemerintahan Akbar, ajaran Islam sempat mengalami penyimpangan luar biasa. Sebagai penganut relativisme, sultan Akbar memberlakukan toleransi tanpa batas atau universal (Sulh-i Kull) antara agama Islam dan ajaran Hindu demi alasan menjaga stabilitas politik. Bahkan ia menciptakan ajaran agama baru bernama Din Ilahi yang sejatinya merupakan sinkretisme antara kedua agama, plus agama lainnya seperti nasrani, Jainisme dan zoroaster (Persia).

Atas ajarannya ini banyak umat Islam yang menentang. Namun karakter kepemimpinannya yang sangat militeristik membuat para penentang tak bisa berbuat banyak.

Justru pemerintahannya mendapat dukungan kuat dari pembesar-pembesar Hindu. Apalagi ketika jizyah dihapuskan dan banyak dari mereka berpeluang masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Ketika pemerintahan beralih ke Jangahir semua paham keagamaan yang diciptakan ayahnya dihapuskan dan kembali kepada aturan-aturan Islam yang murni. Lalu Jahangir digantikan oleh Shah Jahan. Ia dikenal sangat cerdas dalam bidang arsitektur dan berhasil menggabungkan keagungan arsitektur gaya Utsmani dan gaya Safawi. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah Taj Mahal.

Masa keemasan Mughal masih berlanjut di tangan Aurangzeb alias Alamgir atau Muhiuddin Muhammad, anak Shah Jahan. Ialah yang memindahkan ibukota pemerintahan dari Agra ke Delhi.

Ia justru dengan ketat memberlakukan berbagai hukum Islam yang sebelumnya sudah ditinggalkan. Misalnya larangan minuman keras, judi dan perbuatan maksiat lainnya, mewajibkan shalat, puasa bagi setiap muslim, memberlakukan kembali jizyah, melarang paham Syiah dan praktek musyrik, serta mencopot orang-orang Hindu dari posisi kekuasaan.

Ia banyak melakukan penaklukan pada daerah-daerah yang sebelumnya diberi kekuasaan oleh sultan-sultan terdahulu. Tak heran jika wilayah Mughal pada saat pemerintahannya melebihi zaman Akbar. Batasnya meluas mulai dari Kabul Afganistan sampai ke Arakan di India sebelah Selatan (sekarang Miyanmar/Rohingya).

Hanya saja kebijakannya yang ketat inilah yang menyebabkan munculnya pemberontakan-pemberontakan. Terutama dari kalangan Hindu yang merasa terdiskriminasi dengan kebijakan-kebijakannya tadi.

Era Penjajahan

Wafatnya Aurangzeb membawa dinasti Mughal pada kelemahan. Kebijakannya yang dipandang keras telah menyisakan benih perpecahan di kalangan rakyat Mughal.

Semua ini diperparah oleh kelemahan 13 generasi penguasa yang memegang kepemimpinan setelahnya dari masa ke masa hingga benar-benar runtuh tahun 1857 M. Selain pola hidup yang kian jauh dari tuntunan Islam, juga melemah dalam pembinaan militer dan pertahanan.

Namun jauh sebelum itu, pemerintahan Mughal memang sudah menanam benih-benih ancaman dari negara Eropa, khususnya Inggris yang dibiarkan beraktivitas ekonomi di sana. Pada tahun 1603 misalnya, pemerintahan Akbar memberi perusahaan dagang Inggris English East India Company (EEIC) selanjutnya menjadi United EIC, hak konsensi untuk membuka kantor mereka di Surat, Bombay, dan Ahmadabad.

Pada 1608 M, orang-orang Inggris mulai berdatangan ke India dan mengajukan permohonan kepada penguasa untuk bisa tinggal di sana. Pada 1611 M Inggris dan pada 1617 M Belanda bahkan diizinkan mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di India.

Sejak 1784, Parlemen Inggris memperluas kewenangan EIC tidak lagi sekadar menjalankan kegiatan dagang, tapi juga melaksanakan kepentingan pemerintahan kolonial Inggris di India. Maka diutuslah para gubernur jenderal yang mewakili kekuasaan politik Inggris di India.

Hal ini terutama ketika Inggris berhasil mengalahkan perang panjang bersama Perancis dalam memperebutkan proyek penjajahan di India dan Amerika. Lalu Inggris berhasil membuat ‘kerjasama’ antara perusahaan dagangnya dengan para penguasa lokal di beberapa wilayah di India, dan diperkuat dengan proyek kristenisasi.

Sementara di dalam wilayah India sendiri, kondisi kekuasaan politik Mughal sedang sangat lemah akibat konflik internal yang makin parah. Juga pihak Inggris berhasil memanfaatkan konflik terselubung antara pihak penguasa Muslim dengan kelompok Hindu, Singh dan Syiah dan merangkul mereka untuk melawan kekuasaan yang sah.

Inggris pun berhasil memberdaya kaum Muslim India dengan mendukung penyimpangan. Mirza Ghulam Ahmad didukung Inggris mendirikan aliran sesat yang mencegah penganutnya melawan penjajahan.

Spirit Jihad

Wajar jika awalnya penjajahan ini terjadi nyaris tanpa perlawanan. Namun bukan berarti spirit jihad pada umat Islam yang lurus sudah benar-benar hilang.

Pada 1857 tampillah seorang bernama Ahmadullah Shah, seorang Muslim taat yang berjuang melawan penjajahan Inggris. Namun meski berhasil memobilisir rakyat dan menjadikan Ayodhya sebagai wadah revolusi, perjuangannya kandas karena pengkhianatan Raja Powayan, Jagannath Singh yang malah membunuhnya.

Pada 1858, pemberontakan berhasil dipadamkan dan EIC pun dibubarkan. Maka wilayah India secara langsung diperintah oleh Mahkota Britania. Lalu pada tahun 1889 India menjadi negara bagian Kerajaan Inggris dengan nama India Britania.

Setelah itu, perlawanan sporadis selalu berhasil dipadamkan Inggris. Terlebih pembesar-pembesar India benar-benar berjalan bersama Inggris. Bahkan ketika Inggris terlibat dalam Perang Dunia I, banyak tentara India yang ikut dalam militer Inggris.

Perlawanan Islam baru mengental lagi saat Inggris berusaha menghapus khilafah Utsmani. Para Ulama India di bawah pimpinan Shaukat dan Muḥammad ʿAlī serta Abul Kalam Azad melakukan pergerakan membela khilafah bernama Gerakan Khilafat. Hanya saja, gerakan ini kemudian melemah sejalan dengan keberhasilan Inggris meruntuhkan khilafah di Turki pada 1924.

Keberadaan gerakan ini setidaknya menunjukkan, bahwa di tengah dominasi penjajahan Inggris yang berlangsung lama ternyata kesadaran akan pentingnya sistem politik Islam dan persatuan di bawah naungan Khilafah cukup terpelihara di benak umat Muslim India.

India di Masa Depan

Meski sejak 1947 dinyatakan merdeka, India tidak benar-benar menjadi negara merdeka. Hingga saat ini, ia tetap ada di bawah bayang-bayang Inggris yang telah berhasil memecah kekuatannya berdasarkan isu agama. Anak Benua India yang dulu kuat di bawah naungan Islam, kini terpecah menjadi beberapa negara bangsa. Masing-masing mereka diadu domba atas nama agama. Bahkan, muslim di India hingga hari ini menjadi objek penderita. Sementara penguasanya dibutakan oleh semangat sektarian yang dihidup-hidupkan demi melanggengkan konflik yang menjauhkan mereka dari kebangkitan. Pada saat yang sama sedang dimanfaatkan negara adikuasa sebagai anjing penjaga di wilayah-wilayah jajahan mereka. Menyedihkan! [MNews]

2 komentar pada “[Tapak Tilas] Islam dan Kaum Muslim di Anak Benua India

  • 1 Desember 2021 pada 06:44
    Permalink

    Dimana2 sutradarax adalah kafir barat

    Balas
  • 30 November 2021 pada 05:51
    Permalink

    Miris sekali,krn nantinya yg akan membayar anak cucuk kita untuk itu sdh saatnya ganti sistim kapitalis menjadi sistim Islam

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.