Mahasiswa Terbelah karena Salah Memahami Basis Ideologi Permendikbud 30/2021

Penulis: Endiyah Puji Tristanti

MuslimahNews.com, FOKUS — Kepedulian mahasiswa terhadap isu Permendikbudristek 30/2021 patut mendapat apresiasi. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat intelektual, mahasiswa memiliki tanggung jawab besar untuk berpartisipasi aktif mewujudkan ketenteraman kehidupan di perguruan tinggi. Lingkungan ideal bagi jalannya proses belajar mengajar yang nyaman, tenang, dan aman  memang sangat dibutuhkan.

Ragam Suara Mahasiswa Terbelah

Namun, sungguh teramat sayang, suara mahasiswa terbelah dalam menyikapi kehadiran Permendikbudristek 30/2021 atau Permen PPKS.[1] Berbeda dengan suara mahasiswa yang cukup solid dalam menolak UU Omnibus Law lalu. Terbelahnya suara mahasiswa (khususnya yang muslim) dalam menyikapi Permen PPKS bukan tanpa sebab. Mahasiswa sampai saat ini belum memiliki kesamaan ideologi (Islam) sebagai basis nilai dalam menelaah suatu peraturan-perundangan.

Kelompok mahasiswa yang mendukung Permen PPKS menggunakan alasan-alasan ideologis. Mereka mengadopsi pemikiran ideologi kapitalisme sekularisme yang menjunjung tinggi komitmen terhadap penegakan nilai-nilai HAM. Mereka memandang masalah seks bebas adalah ranah privat, bagian hak asasi manusia.

Adanya sexual consent membuat aktivitas seksual tersebut tidak tergolong kekerasan seksual dan juga bukan tindak asusila. Oleh karena itu, Permen PPKS ini mereka yakini sebagai aturan pencegahan terjadinya kekerasan seksual. 

Permen ini juga tidak mengatur tindak asusila karena aturan terkait perbuatan asusila sudah ada dalam KUHP. Permen PPKS dibutuhkan sebagai upaya untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Kelompok mahasiswa yang menyatakan Permen PPKS perlu revisi pun sebatas memfokuskan pandangan pada poin “sexual consent” yang bisa menjadi celah bagi legalisasi perzinaan. Bila akhirnya pasal-pasal kontroversi terhapus serta pembahasannya melibatkan dan mengakomodir masukan semua elemen umat, mereka akan menerima.

Adapun sebagian kelompok mahasiswa yang menolak Permen PPKS juga tidak sepenuhnya menggunakan basis ideologi. Mereka menolak karena Permen PPKS telah menyumbang dorongan bagi pengesahan RUU TP-KS yang sudah ditolak oleh kalangan ulama dan masyarakat Islam. Juga karena Permen PPKS lebih mengedepankan kebebasan seksual, serta mengabaikan pandangan umat Islam bahwa hal ini dapat menjadi ancaman kebangsaan.

Baik suara mahasiswa yang setuju dengan revisi maupun menolak, keduanya tidak melihat problem utama Permen PPKS terletak pada sekularisme dengan nilai-nilai HAM yang menjiwai keseluruhan isi Permen ini. Suara mahasiswa yang sangat cair akibat tidak memiliki basis ideologi akan mengantarkan mahasiswa terjebak pragmatisme.

Akibatnya, melalui jalan “dialog bersama” atau “pelunakan” demi menyatukan kepentingan serta karena panjangnya usia perjuangan yang melelahkan, suara mereka sangat mungkin berubah menerima Permen PPKS ini.

Suara Islam Ideologis

Sayupnya suara mahasiswa muslim yang menolak Permen PPKS—karena bertentangan dengan ideologi Islam dan syariatnya—bukan karena pergerakan mereka lemah dan terbatas. Pergerakan mereka sangat masif di tengah mahasiswa, meski suara mereka tidak banyak “di-sounding” media-media mainstream. Aksi mereka nyata dan kehadirannya mewarnai dinamika wacana ideologis di kalangan pemuda.

Gerakan mereka bukanlah gerakan “kaleng-kaleng”. Justru karena mengangkat sudut pandang ideologi Islam yang unik, penolakan terhadap Permen PPKS berbasis nilai ideologi ini mengalami ganjalan budaya kampus yang sangat permisif dan hedonis. Ditambah kebijakan rezim begitu totalitas melakukan deideologisasi pergerakan mahasiswa muslim melalui program deradikalisasi berwujud moderasi agama dan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Walhasil, upaya membumikan ideologi Islam sebagai kaidah dan kepemimpinan berpikir mahasiswa muslim membutuhkan effort yang lebih besar.

Sejatinya, mahasiswa perlu memahami bahwa poin besar isu Permen PPKS terletak pada basis ideologi kapitalisme sekuler yang menjiwai seluruh isi naskah Permen ini. Menolak sebagian isi dan menuntut revisi adalah sama saja membenarkan asas sekularisme yang pasti membuka pintu liberalisme. Permen PPKS hanyalah salah satu produk perundangan yang anti-Islam.

Presiden GEMA Keadilan Dr. Indra Kusumah menilai penggagas Permen PPKS melakukan kesalahan fatal karena tidak mencantumkan pasal 31 UUD 1945 yang memuat nilai dan norma keimanan, ketakwaan. Akibatnya, bila ada dosen atau mahasiswa melakukan edukasi publik bahwa homoseksual melanggar agama, bisa terkategori melakukan kekerasan seksual (menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi gender) sesuai pasal 5 ayat 2 poin (a).[2]

Permen ini lahir juga berlandaskan hasil ratifikasi konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dalam UU 7/1984.[3] Oleh karenanya, wajar ketika dalam memberikan definisi kekerasan seksual, pengusung Permen PPKS senantiasa menyelaraskan dengan hukum internasional yang berdasarkan HAM.

Akibatnya lagi, adanya “sexual consent”, yakni seseorang menyatakan persetujuannya terhadap interaksi seksual dengan batasan umur[4], membuat pelakunya tidak terkategori pelaku kekerasan seksual.

Dengan demikian, Permen PPKS sebagai upaya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual hanyalah narasi palsu kaum liberalis dan feminis untuk mengelabui kemurnian perjuangan mahasiswa muslim. Bahkan, dengan licik mereka menuduh pihak-pihak yang melucuti tujuan ideologis mereka sebagai kaum “mabuk agama” yang tidak ingin melindungi korban kekerasan seksual di kampus. Target mereka adalah agar muncul defensive apologetic mahasiswa, kemudian berdiri bersama mereka mendukung liberalisasi kampus.

Tanggung Jawab Agama dan Tanggung Jawab Intelektual

Mahasiswa yang terlibat dalam polemik Permen PPKS dengan mengabaikan muatan ideologi sekuler liberal yang menjiwainya hanya akan menjadi “pelicin” dan “tameng” kepentingan kaum liberalis dan feminis. Kaum perusak ini tidak akan pernah setuju membahas peraturan perundangan untuk mencegah dan menghapus seks bebas di kampus. Padahal, jumlah dan dampak akibat pergaulan bebas jauh lebih banyak daripada jumlah kasus kekerasan seksual sesuai definisi mereka.

Setiap tahunnya, jumlah kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta, 30% di antaranya dilakukan para remaja (KTD). Lebih dari 50% dari penderita HIV/AIDS menimpa kelompok usia 19—25 tahun dengan kondisi yang makin mengkhawatirkan. Sekitar 28,5% para remaja telah melakukan hubungan seksual sebelum nikah.[5]

Lantas, bagaimana mungkin mahasiswa muslim latah menyerukan penghapusan kekerasan seksual di kampus, tetapi pada saat yang sama tidak bersuara lantang menuntut penghapusan pergaulan bebas di kampus? Padahal, Islam sangat jelas menghendaki kemuliaan dan kehormatan laki-laki maupun perempuan di masyarakat, termasuk di lingkungan kampus

Oleh sebab itu, mahasiswa muslim, terutama para aktivis, harus membiasakan diri berpikir secara mendasar dan menyeluruh dalam merespons setiap peristiwa, khususnya peristiwa politik. Menyebarnya seks bebas dan kekerasan seksual di kampus adalah bagian dari peristiwa politik. Lahirnya semua peraturan-perundangan produk dari proses politik juga bagian dari peristiwa politik. Menilai berbagai peristiwa politik tanpa menggunakan cara pandang ideologi jelas mustahil.

Masalahnya, ideologi apa yang akan mahasiswa muslim pakai dalam membedah sebuah peristiwa politik untuk memahami hakikat yang terkandung di dalamnya; serta untuk menilai apakah peristiwa politik akan mengangkat kehidupan kaum muslimin ataukah justru sebaliknya, menghancurkan kehidupan mereka dan makin membawa keterpurukan?

Yang mampu menjawab semua itu, apa lagi kalau bukan ideologi Islam? Ideologi batil, baik kapitalisme atau sosialisme, mustahil mampu mengantarkan pemikiran mahasiswa agar mendapatkan rida Allah Swt.. Ini semua merupakan tanggung jawab agama dan tanggung jawab intelektual seorang mahasiswa muslim.

Satu Ideologi Beragam Pergerakan

Beragam gerakan mahasiswa muslim adalah khazanah kekayaan umat yang lahir dari Ideologi Islam. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS Ali Imran: 102—103)

Beragam pergerakan mahasiswa muslim seharusnya mampu memberikan kontribusi besar pada proses penyadaran umat untuk kembali pada tali (agama) Allah. Yakni pengikat hakiki atas pemikiran dan perasaan umat untuk tunduk pada seluruh perintah dan larangan syariat.

Ikatan ini adalah ideologi Islam. Ikatan ini lebih layak untuk menyatukan perjuangan mahasiswa. Tidak layak menyandingkan kesepakatan internasional berdiri sejajar dengan syahadat seorang muslim kepada Allah Swt.. Menyandingkan keduanya bisa menjadi indikasi kemusyrikan seorang hamba di hadapan Rabb-nya.

Dengan demikian, beragam gerakan mahasiswa muslim perlu menundukkan egoisme masing-masing kelompok untuk duduk bersama membicarakan perkara yang paling penting untuk saat ini, yaitu cara memenangkan ideologi Islam dan menundukkan ideologi lain dalam hati dan benak seluruh mahasiswa muslim.

Sudah saatnya aktivis mahasiswa muslim mengukir sejarah emas abad ini dan menjadi penggerak utama lahirnya kembali peradaban Islam di muka bumi. Wallahualam. [MNews/Gz]

Referensi:

[1] https://news.detik.com/berita/d-5815353/ragam-suara-mahasiswa-soal-permen-ppks-isu-seks-bebas-jadi-sorotan

[2] https://www.republika.co.id/berita/r2oryg483/permendikbudristek-ppks-penyelewengan-terhadap-konstitusi

[3] salinan_20211025_095433_Salinan_Permen 30 Tahun 2021 tentang Kekerasan Seksual

[4] https://nasional.kompas.com/read/2021/11/13/15233421/kontroversi-permen-ppks-komnas-ham-sebut-consent-penting-untuk-membuktikan?page=all

[5] https://nasional.kompas.com/read/2009/02/16/11310897/23.juta.kasus.aborsi.per.tahun.30.persen.oleh.remaja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.