Pada Hari Kiamat, Manusia Tidak Mampu Berargumentasi Mengapa di Dunia Tidak Menerapkan Syariat Islam (Tafsir QS An-Nahl: 89)
Penulis: Ustazah Rohmah Rodhiyah
MuslimahNews.com, TAFSIR AL-QURAN –
وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Islam.” (QS An-Nahl: 89)
Maret merupakan bulan duka bagi kaum muslimin yang tidak bisa terlupakan, yaitu hilangnya institusi Islam, Khilafah Islamiah. Secara historis, Khilafah sudah tegak selama 13 abad dan memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu lebih dari 2/3 dunia. Barat berhasil menghancurkannya secara resmi bulan Maret tahun 1924 dan memecah belah menjadi 50 negara lebih.
Masa kepemimpinan Rasulullah saw. berlangsung di Madinah selama 10 tahun (622—632 M). Masa Khulafaurasyidin berlangsung 29 tahun (632 M – 661 M). Masa Khilafah Bani Umayah berlangsung sekitar 89 tahun. Masa Khilafah Bani Abbasiyah berlangsung sekitar 549 tahun. (Imam As Suyuthi, Tarikh Khulafa’ [Sejarah Khulafaurasyidin, Bani Umayah, dan Bani Abbasiyah], Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005).
Selanjutnya Khilafah Utsmaniyah tegak sampai 1924 M. Wilayahnya mencapai 2/3 dunia, meliputi sebagian Asia, Afrika, dan Eropa (Dr. Ali Muhammad ash Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2004).
Dengan Khilafah Islamiah, seluruh hukum Islam bisa diterapkan, karena tujuan tegaknya Khilafah adalah untuk menerapkan hukum Islam secara sempurna. Sebagai umat Islam, kita harus menjadikan syariat Islam sebagai pedoman saat beraktivitas dalam seluruh urusan kehidupan, baik urusan dunia maupun akhirat. Yakni menjadikan syariat Islam sebagai pedoman saat beribadah, makan-minum, bergaul, berekonomi, berhukum, berpolitik, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara (Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fi Al Fikri Al Islamiyah, Aman: Darul Bayariq, 1990).
Manusia membutuhkan aturan yang benar, aturan yang dibuat oleh Allah Yang Maha Benar. Kenapa demikian, karena aturan kalau dibuat oleh manusia tidak ada jaminan kebenarannya dan bebas dari berbagai kepentingan. Karenanya tidak ada jaminan bahwa aturan itu benar dan menguntungkan bagi semua manusia. Berbeda jika aturan dibuat oleh Allah yang tidak mempunyai kepentingan terhadap dunia, sehingga aturan itu mampu menguntungkan semua umat manusia.
Perhatikan dunia Islam tanpa Khilafah, tidak ada satu negara pun yang mampu menerapkan syariat Islam secara kafah. Negara tidak mampu melindungi kaum muslim dari penderitaan. Penderitaan terjadi di mana-mana, di India, Uighur, Palestina, dan lain-lain.
Lebih parah lagi, kaum muslimin merasa sah-sah saja saat negara mengurusi kehidupan dunia menurut aturan buatan mereka sendiri, dan bahkan buatan orang kafir. Sedangkan syariat Islam hanya dipakai untuk mengurusi urusan akhirat. Hal ini dianggap wajar-wajar saja, seakan-akan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an menjelaskan dalam QS An-Nahl ayat 89.
وَنَزَّلْنا عَلَيْكَ الْكِتابَ تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Imam Jalaluddin menafsirkan, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu berupa syariat Islam yang dibutuhkan manusia dan petunjuk dari kesesatan.’ (Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, QS An-Nahl ayat 89)
Sedangkan Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu. Ibn Mas’ud berkata, ‘Allah menjelaskan di dalam Al-Qur’an seluruh pengetahuan atas segala sesuatu. Mujahid berkata, ‘(Seluruh pengetahuan) berkaitan dengan setiap yang halal dan setiap yang haram. Sesungguhnya Al-Qur’an meliputi semua pengetahuan yang bermanfaat berupa kabar yang terdahulu dan kabar yang akan datang, dan setiap yang halal dan haram, dan apa yang dibutuhkan manusia dalam mengurus urusan dunianya, agamanya, kehidupannya, tempat kembalinya–akhirat.'” (Imam Ali Ash Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsir, QS An-Nahl ayat 89, Beirut-Libanon: Dar Al-Qur’an’an Al-Karim).
Akibat tidak diterapkannya syariat Islam, kehidupan menjadi tidak berkah, tidak mendatangkan kesejahteran, karena sebenarnya manusia itu membutuhkan aturan yang benar dan ada jaminan bahwa dengan menerapkannya akan mendapatkan rahmat dan kesejahteraan dunia-akhirat. Artinya dengan menerapkan seluruh hukum Islam akan mendatangkan solusi atas permasalahan dan mampu mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, serta terhindar dari krisis/penderitaan dunia. Dan di akhirat akan mendapatkan kebahagiaan di surga dan terhindar dari neraka.
Firman Allah QS An-Nahl ayat 89,
وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ
“Dan (Al-Qur’an) sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang Islam.”
Ibn Abbas menjelaskan, “Bahwa Al-Qur’an sebagai petunjuk dari kesesatan serta rahmat dari azab dan kabar gembira dengan surga bagi orang-orang Islam.” (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir QS An-Nahl ayat 89).
Sekularisme menjadikan kaum muslimin mempunyai dalih untuk tidak menerapkan hukum Islam dalam mengurus urusan kehidupan dunia. Argumentasi yang mereka sampaikan pun bermacam-macam. Sebagian mengatakan apa yang mereka lakukan sudah sesuai dengan hadis, “antum a’lamu bi umuriddunyakum (Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian).”
Padahal hadis itu tentang teknik penyerbukan, tentu saja diserahkan kepada ahli penyerbukan kurma, bagaimana memilih teknik penyerbukan yang paling efektif dan produktif. Ada juga yang berdalih bahwa hukum Islam diterapkan dalam bingkai Khilafah itu histori masa lalu dan tidak lagi relevan dengan zaman sekarang. Sebagian berdalih Khilafah tidak mempunyai sistem pemerintahan yang baku dan akan memecah belah bangsa, dan lain-lain.
Memang benar, selama mereka masih hidup di dunia, mereka masih bisa berdalih dengan berbagai macam argumentasi, dari argumentasi yang seakan-akan syar’i dan intelektual, sampai yang asal ngomong, bahkan memakai jurus mabuk. Namun ingatlah bahwa pada hari kiamat, saat manusia dibangkitkan di akhirat kelak, manusia sudah tidak bisa berargumentasi lagi. Pada saat itu para rasul sebagai saksi bahwa syariat Islam yang diturunkan Allah telah disampaikan kepada manusia.
Firman Allah QS An-Nahl ayat 89,
” وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٖ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ”
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia.”
Imam Mawardi dan Imam Qurtubi menafsirkan sama, yaitu, “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi, yaitu para nabi sebagai saksi atas umat-umat mereka pada hari kiamat. Pada setiap zaman ada saksi. Jika tidak ada nabi, ada pengganti. Ada dua pendapat: Pertama, penggantinya adalah pemimpin kaum muslimin yang mendapatkan petunjuk, yaitu para Khalifah. Kedua, penggantinya adalah para ulama yang Allah menjaganya karena mereka istikamah menerapkan syariat Nabi Muhamad saw., yakni syariat Islam (Tafsir Al Qurtubi dan Tafsir Al Mawardi, QS An-Nahl ayat 89).
Adapun Imam Alqaththan menafsirkannya, “Dan pada hari kiamat Kami (Allah) kumpulkan manusia, dan Kami akan datangkan dari setiap umat saksi yang menyaksikan mereka atau atas mereka bahwa mereka telah menerima rasul-rasul Kami. Pada hari Kiamat tidak didengar/tidak diterima lagi alasan-alasan apa pun dari orang-orang kafir, tidak diterima uzur yang mereka sampaikan. Sebagaimana firman Allah QS Al-Mursalat: 35—36 yang artinya, “Ini adalah hari, yang mereka tidak dapat berbicara (pada hari itu). Dan tidak diizinkan kepada mereka minta uzur…” (Al Qaththan, Tafsir Al Qaththan, QS An-Nahl ayat 89).
Dengan demikian sudah selayaknya kaum muslimin bergegas/lari kepada Allah, mumpung masih hidup. Bersegera menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya untuk menerapkan syariat kafah dalam bingkai Khilafah. An-Nawawi mengatakan, “Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa kaum muslimin wajib mengangkat seorang khalifah.” (Syarh Shahih Muslim: 12/205). [MNews/Rgl]
Sumber: