[News] Intelektual Muslimah Tolak Legalisasi Kebebasan Seksual
Permendikbud 30/2021 mengajak pada kemungkaran, jadi harus ditolak.
MuslimahNews.com, NASIONAL—Petisi menolak legalisasi kebebasan seksual di lingkungan perguruan tinggi menjadi kesepakatan banyak peserta yang hadir pada Focus Group Discussion (FGD) Muslimah Intelektual Indonesia, Sabtu (20/11/2021), akibat diterbitkannya Permendikbud 30/2021 yang mengajak pada kemunkaran.
“Seorang ulul albab adalah orang-orang yang mampu menunjukkan perkara hak dan batil. Sedangkan, Permendikbud ini mengajak pada kemungkaran, jadi harus ditolak,” tegas Indira, salah satu pembicara pada FGD tersebut.
Acara yang dihadiri lebih dari 300 muslimah intelektual dari berbagai daerah se-Indonesia ini berdiskusi membahas Permendikbud 20/2021 yang kontroversial. Sebagaimana disampaikan salah satu dosen dari Surabaya Nida Sa’adah, S.E., M.E.I., Ak. bahwa adanya kasus kekerasan seksual merupakan potret buram pendidikan tinggi saat ini.
“Kampus yang seharusnya menjadi tempat dikembangkannya ilmu malah menampilkan cerita yang memalukan. Tradisi keilmuan yang mewajibkan menganalisa masalah secara mendalam, ternyata tidak tampak dalam menyolusi kekerasan seksual yang terjadi. Aturan ini sangat reaktif, seharusnya insan pendidikan tinggi terbiasa melihat permasalahan dengan menganalisa dan mengenal masalah terlebih dahulu. Terlihat problem ini tidak dianalis karena fokusnya pada ‘jangan ada kekerasan’ dengan standar pelanggaran dikembalikan pada setuju tidaknya perempuan sebagai “korban”,” kritiknya.
Aturan Sekuler
Ia menggambarkan dalam penerapan Islam, melejitnya ilmu diiringi dengan amal perbuatan yang semakin baik. “Sayangnya dunia pendidikan tinggi tidak mau menggunakan agama, tetapi justru yang dipakai aturan sekuler. Melejitnya ilmu saat ini tidak dibarengi dengan amal dan selesainya problem di masyarakat. Dunia pendidikan tinggi saat ini dirancang oleh kapitalis sehingga tidak linear dengan amal dan manfaat ilmu,” ungkapnya.
Bahkan, pakar hukum pidana Nurul Nisa mengibaratkan Permendikbud 30/2021 seperti ekor, tanpa badan dan kepala. “Perbuatan dikatakan sebuah pelanggaran atau tidak, hanya dengan standar mengacu pada “persetujuan”, bukan menilai apakah perbuatan itu baik atau tidak, contohnya perbuatan memperlihatkan kelamin. Harusnya sudah bisa dipahami sebagai perbuatan yang tidak baik. Tidak perlu diikuti dengan apakah yang bersangkutan setuju atau tidak,” cetusnya.
Belum lagi, ia melanjutkan, aturan ini hanya melarang perbuatan yang dilakukan di lingkungan kampus, maka akan sangat mudah “mengakali” aturan untuk melakukan perbuatan yang dilarang tersebut di luar kampus. “Sangat terlihat aturan ini bersumber dari ideologi kebebasan. Jadi, menyetujuinya sama seperti menyediakan karpet merah masuknya kebebasan seksual dan tersingkirnya nilai- nilai agama,” tegasnya.
“Tsunami” Penolakan
Sementara itu, pakar hukum Islam dari Surabaya Fiska Silvia mengkritisi pembuat kebijakan yang berdalih jika aturan ini telah melalui serangkaian prosedur dan juga uji publik. “Nyatanya mengapa tidak terjadi harmoni dan malah muncul “tsunami” penolakan? Apalagi, hal yang aneh dalam Permendikbud ini adalah tidak sinkronnya masalah dan solusi, seperti ancaman penurunan akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak menerapkan aturan ini. Akibat tindakan asusila segelintir orang, justru akan membuat semua civitas akademika ikut dihukum karenanya. Jelas hal seperti ini tidak solutif,” ulasnya.
Konsep Gender
Selain itu, pembicara lainnya Yeni Kusumawaty mengungkap adanya narasi bahwa perempuan memiliki hak penuh terhadap dirinya (my body my authority). “Pemahaman ini berasal dari konsep gender, sebaliknya muslimah terikat dengan aturan Allah. Hendaknya kita belajar dari mereka yang mengagungkan kebebasan ini. Australia yang menerapkan konsep persetujuan, ternyata 1 dari 5 pelajarnya mengalami pelecehan dan kekerasan seksual (penelitian pada 2015 terhadap 40 ribu pelajar –penj.). Sudah terlihat bahwa konsep ini tidak juga berhasil menghilangkan kekerasan seksual,” urainya.
Ironinya, salah seorang pembicara dr. Faizah mengemukakan ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa aturan agama itu tidak down to earth. “Ini tuduhan yang tidak berdasar, menunjukkan ketidakpahaman dan minimnya literasi terhadap tsaqafah dan peradaban Islam,” ujarnya.
Islam Solusi
Ia menegaskan hanya Islam solusi yang memiliki aturan sangat lengkap dan rinci, serta terbukti dapat menyelesaikan persoalan yang muncul dan juga mewujudkan kehidupan yang mulia, baik laki-laki maupun perempuan. “Jika Permendikbud ini dianggap sangat solutif karena diambil dari perspektif korban, maka berbeda halnya dengan Islam. Aturan Islam dibuat dari perspektif Al-Hakim yang memahami manusia, laki-laki dan perempuan. Standar yang dikatakan baik dan buruk di dunia akan sama dengan standar di akhirat nanti. Jadi, berbeda pada basisnya, yakni manusia adalah makhluk Allah yang wajib terikat dengan aturan Allah,” terangnya.
Ia menambahkan, Islam juga memandang persoalan secara holistik, tidak bias untuk laki-laki saja atau perempuan saja. “Aturan Islam juga bersifat preventif, promotif, kuratif, holistik. Tidak kemudian ada persoalan, baru dipikirkan aturannya. Dalam sejarah peradaban Islam, tidak ditemukan kasus memalukan seperti sekarang ini. Lembaga pendidikan harusnya memberikan jaminan kepada pencari ilmu agar fokus mencari ilmu sekaligus terjaga kehormatannya,” jelasnya.
Di akhir acara, pembicara lainnya, Indira menyampaikan bagaimana seharusnya intelektual menyikapi hal ini. “Sebagai muslim, ada tatanan dalam berpikir dan berperilaku yang distandarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Diskusi ini mestinya tidak berhenti di FGD, tetapi disebarkan kepada intelektual lainnya,” tandasnya.
Petisi
Mengutip dari hasil FGD tersebut, terdapat petisi “Intelektual Muslimah Indonesia Tolak Legalisasi Kebebasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi” yang menyatakan terdapat kontroversi yang mewarnai Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Permendikbud) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Permendikbud ini memuat pasal-pasal multitafsir yang diduga kuat berpotensi memuluskan terjadinya kebebasan seksual atas nama “persetujuan“ dan “tanpa paksaan”.
Ditulisnya, Permendikbud ini juga menjadi bukti gelap dan pudarnya marwah Pendidikan Tinggi hari ini yang justru menjadi tempat suburnya pandangan dan praktik amoral seperti pelecehan seksual. “Bahkan, lebih jauh Permendikbud ini juga menjadi ajang pertarungan ideologis antara pengusung sekularisme liberalisme dengan mereka yang menginginkan kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai moral spiritual,” ungkapnya.
Belum lagi, lanjutnya, ada ancaman bernada represif terhadap kampus yang tidak menindaklanjuti Permendikbud ini yang telah memaksa arah keberpihakan intelektual melenceng dari idealisme moral-spiritual, kebenaran, kehati-hatian, juga misi menyelematkan pendidikan dan generasi dari kerusakan. “Alhasil, alih-alih menyelesaikan masalah, peraturan ini justru berpotensi menimbulkan berbagai masalah baru,” tegasnya.
Dijelaskannya, berbeda dengan kualitas perguruan tinggi dalam sistem Islam. “Problem pelecehan dan kebebasan seksual jelas bukan fenomena yang terjadi dalam lembaga keilmuan Islam. Sistem Pendidikan Islam yang dibangun atas dasar keimanan, melahirkan ilmu dan amal saleh tidak hanya bagi personal pemiliknya, namun juga masyarakatnya. Lahirnya para intelektual dan generasi unggul yang memadukan prestasi keilmuan, ketinggian akhlak, juga keberanian dalam membela dan menyampaikan kebenaran adalah output-nya. Dengannya, tidak hanya mereka yang tertunjuki, tetapi masyarakat pun mereka jaga dari kehancuran,” cetusnya.
Karenanya, dalam petisi ini pun para intelektual muslimah memerinci pernyataannya.
Pertama, menolak legalisasi kebebasan seksual dan kekerasan seksual dalam bentuk apa pun dan di mana pun termasuk di lingkungan pendidikan tinggi.
Kedua, sekularisme dalam sistem pendidikan, termasuk pendidikan tinggi adalah sumber masalah.
“Sekularisme telah menjadikan Ilmu tidak sejalan dengan amal serta kosong dari keimanan. Mekanisme penyelesaian masalah pelecehan seksual berdasar sekularisme liberalisme yang diberikan, justru berpotensi menumbuhsuburkan perilaku seksual bebas,” kritiknya.
Ketiga, Pendidikan Tinggi harus kembali menjadi tempat para intelektual memberikan sumbangan terbaiknya dalam ilmu dan amal shalih yang dapat menyelamatkan dan menyelesaikan problematika ummat. “Harapan tersebut hanya akan terwujud dengan melakukan format ulang sistem pendidikan tinggi dengan Islam yang sesuai dengan fitrah dan akal sehat manusia,” tukasnya.
Keempat, penerapan Islam kafah dengan format kenegaraan yang kompatibel (Khilafah Islam) itulah yang akan menyelesaikan segala permasalahan kehidupan, termasuk problematika yang menimpa dunia pendidikan tinggi dengan solusi yang sahih.
Kelima, menyerukan agar setiap intelektual muslim menolak kebijakan berbasis sekularisme liberalisme yang terbukti gagal menyelesaikan persoalan masyarakat. “Sebaliknya, agar mendukung setiap upaya mengembalikan penerapan Islam kafah dalam bingkai Khilafah Islam sebagai solusi persoalan umat,” pungkasnya.[MNews/Vid-Ruh]
Hanya islam solusi persoalan membelenggu umat saat ini atau yang akan datang
Akhirx direzim ini terakumulasi serangan kafir barat tampak jelas menggolakan makaudnya yg sdh lama pada umat