BeritaInternasional

[News] Ketegangan AS-Cina, Pengamat: Tidak Ada Kebaikan pada Keduanya

Umat Islam yang berada dalam ketegangan ini harus bisa menjadi umat yang kuat, bersatu, dan membebaskan dunia dari perampasan kekayaan.

MuslimahNews.com, INTERNASIONAL—Ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Cina dalam pandangan pengamat politik internasional Umar Syarifuddin, tidak ada kebaikan pada keduanya bagi umat manusia.

“Tidak ada kebaikan bagi umat manusia dari ketegangan AS-Cina, baik berpihak kepada AS maupun Cina.  Tentu saja kedua blok ini telah tampak kejahatan dan kezalimannya, khususnya kepada umat Islam,” urainya pada “Analisis di Balik Pertemuan Virtual Biden dan Xi Jinping” di YouTube Khilafah News, Kamis (18/11/2021).

Ia mengatakan, saat masuk ke tampuk kekuasaan, Biden menyatakan bahwa kalau tidak bergerak, maka mereka akan memakan makan siang kita. “Akhirnya, kita melihat Biden sebagaimana Trump, melakukan kebijakan yang keras terhadap Cina. Bahkan, memusatkan perhatiannya kepada Cina ini melebihi terhadap Rusia dan Uni Eropa,” jelasnya.

Ia menyampaikan AS secara intensif membuat blok baru dan memperbarui blok lama. “Blok lama seperti QSD, NATO dan blok baru seperti AUKUS. Blok-blok ini digunakan untuk menjadi benteng dari pengaruh Cina dan menggertak Cina agar Cina memilih sikap melunak kepada AS,” ujarnya.

Meskipun demikian, menurutnya, dari hari ke hari, Cina terus mengambil sikap tegas yang terlihat baik dari dialog Xi Jinping maupun pernyataannya yang menolak campur tangan AS dalam masalah internalnya. “Secara berani Cina berusaha menghadapi AS dengan menuduhnya melanggar HAM baik di dalam negeri maupun luar negeri, termasuk memaksakan hegemoninya terhadap negara lain. Juga memeras negara lain dengan tradisi kemunafikan yang ada di politik AS,” katanya.

Konfrontasi Terbuka

Ia menyatakan AS mencari celah dalam berbagai konfrontasi dan konferensi terbuka di mana AS tidak lagi membatasi diri dalam menyembunyikan diskusi di media bahwa Cina merupakan ancaman global. “Biden pun terus meningkatkan kewaspadaan terhadap komunis di Cina, serta perbedaan budaya dan nilai. AS secara serius memperluas konflik bilateral menjadi konflik peradaban dan ideologi. AS dapat dikatakan memimpin dunia kapitalis untuk menghadapi Cina dan mengepung Cina dari berbagai sisi termasuk menekan negara-negara Eropa untuk mengurangi hubungan dengan Cina dan membatalkan beberapa perjanjian perdagangan dan pertukaran teknologi,” ulasnya.

Baca juga:  Jurus Terbaru Cina Hantam Ekonomi Amerika

Ia mencontohkan AS pernah menekan Inggris untuk membatalkan perjanjian dengan Huawei dalam jaringan 5G. “Juga memberi tekanan kepada negara Eropa lainnya, seperti kepada Prancis yang berusaha mendekati Cina. AS memperlihatkan siapapun negara yang ingin mendekati Cina atau membangun hubungan bilateral yang cukup baik dengan Cina tentu akan menghadapi bahaya, yaitu tekanan dan intervensi AS,” paparnya.

Ia mengemukakan AS terus melakukan berbagai strategi dan kerja sistematis untuk mengajak dunia menghadapi Cina baik melalui konferensi maupun perjanjian-perjanjian regional, temasuk Putin untuk melawan Cina.

“AS tidak lagi menahan diri untuk menghadapi Cina secara lunak, tetapi melakukan kebijakan yang konfrontatif, berusaha membatasi kemampuan Cina, dan memaksakan hegemoni AS di kawasan Indo-Pasifik, khususnya di Laut Cina Selatan,” ungkapnya.

Pertemuan Hegemonik

Menurutnya pertemuan Xi Jinping dan Biden beberapa waktu lalu merupakan pertemuan hegemonik.  “Dengan standar gandanya AS ingin memaksakan kehadiran dan pengaruhnya terhadap negara-negara di daratan Cina agar menurunkan permusuhannya dan sikap perlawanannya kepada AS, walaupun Cina menggunakan kebijakan yang terbuka untuk menantang AS,” terangnya.

Sementara itu, ia menilai, Cina hari ini melakukan berbagai perlawanan kepada AS dari sisi politik dan ekonomi, tetapi tidak dengan militer. “AS melihat Cina belum cukup atau belum memiliki kemampuan militer yang setara dengan AS. Cina juga merasa kesulitan. Untuk merebut Taiwan saja, Cina kesulitan. Apalagi untuk menghadapi AS yang kita ketahui memiliki sekutu yang banyak sekali dan mengepung Cina dari berbagai lini,” bebernya.

Ia menyatakan Cina saat ini belum memiliki kemauan politik yang cukup tinggi untuk menantang Amerika. “Ini akan bertahan beberapa waktu ke depan. Cina cukup menyadari bahaya yang mengancam negara tersebut. Karenanya, berusaha memikat India, Rusia, Prancis, Inggris dengan berbagai iming-iming kerja sama. Seperti dengan Rusia, Cina menawarkan investasi meski dengan cukup hati-hati, melakukan latihan militer bersama, dan memberi suara yang sama di PBB. Hal ini dilakukan untuk mencegah AS menggunakan Rusia menentang Cina,” cetusnya.

Cina-Rusia

Ironinya, ia mengatakan, pandangan bermusuhan dari pihak Rusia sendiri cukup bercokol di benak politisi Cina. “Hubungan ini menjadi semu. Rusia melihat Cina dengan penuh kebencian dan kecemburuan karena melihat ekonomi Cina begitu meningkat sementara ekonomi Rusia tidak signifikan pertumbuhannya. Di sisi lain, Cina menyadari bahwa permusuhan kepada AS ini cukup menakutkan sehingga jika AS menggunakan isu Uighur atau Taipei, maka Cina merasa komunitas internasional cukup mempersempit gerak-gerik Cina,” jelasnya.

Baca juga:  Kepentingan Amerika di Balik Penetapan Indonesia menjadi Negara Berpenghasilan Menengah ke Atas

Akibatnya, ia menambahkan, Cina harus melakukan berbagai cara untuk menghentikan politik isolasi yang sedang dilancarkan AS. “AS sendiri berusaha mengisolasi Cina agar tidak berambisi melakukan ekspansi militer maupun politik. Tindakan Beijing yang secara dramatis meningkatkan operasi udara dan laut di dekat Taiwan, sebagai studi kasus, memantik AS untuk memanaskan situasi dan menjadi kesempatan bagi AS membawa isu Taiwan ke isu internasional. Diharapkan citra baik menurut persepsi Cina, akan hancur di mata internasional,” ulasnya.

Hanya saja, ia menjelaskan, Xi Jinping juga melawan balik dengan mempersiapkan serangan opini untuk merusak moral publik, khususnya pandangan terhadap AS. “Namun kemudian diserang balik oleh media-media AS yang mengkritik dan berusaha menekan Cina. AS tidak cukup berpuas diri hanya sebatas diplomasi dan pakta pertahanan, tetapi AS kemudian berusaha makin memperkuat pertahanan di sekeliling wilayah Cina dengan kepungan-kepungan yang cukup membuat Cina panik,” paparnya.

Ia melihat tren politik AS adalah selalu bekerja dengan serius, seperti saat mengalahkan Uni Sovyet. “AS melihat kedekatan Rusia dengan Cina, maka AS berusaha memisahkan keduanya. Bahkan, malah menggunakan Rusia untuk melawan dan menghadapi Cina. AS terus berusaha melemahkan kekuatan Cina karena itu bagian dari kekhawatiran AS. Akibatnya, AS terus memantau kedekatan hubungan Rusia dan Cina, dan berusaha menjauhkan kedekatan keduanya sebagai langkah mengisolasi dan melemahkan Cina,” ungkapnya.

Artinya, ia melanjutkan, AS selalu menggunakan negara lain untuk memukul negara sasarannya. “Siapapun bisa menyadari, persoalan internasional bagi AS yang utama saat ini adalah kebangkitan Cina yang memungkinkannya menjadi raksasa dan mengancam keadidayaan ekonomi dan politik AS di dunia. Ditambah lagi belanja militer Cina terus meningkat drastis, melebihi total gabungan belanja Inggris, Prancis, dan Jerman. Program militer Cina sendiri bersifat rahasia karena itu Cina menjadi perhatian utama bagi politisi AS. Tampak dari berbagai pernyataan perjabat AS akhir-akhir ini semua difokuskan dan diorientasikan untuk menghadapi Cina dan berbagai kemungkinan Cina melakukan militerisasi lebih lanjut. Jadi, AS saat ini sedang transisi dari wilayah Timur Tengah ke arah Timur yaitu persoalan Indo-Pasifik, untuk menghadapi Cina,” bebernya.

Baca juga:  Cina Tegaskan Kembali Sikap Anti-Muslimnya atas Isu Rohingya

Menyibukkan Cina

Selain itu, ia mengungkapkan, AS berusaha merevisi tujuan-tujuan dan strategi politiknya yang diarahkan untuk menjauhkan tampilnya Cina sebagai kekuatan regional. “Kemudian, menghalangi Cina untuk mengubah aspek apa pun dalam sistem internasional yang membuat Cina bisa mengalahkan Barat. AS berusaha mengerdilkan dan membonsai seluruh potensi Cina, misalnya mengungkit pelanggaran HAM di Tibet, krisis Taipei, Turkistan Timur, dan persoalan HAM di Hongkong. AS berusaha menekan dan menyibukkan Cina dengan berbagai krisis di negara tetangga Cina, seperti krisis Korea Utara, pertikaian regional di Laut Cina Selatan antara Cina-Malaysia, dan Cina-Filipina atau di Laut Cina Timur antara Cina-Korea Selatan, dan Cina-Jepang,” jelasnya.

Ia menyatakan, AS juga berusaha menyibukkan Cina dengan konflik perbatasan, misalnya antara Cina-India. “Jadi, ini bagian strategi rancangan AS untuk menyulitkan langkah-langkah Cina dan menekan ambisi Cina, juga melemahkannya sehingga AS akan berusaha mengecilkan kemungkinan-kemungkinan buruk ketika Cina berusaha melawan AS secara militer,” sebutnya.

Ia berpendapat, AS berusaha mengerahkan upaya yang paling maksimal untuk membatasi kemampuan Cina dalam memimpin teknologi, ekonomi , militer, dan lainnya. “AS berusaha menarik dunia untuk ke kutub AS, bukan ke kutub Cina ataupun Eropa, termasuk dalam hal teknologi dan perdagangan,” urainya.

Reaksi Cina

Cina sendiri, ia melanjutkan, bereaksi atas berbagai rancangan AS untuk melemahkan negaranya. “Beijing tentu akan bertindak sesuai kadar kemampuannya, mengingat AS hari ini melihat Beijing sebagai negara yang terus tumbuh dan kuat. Jadi, di titik tertentu AS harus menekan Cina lebih kuat,” katanya.

Bahaya

Ia pun mengingatkan umat Islam yang berada dalam ketegangan ini harus bisa menjadi umat yang kuat, bersatu, dan membebaskan dunia dari perampasan kekayaan. “Membebaskan diri dari orang-orang zalim ini yang terus mengisap darah, energi, kekayaan, dan memaksakan hegemoninya kepada dunia Islam. Umat Islam harus menyadari adanya bahaya laten ideologi kapitalisme, baik kapitalisme Barat maupun Timur yang terus merongrong dunia muslim saat ini,” tandasnya.[MNews/Ruh]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *