Menakar Urgensi Parenting Kebangsaan

Penulis: Juanmartin, S.Si., M.Kes.

MuslimahNews.com, OPINI — Parenting kebangsaan belakangan menyeruak. Sebagaimana namanya, “parenting kebangsaan” ini muncul dengan tujuan untuk menanamkan rasa nasionalisme kepada anak-anak sejak dini dari lingkungan keluarga. Kegiatan parenting kebangsaan ini melibatkan orang tua dan anak-anaknya.

Di Yogyakarta, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Yogyakarta menggandeng Kampung KB di tiap kelurahan untuk mengenalkan parenting kebangsaan ini. Segala hal yang diperlukan dalam memasifkan parenting kebangsaan ini telah siap, seperti modul yang disusun oleh akademisi dan psikolog.

Untuk evaluasi parenting kebangsaan, pihak Kesbangpol telah menyiapkan Kartu Menuju Kebangsaan alias Si Kumbang. Si Kumbang ini untuk orang tua bawa ketika ada pertemuan sehingga pengajar bisa mengetahui kemampuan anak.

Bergandengan dengan Proyek Deradikalisasi

Beberapa tahun terakhir, upaya menumbuhkan rasa nasionalisme memang senantiasa terdengar. Jika merunut ke belakang, tidak kita mungkiri isu ini sejalan dengan opini deradikalisasi yang pemerintah canangkan. Pasalnya, pemerintah memandang sikap radikal sebagai pemicu terkikisnya paham kebangsaan.

Dampaknya, muncul anggapan sikap radikal wajib dicegah melalui upaya deradikalisasi dan berbagai langkah taktis dalam rangka menumbuhkan semangat kebangsaan.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika kita menerjemahkan parenting kebangsaan sebagai upaya mencegah munculnya sikap fanatik terhadap agama (radikalis) yang mengikis paham kebangsaan di lingkup keluarga. Meski banyak pihak mempertanyakan target dari proyek deradikalisasi ini, Pemerintah kukuh menganggap sikap radikal merupakan ancaman bagi keutuhan bangsa.

Baca juga:  [Sejarah] Orang Arab dan Bahasa Arab

Asumsi bahwa sikap fanatik terhadap agama akan menjadi ancaman bagi kehidupan bernegara seolah menjadi asas pemerintah untuk menggenjot berbagai program yang bertujuan menumbuhkan sikap kebangsaan. Tentu atas dasar toleransi dan moderasi.

Menumbuhkan Islamofobia di Keluarga?

Melihat latar belakang munculnya program-program kebangsaan yang marak saat ini, akan terlihat bahwa upaya kontraterorisme adalah pemicunya. Kontraterorisme sendiri dalam implementasinya kerap menyasar mereka yang mengusung Islam kafah sebagai alternatif solusi kehidupan.

Ketakutan ideologi global—kapitalisme sekuler—terhadap Islam telah memicu negara adidaya Amerika Serikat (AS) untuk membuat kampanye global mengadang kebangkitan ideologi Islam. Melalui program kontraterorisme, AS memanfaatkan negara-negara dunia  mengikuti kampanye global mendiskreditkan Islam.

Kaum muslimin yang tidak memahami adanya perang pemikiran, tidak menyadari upaya kaum kuffar untuk menusuk Islam dan syariatnya dengan menggunakan tangan kaum muslimin sendiri. Krisis nasionalisme dan pentingnya memunculkan rasa kebangsaan hanyalah dalih. Melalui berbagai program tersebut, Barat tidak hanya berhasil membuat generasi muslim mengalami krisis identitas, tetapi juga fobia terhadap Islam dan syariatnya.

Oleh karena itu, gaung parenting kebangsaan yang mulai terdengar berpotensi besar mereduksi semangat berislam kafah yang kian marak di kalangan keluarga muslim.

Lihat saja, saat media sosial maupun saluran-saluran digital menghadirkan tontonan islami, tidak sedikit yang berkomentar negatif, bahkan menganggapnya sebagai ancaman munculnya bibit-bibit radikal di tengah-tengah keluarga. Padahal, apa salahnya keluarga muslim berkeinginan untuk memahami syariat Islam? Terlebih di tengah banyaknya teror pemikiran liberal yang menyerang institusi keluarga, membentengi keluarga dengan pemikiran Islam tentu merupakan langkah tepat.

Baca juga:  [Sejarah] Nasionalisme di Malaysia dan Afro-Amerika

Di tengah arus liberalisasi dan impor budaya Barat yang masif, wajar jika institusi keluarga bangkit membentengi anak-anak. Sebab serangan budaya Barat sangat masif, terlebih di tengah transformasi digital seperti saat ini. Tidak sedikit orang tua ketar-ketir dalam mengarahkan dan mengasuh anak.

Ancaman Sesungguhnya

Sebelum menggagas ide, ada baiknya memahami dahulu kebutuhan masyarakat. Menggagas ide untuk institusi keluarga pun demikian. Keresahan apa yang paling menggelisahkan orang tua?

Tentu kita memahami bersama bahwa keluarga adalah institusi terkecil sebuah suprasistem. Di dalamnya, anggota keluarga terhubung. Tumbuh kasih sayang dan cinta yang mewujud pada keinginan untuk saling melindungi, berjuang untuk mewujudkan visi bersama.

Saat ini, keluarga menghadapi teror pemikiran dan ancaman budaya Barat yang mengguncang institusinya. Keluarga mana yang tidak resah melihat rusaknya pergaulan di lingkungan anak-anak mereka? Komunitas L687Q kian menunjukkan eksistensinya, married by accident seolah hal biasa, pesta seks terang-terangan dipertontonkan, narkoba kian menggila, sementara krisis akhlak dan adab pun menjadi PR besar.

Hal lain yang juga menjadi variabel penting adalah ekonomi. Kesejahteraan keluarga sangat berkolerasi dengan faktor ekonomi. Tidak sedikit keluarga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bantuan sosial yang pemerintah gelontorkan masih sangat jauh untuk menutupi kebutuhan keluarga.

Inilah ancaman sesungguhnya bagi keluarga. Lalu, di mana urgensi gagasan parenting kebangsaan? Bagaimana korelasinya dengan masalah sesungguhnya yang mengancam institusi keluarga?

Baca juga:  Pseudo-Ideologi Pancasila dalam Pusaran Liberalisme dan Komunisme

Jika terkikisnya rasa nasionalisme di institusi keluarga menjadi perkara urgen dalam kacamata penguasa, penting kiranya memberikan contoh cara mencintai negeri kita. Sebab, masyarakat sesungguhnya mengalami krisis teladan dalam hal ini.

Apakah layak kita menyebut seseorang mencintai negerinya, sementara kebijakan yang dirumuskan justru menjadi jalan menggadaikan kekayaan negeri? Layakkah kita menyebut penguasa telah memberikan contoh bagaimana mencintai negeri, sementara pada saat yang sama mereka dengan mudahnya melelang kekayaan negeri di forum-forum internasional?

Kesejahteraan yang menjadi impian tiap keluarga di negeri ini sesunggguhnya bergantung pada kemampuan penguasa untuk mengelola aset sumber daya alam dan kekayaan negeri lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Nyatanya, kekayaan negeri ini hanya milik segelintir orang.

Jika keinginan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan di tengah-tengah keluarga berarti keinginan untuk menumbuhkan cinta terhadap negeri ini, selayaknya penguasa memberikan teladan. Sebab cinta berarti melindungi. Pembuktian mencintai negeri berarti melindungi aset dan kekayaan negeri ini dari para penggarong, bukan malah mempersilakan mereka. Seperti itukah jiwa Pancasilais itu?

Oleh karena itu, penting untuk mengkritisi urgensi parenting kebangsaan ini. Jangan sampai suasana keimanan yang sedang tumbuh di tengah-tengah keluarga teradang anggapan bahwa keinginan mengkaji dan menumbuhkan nilai-nilai agama dalam keluarga menjadi penghalang rasa cinta terhadap tanah air. Sungguh tidak beralasan! Wallahualam. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.