UU Harmonisasi Perpajakan, “Crime and Corruption Friendly”?
Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.
MuslimahNews.com, OPINI — Deregulasi sistem perpajakan adalah konsekuensi penerapan demokrasi yang menjadikan pajak sebagai napasnya. Jika roda pemerintahan tersendat, yang pertama kali dibenahi adalah sumber keuangan terbesarnya, yaitu pajak. Inilah alasan logis hadirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yakni agar negara demokrasi dan para pejabat bisa hidup.
UU HPP yang Presiden Jokowi tanda tangani pada 29/10/2021 meliputi enam topik, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (Tax Amnesty Jilid 2), Pajak Karbon, dan Cukai. (Republika, 8/11/2021)
Banyak pengamat mengkritik keras lahirnya UU ini. Bahkan, pengamat ekonomi yang juga mantan Dirjen Pajak dan mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier, menyebut UU HPP merupakan UU terburuk dan terjahat dalam sejarah perundang-undangan, khususnya bidang keuangan negara.
Ketakpastian Hukum
Salah satu alasan Fuad menyatakan UU HPP ini terburuk dan terjahat adalah karena dalam Pasal 16B Bab “PPN” memuat—yang intinya—memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah tentang yang akan dikenai/dipungut atau yang tidak dikenai/dibebaskan PPN, untuk sementara atau selamanya, dan dengan tarif PPN yang juga tergantung atau terserah pemerintah.
UU ini seperti cek kosong karena semua tanpa pemerincian dan menyerahkan seluruh kewenangan pada pemerintah. Dengan demikian, semua objek PPN, termasuk sembako, pendidikan, dan kesehatan, seluruh kewenangan dan pengaturannya telah terlimpahkan pada pemerintah.
Walaupun pemerintah bisa menggunakan kewenangan dari pasal 16B dengan membebaskan atau tidak memungut PPN atas sembako, pendidikan, kesehatan, tetapi pada saat yang sama, pemerintah berwewenang untuk melakukan sebaliknya, yaitu memungut PPN atas sembako dan lainnya.
Jika pemerintah beralasan harmonisasi perpajakan ini semata untuk rakyat sehingga pajak sembako, kesehatan, pendidikan akan dibebaskan, mengapa harus capek-capek melakukan harmonisasi? Padahal, sedari dulu pun objek PPN ini sudah bebas pajak.
Oleh karenanya, dari pasal 16B saja, terlihat UU ini tidak lagi memberikan kepastian hukum. Semua kebijakan bergantung pada keinginan rezim berkuasa.
Abuse of Power
Dengan aturan baru perpajakan yang memberikan wewenang penuh pada pemerintah, membuat potensi penyelewengan kekuasaan atau abuse of power makin terbuka lebar. Potensi penerimaan negara dari PPN sekitar Rp1.000 triliun sangat berpotensi untuk diperjualbelikan antara penguasa dan wajib pajak (WP). Yang lobinya kuatlah yang akan untung. Pengusaha kakap tentu memiliki potensi lobi yang besar, sedangkan rakyat hanya bisa menunggu nasib.
Layaknya upeti yang harus rakyat kirimkan kepada raja pada zaman kerajaan, begitulah pajak hari ini. Rakyat harus menyerahkan sejumlah uang tanpa mendapatkan timbal balik. Semua kebutuhan sudah diliberalisasi, tarif air, tarif listrik, BBM semua naik. Belum lagi harus membayar iuran BPJS untuk mendapatkan fasilitas Kesehatan yang tidak seberapa. Oleh karenanya, dengan adanya undang-undang ini, peluang berbisnis politik (korupsi) makin besar.
Tax Amnesty jilid 2
Alasan lainnya mengapa UU ini buruk dan jahat adalah karena UU ini membuka Tax Amnesty Jilid 2. Padahal, Indonesia baru saja mengadakan Tax Amnesty pada 2016 lalu yang penuh dengan koreksi atas kegagalannya menghimpun pajak dari orang kaya.
Dalam pasal 6 dan 11 disebutkan bahwa UU HPP telah memberikan perlindungan hukum kepada WP yang melaporkan hartanya. Harta yang dilaporkan kepada kantor pajak tidak bisa dijadikan alat untuk menyelidiki, menyidik, maupun tuntutan pidana.
Artinya, siapa pun yang menyimpan atau menyembunyikan harta haramnya, baik itu hasil korupsi, bisnis narkoba, perjudian, pelacuran, perampokan, pemerasan, penyelundupan dan sebagainya, semua terbebas dari ancaman pidana asalkan melaporkan harta mereka pada kantor pajak dan membayar tarif PPh.
Padahal, tujuan tax amnesty itu seharusnya untuk menyelamatkan penghasilan atau keuntungan yang selama ini digelapkan oleh WP, bukan sebagai alat perlindungan atau pemutihan kejahatan. Apalagi untuk memuluskan syahwat pejabat pada perburuan rente secara berjemaah. Walhasil, tax amnesty kali ini lagi-lagi bukan solusi untuk menghimpun sumber keuangan.
Demokrasi Pangkal Kejahatan
Pengaduan gugatan pada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal ini pun makin menambah luka rakyat. Pasalnya, oligarki eksekutif, yudikatif, dan legislatif dalam sistem demokrasi adalah satu keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Undang-undang yang “crime and corruption friendly” jelas lahir dari sistem demokrasi. Sistem ini berasaskan sekularisme, yaitu memisahkan agama dan kehidupan. Seluruh aturannya berdasarkan akal manusia yang lemah. Konsep Trias Politika yang Barat agung-agungkan nyatanya hanya konsep cacat yang tidak pernah menemui keberhasilannya.
Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah adanya autokrasi, nyatanya hanya mampu menciptakan oligarki. Oleh sebab itu, UU buruk dan jahat selalu saja lahir menzalimi rakyat. Hal ini wajar karena kontestasi dalam demokrasi telah menghimpun para penguasa yang cinta harta dan kuasa, tetapi buta dan tuli pada derita rakyatnya.
Demokrasi juga menghimpun para komprador yang siap memuluskan kepentingan tuannya. Lahirlah undang-undang yang memperbolehkan swasta dan asing menguasai SDA kita. Jadilah hampir seluruh SDA terkuasai oleh asing, aseng, dan asong. Dari penjualan aset negara hingga jual beli kebijakan menjadi pundi-pundi rupiah para pejabat.
Begitu pun setelah melihat besarnya potensi pajak, bukannya untuk membiayai kebutuhan umat, malah mereka atur sedemikian rupa agar hasil pajak lari ke kantong-kantong mereka. Inilah realitas hidup dalam demokrasi, memeras rakyat busung lapar untuk membayar pajak, sedangkan pejabat buncit terus memakan hak rakyat.
Pajak dalam Islam
Dalam Islam, pajak (dharibah) bukanlah sumber utama pemasukan negara (daulah Islam) seperti halnya negara demokrasi. Sumber utama kas daulah (Baitulmal) adalah fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan sedekah. Dari sanalah daulah menjalankan roda pemerintahannya. Adapun skema pajak akan berlangsung jika Baitulmal kosong.
Berbeda dengan pajak dalam demokrasi, pajak dalam Islam bersifat temporal dan pada orang mampu saja, serta khusus dari warga negara muslim. Temporal artinya pungutan pajak akan berhenti jika kebutuhannya telah selesai. Misalnya, kebutuhan pembelian PCR dan vaksin pada masa pandemi, jika kas kosong, daulah tidak perlu berutang apalagi pada negara kafir harbi fi’lan.
Dalam pemenuhannya, daulah memiliki mekanisme lain dalam, salah satunya menghimpun dana dari orang kaya dalam bentuk pajak. Namun, ketika kebutuhan PCR dan Vaksin telah terpenuhi, pungutan pajak akan terhenti sehingga tidak akan ada celah bagi para pemburu rente menggendutkan kantong pribadinya dari pajak.
Sistem daulah (Khilafah) yang bersumber dari wahyu Allah Swt. tidak akan membuka celah bagi para pejabatnya untuk membuat aturan semaunya. Yang berhak membuat aturan adalah Sang Khalik, pejabat hanya menetapkan kebijakan berdasarkan syarak. Dalam Islam, yang berdaulat adalah syariat, bukan rakyat.
Oleh karena itu, UU buruk dan jahat yang menzalimi umat tak akan lahir dari sistem Islam. Selain karena aturannya yang datang langsung dari Sang Pencipta manusia, sistem pemilihan pejabatnya pun tidak memungkinkan individu yang kepribadian Islamnya cacat untuk mengemban amanah.
So, masih betah dengan sistem demokrasi? Saatnya sistem Islam—Khilafah—memimpin umat menuju kesejahteraan dan kemuliaannya. Insyaallah. [MNews/Gz]
Kapital tak malu2 lagi kini