Fokus

Percaya kepada Syariat Islam secara Sempurna adalah bukti Syahadat Seorang Muslim

Penulis: Rahmah

MuslimahNews.com, FOKUS — “Saya beragama Islam, tetapi saya tidak percaya pada syariat Islam. Saya tidak percaya umat Islam harus patuh pada hukum dan aturan Islam yang baku yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Saya percaya dalam diri setiap manusia untuk berpikir dengan caranya masing-masing. Kebebasan berpikir adalah karunia Tuhan tidak boleh dirampas orang lain. Saya percaya kepada Allah, kepada Nabi Muhammad, kepada Al-Qur’an.” (Cokro TV).

Itulah cuplikan perkataan Ade Armando. Pertanyaannya, bolehkah seorang muslim tidak perrcaya pada syariat Islam?

Bukti Iman

Dalam pandangan Islam, muslim adalah seseorang yang beriman/percaya kepada Allah. Artinya, ia mengakui tiada Tuhan selain Allah, mengimani malaikat-malaikat Allah; meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci dan tuntunan kehidupan bagi seorang muslim; percaya Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah; serta mengimani hari akhir, yaitu hari kiamat beserta konsekuensinya, seperti hisab amal manusia dan surga-neraka. Seorang muslim juga dituntut untuk beriman pada qada dan kadar (ketetapan Allah).

Beriman berarti meyakini dalam hati, mengucapkan dalam lisan, dan membuktikan dengan amal perbuatan. Dalam kitab Fikrul Islam disebutkan bahwa “لا اله الا الله“ (Tiada Tuhan selain Allah) bermakna ‘لا معبود الا الله’ (Tidak ada yang patut disembah kecuali Allah).

Dengan demikian, seseorang yang beriman kepada Allah bermakna dia tidak menyembah atau beribadah kecuali kepada Allah; atau tidak ada yang patut ia sembah atau ibadahi kecuali Allah.

Ibadah sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS Adz-Dzaariyat: 56 adalah menaati-Nya dengan cara melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Dijelaskan juga oleh Imam al-Qurtubi yang menafsirkan kata “نَعْبُد “ dengan ‘نطيع’ yang berarti ‘kami patuh, kami taat’. Adapun kata “العبادة”adalah ‘الطاعة والتذلل’ yang artinya ‘taat dan merendahkan diri’. (Al-Qurtubi. Tafsir Al-Qurtubi. Hlm. 223).

Karena itu, seorang muslim hanya tunduk dan taat pada aturan Allah. Tidak ada aturan atau hukum yang patut ia terapkan kecuali aturan atau hukum dari Allah. Dengan demikian, seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah akan mengembalikan segala permasalahan hanya pada Allah, menyelesaikan seluruh problematik kehidupannya dengan syariat Islam dan tingkah lakunya senantiasa mengikuti petunjuk-Nya.

Baca juga:  Teguh dalam Kebenaran

Inilah bukti syahadat, yaitu menjadikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Syariat Islam tidak hanya ia yakini, tetapi ia praktikkan dalam kehidupan. Allah Swt. berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (TQS Adz-Dzariat [51]: 56)

Begitu pun ketika Imam Ibnu Katsir menjelaskan QS Al-Fatihah: 5,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan.”

Beliau menafsirkan makna ”إِيَّاكَ نَعْبُد”ُ sebagai ‘kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Mu, ya Allah; dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu, ya Allah’. Ini merupakan kesempurnaan ketaatan pada Allah Swt. dan semua syariat Islam kembali kepada dua makna tersebut.

Surah Alfatihah adalah ummul kitab dan induk serta rahasia Al-Qur’an. , dan rahasianya pada kalimat ”إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَنَسْتَعِينُ” yang pertama, terbebas dari syirik, dan kedua, merasakan ketakberdayaan dan tidak memiliki kekuatan selain dari Allah, serta hanya menggantungkan segala urusan kepada-Nya. (Ibn Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Hlm. 134)

Ayat ini menunjukkan bahwa bukti seorang muslim adalah menauhidkan Allah dan menauhidkan syariat-Nya, yaitu mengakui syariat Islam sebagai satu-satunya yang patut menjadi peraturan kehidupan.

Di samping wajib percaya kepada Allah dan syariat-Nya, seorang muslim juga wajib percaya bahwa syariat Islam membawa kemaslahatan dunia dan akhirat, baik kemaslahatan yang mungkin akal kita mampu melihatnya maupun tidak.

Oleh karenanya, sikap kita terhadap hukum syarak adalah sami’na wa atha’na (aku mendengar dan aku taat) sebagaimana Ibnu Abbas sampaikan ketika menafsirkan firman Allah dalam QS An-Nur: 51.

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ المؤمنين } المخلصين كقول عثمان حيث قال لعلي بل أجيء معك إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فما قضى بيننا رضيت به فمدحه الله بذلك وقال إنما كان قول المؤمنين المخلصين { إِذَا دعوا إِلَى الله } إلى كتاب الله { وَرَسُولِهِ } وسنة رسوله { لِيَحْكُمَ } الرسول { بَيْنَهُمْ } بكتاب الله بحكم الله { أَن يَقُولُواْ سَمِعْنَا } أجبنا { وَأَطَعْنَا } ما أمرنا { وأولئك هُمُ المفلحون }

(Sesungguhnya, jawaban orang-orang mukmin) orang-orang yang ikhlas sebagaimana perkataan Utsman bahkan aku datang bersamamu kepada Rasulullah saw.. Maka apa pun yang Rasulullah putuskan (hukum) di antara kita, aku rida dengannya dan Allah memuji yang demikian dan berfirman, “Sesungguhnya itu perkataan orang-orang yang ikhlas, (bila mereka diseru pada Allah) yaitu kepada kitab Allah (dan rasul-Nya) Sunah Rasulullah (agar rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka) dengan kitab Allah (dan) dengan hukum Allah (mereka mengucapkan, “Kami mendengar)- memenuhi, (dan kami patuh/menaati) apa yang diperintahkan. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Ibn Abbas, Tafsir Ibn Abbas juz I, hlm 372).

Baca juga:  Berharap Keadilan Hanya pada Syariat Islam

Syariat Islam Sempurna, Lengkap dan Relevan dengan Zaman

ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ ١٨

18. Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui

Imam Asy Syaukani dalam kitab tafsir Fathul qadir menafsirkan surah al Jatsiyah ayat 18:

{ ثُمَّ جعلناك على شَرِيعَةٍ مّنَ الأمر فالمراد بالشريعة هنا: ما شرعه الله لعباده من الدين ، والجمع شرائع ، أي: جعلناك يا محمد على منهاج واضح من أمر الدين يوصلك إلى الحق

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama Islam ), maka yang dimaksud dengan syariat di sini adalah adalah apa (urusan Agama Islam) yang telah disyariatkan oleh Alloh untuk hambaNya dan seluruh syariat. Maksudnya Kami menjadikan untukmu Muhamad (syariat)berdasarkan manhaj yang jelas yaitu urusan agama Islam yang menyampaikan kepada kebenaran. (Imam Asy Syaukani, Fathul qadir, tafsir QS Jatsiyah ayat18).

Dari penafsiran surah al Jatsiyah ayat 18 dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, syariat itu bersumber dari agama Islam. Kedua, syariat itu adalah seluruh aturan berkaitan dengan seluruh urusan yang telah disyariatkan Alloh untuk hambaNya. Ketiga, syariat memakai manhaj yang jelas, mampu mengantarkan kepada kenenaran. Dengan diterapkan Syariat Islam akan membawa kemaslahatan/rahmat/solusi bagi semuanya kapanpun, dimanapun serta dalam situasi dan kondisi apapun. Firman Allah surah al An biya’ ayat 107:

{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ]

 Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Kalau kita perhatikan aturan/syariat yang ada dalam Alquran dan Hadis, maka kita akan mendapati konsep syariat meliputi dua hal: (a) Berkaitan dengan pemikiran. Yaitu konsep pemikiran syariat Islam itu lengkap secara keseluruhan urusan agama Islam meliputi akidah, ibadah, akhlak, pakaian, makanan, system pemerintahan, system ekonomi, system pergaulan, system pidana, system ekonomi, system pendidikan dan politik. (b) Berkaitan dengan metode pelaksanaan pemikiran Islam. Yaitu bagaimana pemikiran syariat Islam itu dilaksanakan/diterapkan meliputi edukasi, sosialisasi dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Baca juga:  [Fikrul Islam] Iman kepada Al-Qadar (Bagian 2/2)

   Syariat Islam mengatur semua hubungan manusia, baik dengan Alloh, dengan dirinya sendiri maupun dengan sesama manusia. Syariat Islam mengatur hubungan manusia dengan Alloh SWT yaitu dalam urusan akidah, tauhid dan ibadah. Syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu urusan makanan, minuman, pakaian dan akhlak. Sementara hubungan manusia dengan manusia lain, yaitu system pemerintahan, system ekonomi, system pergaulan, system pidana, system ekonomi, system pendidikan dan politik. (Abdullah, Muhammad Husain Dirasat fi Al Fikri Al Islamiyah, Aman: Darul Bayariq, 1990).

Itulah Syariat Islam yang lengkap dan mampu menjadi solusi atas semua permasalahan, mampu memenuhi seluruh kebutuhan manusia baik berkaitan dengan kebutuhan baik kebutuhan fisik maupun naluri. Dari zaman diturunkan Alqur’an sampai hari ini, bahkan sampai hari kiamat syariat Islam tetap relevan, mengapa demikian?, karena kebutuhan manusia pada hakikatnya tidak berubah. Adapun yang berubah adalah model pemenuhan, misalnya manusia sejak dulu membutuhkan bersosial dan berkomunikasi, bedanya kalau dulu berkomunikasi cukup dengan percakapan langsung dan surah-menyurat. Berbeda hari ini berkomunikasi bisa secara langsung dan memakai bermacam-macam media: Istagram, Telegram, WhatsApp, Twitter, Facebook dll.

Agar Syariat Islam tetap bisa diterapkan dan relevan dengan situasi, kondisi, di manapun dan kapanpun, maka harus ada mujtahid di sepanjang zaman. Mujtahid inilah yang mengistinbath hukum pada setiap zaman, yaitu ijtihad hukum syarak yang hukumnya tidak disebutkan jelas dalam al-Qur’an dan Hadits. Syekh ’Atha bin Khalil dalam kitabnya Ushul Fikih menegaskan urgensi adanya seorang mujtahid. Suatu masa tidak boleh kosong dari mujtahid dan adanya seorang mujtahid adalah Fardu kifayah. (Syekh ’Atha bin Khalil, Ushul Fikih)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *