Basa-basi Kapitalisme Mengatasi Krisis Iklim
Berharap kapitalisme mengurai penyebab krisis iklim ibarat pungguk merindukan bulan.
Penulis: Juanmartin, S.Si., M.Kes.
MuslimahNews.com, OPINI — Krisis iklim menjadi pembahasan tingkat global. Kekhawatiran terjadinya krisis iklim salah-satunya terpicu kenaikan suhu rata-rata global yakni 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era praindustri (1850–-1900). Padahal, target bersama dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celsius dengan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Di Indonesia, permasalahan iklim menjadi topik hangat. Kepedulian akan lingkungan meningkat seiring masifnya kerusakan lingkungan, laju deforestasi yang tinggi, permasalahan sampah yang tak kunjung usai, hingga ancaman bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.
Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berperan dalam mengerem peningkatan suhu bumi. Potensi ini mendorong Indonesia bergabung bersama negara-negara global menangani krisis iklim dalam UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) ke-26 di Glasgow, Skotlandia.
COP26 adalah bagian dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). COP26 merupakan forum tingkat tinggi signifikan bagi 197 negara untuk membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari krisis Iklim. Presiden Joko Widodo pun terjadwal mengikuti agenda global tersebut.
Menuai Kritik
Meski demikian, tidak sedikit aktivis lingkungan, baik nasional maupun internasional, mengkritik agenda ini. Sejumlah aktivis lingkungan bahkan menggelar demonstrasi dan mengecam para pemimpin dunia yang hadir dalam forum tersebut dan menganggap bahwa mereka hanya berpura-pura berempati pada mereka yang terdampak krisis iklim. Konferensi perubahan iklim tingkat dunia ini bahkan dicap sebagai bentuk kemunafikan tingkat tinggi dunia.
Pasalnya, 2014 lalu pemimpin dunia pun telah menandatangani perjanjian mengakhiri deforestasi di New York, Amerika Serikat. Nyatanya, laju deforestasi masih saja meningkat. (narasinewsroom). Lalu, bagaimana kondisi lingkungan Indonesia dengan potensi hutan tropisnya yang berpotensi meredam keparahan krisis iklim?
Kritik Penanganan Lingkungan di Indonesia
Di Indonesia sendiri, upaya penanganan masalah lingkungan sebagai rantai penyebab krisis iklim masih bermasalah. Komitmen mengatasi krisis iklim dengan mewujudkan lingkungan bersih masih terkendala baik dari sisi regulasi maupun komitmen masyarakat. Sebagaimana ambisi pemerintah, Indonesia berkomitmen melakukan pembangunan berbasis ekonomi hijau.
Langkah taktis yang ditempuh antara lain meredam emisi karbon dengan beralih ke penggunaan energi baru terbarukan (EBT), mengurangi penggunaan plastik, pengelolaan sampah, pemenuhan sanitasi sehat bagi masyarakat, dan sejumlah langkah lainnya. Sayang, seolah mengurai benang kusut, Indonesia sendiri masih berkutat dengan masalah lingkungan.
Ancang-ancang pemerintah beralih ke EBT kontras dengan penggunaan bahan bakar fosil. Target Indonesia melakukan pembangunan berbasis ekonomi hijau pun membutuhkan persiapan matang, sebab pemerintah masih memiliki PR mewujudkan udara bersih bebas dari pencemaran. Belum lagi upaya pemulihan ekosistem seperti gambut, hutan, mangrove, yang notabene penyerap karbon yang sangat vital dan melindungi masyarakat dari krisis iklim tak sedikit yang tereksploitasi para korporasi.
Selain itu, pengelolaan sampah yang masih bermasalah menambah semrawut penyelesaian pencemaran lingkungan. Menurut Yobel Novian Putra, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, selama ini ada kesalahan fokus pengelolaan sampah di Indonesia.
Seyogianya, pengelolaan sampah harus fokus sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang. Semua kemasan yang diproduksi harus bisa didaur ulang, atau tidak menggunakan bahan berbahaya.(aliansizerowaste.id)
Di sisi hilir atau konsumen, sanksi tegas harus dijatuhkan bagi mereka yang tak memilah sampah. Konsumen juga perlu difasilitasi untuk mendaur ulang sampahnya. Pemerintah juga perlu menghapus teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator ). Sebab, cara ini menghasilkan emisi gas rumah kaca dan abu yang serius. Langkah yang perlu ditempuh adalah memacu pengomposan sampah domestik.
Mengkritik Kapitalisme dalam Pengelolaan Lingkungan
Ada paradigma mendasar dan memerlukan kajian sistemis dalam tata kelola lingkungan kita. Paradigma kapitalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi adalah faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat meraup keuntungan telah mengerdilkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan.
Alhasil, hutan digunduli, berganti kebun kelapa sawit, sumber daya alam dikeruk, reklamasi dengan dalih pembangunan masif, pengabaian analisis dampak lingkungan dalam pembangunan dan seabrek dosa kapitalis terhadap lingkungan lainnya. Jadi, selama negara masih memberikan peluang individu untuk menguasai aset-aset umum, selama itu pula masalah lingkungan senantiasa hadir.
Masalah lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Karenanya, butuh kebijakan holistik yang mampu menuntaskan masalah lingkungan hingga ke akar-akarnya. Dari tataran individu,masyarakat hingga negara. Sebab kerusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim ini bersifat holistik.
Hal terpenting yakni bagaimana komitmen pemerintah dalam merumuskan regulasi yang ramah lingkungan, tidak semata-mata berhitung untung rugi dan aspek bisnis dan pembangunan. Selayaknya pemerintah melibatkan ahli lingkungan dalam melakukan proses pembangunan dan mereduksi praktik uji AMDAL abal-abal yang pro kapitalis.
Inilah mengapa masalah lingkungan butuh penanganan sistemis. Sebab paradigma yang tegak dalam pengelolaan lingkungan harus sesuai dengan sunatullah penciptaan lingkungan sebagai habitat seluruh makhluk. Untuk itu, penting merujuk pada Islam dalam mengelola lingkungan
Paradigma Islam
Kelestarian lingkungan adalah point penting dalam pembangunan. Dalam Islam, hal ini sangat diperhatika. Allah swt. berfirman, “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf:56). Rasulullah saw. sendiri senantiasa mengingatkan para sahabat untuk menjaga lingkungan. Saat hendak melakukan perang Rasulullah memerintahkan agar tidak menebangi pohon dan merusak lingkungan. Para sahabat sendiri menyadari hakikat firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...(QS Ar-Ruum: 41).
Dalam tataran regulasi, Islam telah membagi konsep kepemilikan menjadi tiga yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Hal ini menjadikan penguasa tak boleh menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu seperti pengelolaan hutan maupun ekosistem lainnya. Ini adalah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan.
Alhasil, penanganan lingkungan harus bersifat sistemis. Paradigma yang lahir dari kapitalisme tidak akan mampu mengurai masalah lingkungan. Konferensi-konferensi yang ada hanyalah basa-basi kapitalisme, sebab sistem ini ada untuk mewadahi seluruh kepentingan korporasi. Berharap pada sistem ini mengurai penyebab krisis iklim ibarat pungguk merindukan bulan. Mustahil! Wallahualam.
Kapitalisme memang akan menyebabkan bencana dunia