Banjir di Sejumlah Daerah, Kapitalisme Membawa Bencana
Adakah peran manusia yang turut andil memperparah bencana yang terjadi?
Penulis: Chusnatul Jannah
MuslimahNews.com, OPINI — Di tengah krisis iklim yang melanda dunia, banjir melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Pada Kamis (4/11/2021) banjir bandang menerjang Kota Batu di Jawa Timur akibat intensitas tinggi yang mengguyur wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berada di lereng Gunung Arjuno.
Ada lima desa yang terdampak banjir bandang, yaitu Sumber Brantas, Bulu Kerto, Tulung Rejo, Padang Rejo, dan Sidomulyo. Sebanyak 15 orang hanyut, 4 sudah ditemukan, 11 lainnya masih dalam tahap pencarian.
Di wilayah Gorontalo, tingginya intensitas hujan mengakibatkan 277 rumah warga terendam. Banjir juga menerjang Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat selama dua pekan sejak 22/10/2021. Banjir di Kalbar merendam lima kabupaten, yakni Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Kapuas Hulu. Hingga kini, air belum menunjukkan tanda-tanda akan surut. Bahkan, akses kendaraan khususnya roda dua di dalam kota, nyaris lumpuh. (Kompas, 4/11/2021)
Sebagai dampak fenomena La Nina, Kepala BNPB Letjen TNI Ganip Warsito mewanti-wanti sejumlah daerah agar waspada terhadap perubahan iklim yang cukup ekstrem belakangan ini. Fenomena tersebut ditandai peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, seperti Pulau Jawa, NTB, Sulawesi Selatan, dan lainnya.
Benarkah bencana terjadi lantaran fenomena perubahan iklim semata? Adakah peran manusia yang turut andil memperparah kondisi tersebut?
Bencana Ekologis
WALHI Kalbar menyoroti banjir di Sintang akibat meluasnya lahan yang terdegradasi. Kepala Divisi Kajian dan Kampanye WALHI Kalbar Hendrikus Adam mengatakan perlu upaya antisipasi dan deteksi dini risiko bencana ekologis. Menurutnya, seharusnya ini menjadi teguran keras alam untuk kita, terutama pemerintah.
Ia berpesan agar pemerintah memberikan perhatian serius dalam menjaga lingkungan, tidak memudahkan izin investasi lahan yang menyebabkan keseimbangan lingkungan terganggu, dan menindak tegas korporasi yang melanggar dan merusak lingkungan.
Senada dengan itu, banjir di Gorontalo dan Kota Batu juga tersinyalir akibat lahan yang terus terdegradasi. Berdasarkan data BPS Gorontalo, degradasi lahan di Kota Gorontalo dari tahun ke tahun makin meningkat. Misal, luasan sawah irigasi (tanam padi) pada 2019 sebesar 828 hektare, 2020 berkurang jadi 795 hektare. Untuk lahan nonirigasi (tanam padi) sudah tidak ada lagi. Degradasi lahan tinggi inilah yang menyebabkan Gorontalo rentan mengalami perubahan iklim yang memicu bencana.
Pendiri Profauna Indonesia Rosek Nursahid menyatakan banjir bandang yang melanda Kota Batu, Jawa Timur, pada Kamis (4/11/2021) akibat beralihnya fungsi lahan di lereng Gunung Arjuna. “Sekitar 90% hutan lindung itu lahannya telah berubah. Hutan Lindung di Malang Raya sudah pada tahap kritis, harus ada rehabilitasi atau pemulihan dengan menanam pohon,” ujarnya. (Muslimahnews.com, 5/11/2021)
Bencana ekologis yang menimpa sejumlah daerah tidak serta-merta karena curah hujan tinggi. Ada peran manusia yang memicu terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung. Peran manusia yang termaksud ialah penerapan kapitalisme yang destruktif.
Destruktif
Tak dapat kita mungkiri, salah satu sebab berkurangnya kemampuan hutan dalam menjalankan fungsinya, termasuk menyerap air adalah beralihnya fungsi lahan hutan menjadi area industri, seperti perkebunan sawit dan tambang, industri kayu, pembangunan infrastruktur, dan eksploitasi berlebih.
Berdasarkan data KLHK tahun 2018–2019, total pembukaan hutan di seluruh Indonesia mencapai 462.458,5 hektare, meningkat dari periode sebelumnya pada 2017–2018 yaitu 439.439,1 hektare.
Selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan hilang setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara terdampak paling parah. Berdasarkan data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektare hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Bahkan, Indonesia menjadi negara urutan kelima terbesar di dunia yang kehilangan hutan primer tertinggi di tahun 2020.
Dari data ini saja, tampak jelas ancaman bencana lebih besar berada di depan mata. Namun, pemerintah masih saja buta melihat bahaya ekologis yang menghantui Indonesia. Pemerintah justru menggenjot pembangunan infrastruktur besar-besaran demi ambisi dan keserakahan korporasi. Pemerintah makin mempermudah investasi dengan lahirnya UU Cipta Kerja yang banyak pengamat sebut mengabaikan keberpihakan pada nasib rakyat dan lingkungan.
Keberpihakan pemerintah pada kapitalis sangat jelas dari pernyataan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar yang belakangan ini memicu kontroversi. Ia mengatakan dalam akun Twitter-nya, “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tulis Menteri Siti.
Ironis sekali. Pernyataan itu keluar sehari setelah Presiden Jokowi menandatangani komitmen deforestasi dan degradasi lahan tahun 2030 yang tertuang dalam The Glasgow Leaders’ Declaration on Forest and Land Use (Deklarasi Pemimpin Glasglow atas Hutan dan Pemanfaatan Lahan).
Artinya, yang menjadi komitmen Presiden seperti sekadar “pereda nyeri” bagi masyarakat. Sementara, menteri memberi pernyataan yang bertolak belakang dengan komitmen tersebut.
Persoalan banjir, tanah longsor, atau bencana alam lainnya hanyalah efek domino akibat pembangunan kapitalistik. Ada andil manusia dalam kerusakan alam yang kita lihat saat ini, yaitu kebijakan pro kapitalis liberal. Jika pembangunan tidak ramah manusia dan lingkungan, apa gunanya? Kapitalis ambil enaknya, manusia dan lingkungan yang terkena imbasnya.
Hingga saat ini, solusi yang ada belum mampu mengatasi kerusakan alam. Hal ini karena kegagalan mendiagnosis dan mengobati akar krisis lingkungan. Akar masalah dari semua itu adalah penerapan sistem kapitalisme yang materialistis. Sistem ini hanya peduli pada manfaat dan keuntungan ekonomi, meski harus mengorbankan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam terus saja berjalan tanpa kendali. Kebebasan kepemilikan di sistem kapitalisme membenarkan hal itu terjadi.
Panduan Islam
Allah Swt. sangat jelas memberi panduan dalam menjaga lingkungan. Larangan merusak lingkungan termaktub dalam surah Al-Baqarah: 205, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”
Penanganan bencana tersebab faktor alam atau ulah tangan manusia harus berlangsung secara fundamental, yaitu dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dalam aspek preventif, Islam akan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam. Khilafah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana, seperti bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, serta pengaturan memelihara kebersihan lingkungan.
Khilafah akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam, hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh ada yang memanfaatkannya kecuali seizin negara; menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dari kerusakan; serta mendorong kaum muslimin menghidupkan tanah mati (ihyaa’ al-mawaat) sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh. Khilafah juga akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan.
Dalam aspek kuratif, jika terjadi bencana, Khilafah akan melakukan langkah berikut: (1) melakukan evakuasi korban secepatnya; (2) membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban; (3) memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak manusia huni, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah siap sebelumnya; (4) mempersiapkan lokasi-lokasi pengungsian, pembentukan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan tim SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak bencana. (muslimahnews.com, 28/8/2018)
Adapun dari aspek rehabilitatif, Khilafah akan melakukan recovery, yaitu manajemen pascabencana, seperti memberikan pelayanan terbaik kepada para korban selama berada di pengungsian; memulihkan psikis mereka agar senantiasa bersabar, tidak stres atau depresi atas cobaan yang menghampiri; memenuhi kebutuhan vital mereka, yaitu makanan, pakaian, obat-obatan, tempat istirahat yang layak, dan layanan kesehatan lainnya; serta memberi nasihat dan tausiah untuk menguatkan akidah dan nafsiyah para korban.
Khatimah
Dalam mengatasi krisis iklim dan lingkungan yang menimpa dunia, tidak akan pernah tercapai solusi tepat selama akar masalahnya belum terselesaikan. Sebab pelaku utama kerusakan alam saat ini adalah penerapan ideologi kapitalisme. Oleh karena itu, jalan terbaik menghentikan krisis iklim adalah menggantinya dengan ideologi alternatif, yaitu Islam sebagai sistem kehidupan.
Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Rum: 41) [MNews/Gz]
Ada bencana krn murni dri Allah dan ada yg penyebabx akibat manusia itu sendiri