Uighur Butuh Suara Lantang Muslim Indonesia

Seharusnya, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia lantang membela muslim Uighur.


Penulis Kanti Rahmillah, M.Si.

MuslimahNews.com, OPINI — Tindakan biadab Pemerintahan Cina terhadap etnis minoritas muslim Uighur telah mendapat kecaman internasional. Namun, kecaman tersebut hanya nyaring dari negara-negara Eropa dan Amerika Utara, sedangkan negeri-negeri muslim nyaris tidak terdengar. Sungguh pengkhianatan yang sangat kejam.

Media asing terus merilis kondisi terbaru muslim Uighur. PBB memperkirakan sekitar satu juta warga etnis Uighur tertahan paksa di Xinjiang barat laut Cina sejak 2017. Awalnya, Beijing menyanggah adanya “kamp pendidikan ulang”. Namun, mereka kemudian membenarkan hal tersebut, tetapi menyebutnya sebagai pusat pelatihan kejuruan dan menyangkal semua tuduhan pada mereka.

Indonesia Diam

Isu Uighur kembali muncul pada Sidang Komite III Majelis Umum ke-76 PBB di New York, 21/10/2021. Dalam pembahasannya, terdapat penyampaian dua Joint Statement (JS) oleh sekelompok negara. Penyampaian JS pertama oleh Wakil Tetap Prancis mewakili 43 negara—mayoritas adalah negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Isinya mengecam Cina atas perlakuannya terhadap muslim Uighur di Xinjiang.

Penyampaian JS kedua oleh Kuba yang mewakili 62 negara, di antaranya Kuwait, Arab Saudi, Rusia, Maladewa, Maroko, Ghana, dan Pakistan. Isinya mereka mendukung Republik Rakyat Tiongkok dalam isu Xinjiang, menolak tuduhan pada Cina, dan menganggap hal tersebut hanyalah motivasi politik dan disinformasi. (indonews, 23/10/2021)

Indonesia sendiri tidak berada pada kedua kubu tersebut dan memilih bersikap abu-abu dengan tidak mendukung dan menolak secara tegas kasus Uighur. Jubir Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menjelaskan bahwa meskipun tidak ikut serta dalam kedua JS, Indonesia tetap menyuarakan isu HAM melalui mekanisme yang ada, seperti Universal Periodic Review (UPR) atau pelaporan HAM.

Pengkhianatan Negeri Muslim

Negeri-negeri muslim diam lebih dari seribu bahasa atas kekejaman Cina atas muslim Uighur. Indonesia memilih diam tidak bergabung dalam salah satu kubu dengan alasan itu adalah urusan dalam negeri Cina. Pemerintah Indonesia memilih menutup mata atas kezaliman yang menimpa tubuhnya sendiri.

Lebih miris saat menyaksikan negeri-negeri muslim, seperti Arab Saudi, Pakistan, Maroko, Kuwait, Ghana, dan negeri-negeri muslim lainnya yang malah bergabung dalam kubu yang membela Cina. Mereka seperti sedang mencabik tubuhnya sendiri dengan mempersilakan Cina menzalimi muslim Uighur.

Sedangkan Turki, negeri muslim satu-satunya yang bergabung dalam kubu yang mengecam Cina, nyatanya hanya sanggup berdiri di bawah ketiak kepentingan dalam negeri mereka. Karena sebelumnya, Turki yang menentang Cina mendadak diam saat RRT menjanjikan bantuan untuk mengatasi krisis Turki tahun 2018. Sebabnya, bantuan ekonomi tersebut beserta syarat agar Turki tidak lagi berkomentar mengenai Uighur. (tempo, 2018)

Ekonomi Cina

Pakar kebijakan Cina dari Universitas Nasional Australia, Michael Clarke, mengatakan bahwa kekuatan ekonomi Cina dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas muslim. Walau tidak bisa menggeneralisasi, kita bisa melihat kesamaan utama di balik kebisuan kaum muslim adalah pertimbangan ekonomi dan politik dalam negerinya.

Cina telah menjadi negara yang dukungannya begitu besar terhadap pembangunan ekonomi negeri-negeri muslim. investasi Cina di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005—2018 saja telah mencapai AU$144,8 miliar. Di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$121,6 miliar. (tempo, 2018)

Beijing pun telah banyak berinvestasi di industri minyak dan gas milik negara Arab Saudi dan Irak, serta menjanjikan investasi berkelanjutan di seluruh Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Inilah yang membungkam negeri-negeri muslim atas perilaku sadis Cina pada Uighur.

Amerika Bukan Membela Uighur

Amerika (AS) dan sekutunya yang membongkar habis-habisan perilaku biadab Cina pun telah jamak kita ketahui bukan semata membela hak asasi muslim Uighur. AS sendiri melakukan hal yang sama terhadap kaum muslim di Irak dan Afganistan. Penjara Guantanamo milik AS yang ada di Kuba salah satunya, terkuak menjadi tempat penyiksaan muslim Irak dan Afganistan atas alasan terorisme.

Begitu pun yang AS lakukan selama 20 tahun atas Afganistan. Jutaan nyawa melayang hanya untuk memuluskan kedigdayaan AS. Belum lagi kita lihat dukungan penuh AS pada Israel, termasuk persenjataan. Bukankah peluru itu akan terarah pada kaum muslim Palestina?

Oleh karena itu, sangat jelas, kutukan AS pada Cina adalah semata untuk kepentingan hegemoni mereka. Emerging power Cina begitu mengusik keberadaan negara adidaya, sehingga AS akan menempuh segala cara demi menghadang kebangkitan Cina.

Sungguh nelangsa nasib umat muslim Uighur dan lainnya yang sedang terzalimi. Negara-negara kafir menjadikan mereka alat untuk kepentingan politik. Pada saat yang sama, negeri-negeri muslim tersandera nasionalisme dan kepentingan politik ekonomi dalam negerinya.

Wajib Membela

Penolakan Indonesia untuk membela sesama muslim adalah pengkhianatan terhadap tubuhnya sendiri. Sikap seperti ini haram menurut syariat. Seharusnya, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia lantang membela muslim Uighur.

Bila tidak, Ibnu Abbas telah meriwayatkan dari Rasulullah saw. sebuah hadis qudsi, yakni Allah Swt. berfirman, “Demi keperkasaan-Ku dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan membalas orang zalim di dunia maupun akhirat dan sungguh Aku juga akan membalas dendam orang yang menyaksikan orang yang terzalimi, sementara ia mampu menolongnya kemudian ia tidak membelanya.” (HR Thabrani dan Hakim)

Pernyataan sebatas mendukung HAM bukanlah pembelaan karena HAM lahir dari ideologi sekuler yang membuang peran Pencipta dalam mengatur kehidupan manusia. HAM pun telah nyata berstandar ganda, hanya menjadi alat untuk melanggengkan hegemoni negara adidaya.

HAM tidak berlaku bagi kaum muslim. Lihatlah yang terjadi pada muslim Palestina, walaupun dunia berkoar-koar bahwa Israel melanggar HAM Palestina, tetapi semua itu tidak mengantarkan pada tindakan nyata untuk menghentikan penyerangan Israel atas Palestina.

Begitu pun yang terjadi pada muslim Uighur. AS dan sekutunya mengecam dengan menyebutnya sebagai genosida dan pelanggaran HAM terberat, tetapi pada saat yang sama AS melakukan genosida pada muslim lainnya. Artinya, kaum muslim Uighur di Xinjiang Cina, Rohingya di Myanmar, serta di Palestina, Irak, dan Afganistan, hanya menjadi korban peradaban kaum kafir.

Pembelaan Sesuai Syariat

Pembelaan yang sesuai syariat adalah dengan memutus hubungan dagang dan politik negara dengan Cina. Selanjutnya mengirimkan pasukan untuk menolong muslim Uighur yang tengah terjajah di tanahnya sendiri.

Lantas, mampukah Indonesia memutus hubungan dagang dan politiknya dengan Cina kemudian berdiri sendiri? Jawabannya bisa jika Indonesia mau menerapkan sistem politik Islam, bukan demokrasi. Sistem politik Islam bersumber dari Allah Swt. dan dengan keperkasaannya terbukti memimpin umat dunia hingga 13 abad lamanya.

Oleh karena itu, perjuangan menerapkan syariat Islam—termasuk di dalamnya menegakkan politik Islam—adalah satu perwujudan untuk membela kaum muslim yang terjajah. Dalam sistem politik Islam, haram hukumnya bekerja sama dengan negara kafir harbi fi’lan, yaitu negara yang terang-terangan memusuhi umat muslim.

Cina dan AS adalah negara kafir harbi fi’lan yang jelas membantai jutaan umat muslim. Tidak boleh ada kerja sama dalam bidang apa pun dengan kedua negara tersebut. Setelah negeri-negeri muslim terlepas dari hegemoni kaum kafir, pengiriman militer untuk menyelesaikan permasalahan muslim Uighur pun bisa terealisasi.

Dengan demikian, dunia akan kembali menemukan peradaban luhurnya, yaitu peradaban yang memuliakan nyawa manusia. Wallahualam. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.