Editorial

[Editorial] “Syariah” Tak Sekadar Label

MuslimahNews.com, EDITORIAL — “Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia harus menjadi pemain utama dalam ekonomi syariah dan industri halal di dunia. Indonesia harus menjadi pusat gravitasi ekonomi syariah dunia.” (Presiden Jokowi, 22/10/2021)

Pada Hari Santri, Presiden menyampaikan sebuah mimpi besar. Indonesia yang berpenduduk muslim terbanyak harus menjadi pusat gravitasi ekonomi syariah dan pemain utama bisnis halal dunia.

Tentu sah-sah saja Presiden punya mimpi. Indonesia memang sudah lama mengalami keterpurukan ekonomi.  Berkembangnya ekonomi syariah dan bisnis halal seakan menjadi angin segar dan diharapkan bisa menjadi jalan keluar.

Hanya saja, mimpi tentu mesti berpijak ke bumi. Daftar problem yang harus diselesaikan realitasnya masih begitu panjang. Sistem aturan dan kebijakan yang selama ini diterapkan telah gagal menjamin kesejahteraan.

Fakta Menyedihkan

Sejak sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang terus melambat, bahkan sempat negatif. Tingkat kesejahteraan masyarakat pun tak bisa dikatakan baik.

Tingkat pengangguran terbuka Indonesia tercatat masih tertinggi kedua di Asia Tenggara. Pada Maret 2021 tingkat kemiskinan masih di angka 10,14%. Sementara kemiskinan ekstrimnya masih sekitar 4%.

Angka tersebut bisa jadi realitanya jauh lebih besar lagi. Maklum, garis kemiskinan yang digunakan BPS standarnya begitu rendah. Per September 2020 lalu saja tercatat hanya Rp 458.947 per kapita per bulan.

Kasus kekurangan gizi di Indonesia pun tercatat masih sekitar 8 % dari populasi. Bahkan dengan standar kemiskinan serendah itu, disinyalir ada 66,7% penduduk yang rentan menjadi miskin.

Masalahnya, banyak kebijakan pemerintah yang tak memberi solusi hingga ke akar. Selain fokus pada program-program pragmatis dan artifisial semacam pemberian bansos dan sejenisnya, negara terkesan hendak berlepas tangan. Buktinya, narasi pemberdayaan masyarakat begitu diarusderaskan.

Bahkan tak hanya terkesan lepas tangan. Negara malah intens mengeluarkan kebijakan maupun aturan yang berbahaya dan menyengsarakan rakyat banyak.

Proyek-proyek pembangunan berbasis investasi asing misalnya, telah terbukti menjerumuskan Indonesia pada kubangan utang yang lebih dalam. Padahal tak bisa dimungkiri, utang adalah salah satu jalan penjajahan.

Begitu pun pengesahan undang-undang. Banyak UU yang faktanya lebih pro pemodal dibanding rakyat banyak. Di antara yang fenomenal, UU Ciptaker dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 

Di bidang layanan publik aroma bisnis pun begitu kental. BPJS misalnya dengan bangga menyebut mampu meraup keuntungan besar. Bagaimana tak untung besar? Dengan segala cara rakyat dipaksa membayar iuran, sementara haknya tak bisa diakses dengan maksimal.

Problem Paradigma

Diakui atau tidak, Indonesia sudah lama menerapkan sistem kapitalisme neoliberal, termasuk di aspek ekonominya. Padahal inilah akar problem yang telah membuat bangsa ini terjebak pada situasi buruk seperti sekarang.

Sistem ini memang tegak di atas asas sekulerisme yang tak kenal halal haram. Kebebasan, termasuk di aspek kepemilikan, begitu diagungkan. Wajar jika prinsip siapa kuat dia menang, begitu jelas mewarnai aktivitas perekonomian.

Sistem ini pun senyatanya meniscayakan kekuatan modal menyetir politik kekuasaan. Semua aturan dan kebijakan dengan mudah diatur sesuai pesanan. Penguasa pengusaha begitu kompak mengendalikan negara sekehendaknya.

Tak heran, fungsi negara sebagai pengurus dan penjaga rakyat pun hanya ada dalam dongengan. Rakyat seakan hidup tanpa negara. Bahkan negara tak jarang menjadi sumber kemudaratan bagi rakyatnya.

Tengok saja! Kekayaan alam yang Allah limpahkan begitu luar biasa berikut aset-aset strategis yang dimiliki negara ternyata tak mampu dikelola untuk menyejahterakan rakyatnya. Semua diobral dan dilego pada asing, atau menjadi bancakan di antara para pejabatnya.

Kekuasaan pun dikaveling oleh partai pemenang pemilu dan para cukong yang mensponsorinya. Seakan-akan negara dan seisinya adalah barang rebutan yang bisa dimiliki dan diatur sesuai kepentingan mereka. Sementara rakyat, tinggal merasakan getah pahitnya. Kelaparan di lumbung padi. Menjadi tamu di rumah sendiri.

Syariah, Distigma dan Diharap

Lantas di tengah situasi suram ini Presiden menggadang-gadang, ekonomi syariah bisa memberi secercah harapan. Bahkan sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia harus tampil sebagai pemenang.

Presiden mengklaim, mimpinya bisa diwujudkan, karena data The State of Global Islamic Economy Indicator Report, menyebutkan sektor ekonomi syariah Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang berarti. Pada 2020 lalu misalnya Indonesia berada pada rangking empat dunia. Posisinya terus naik dari tahun-tahun sebelumnya.

Dalam situasi pandemi, sektor usaha syariah memang terbukti mampu bertahan menghadapi goncangan.  Bahkan sektor ini sangat diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang kelimpungan.

Saat itu, pertumbuhan ekonomi syariah mencapai 8,2 persen (yoy), lebih tinggi dari PDB yang hanya 7,07 persen untuk triwulan II 2021. Demikian disebutkan oleh

Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng dalam pembukaan Musyawarah Kerja Nasional Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren (Hebitren) yang dilakukan secara daring di Jakarta, 25/10 (Antaranews).

Hanya saja, apa yang disebut sebagai sektor ekonomi atau usaha syariah, sebetulnya hanya merujuk pada label, siapa pelaku dan modifikasi transaksional, bukan pada sistem. Misalnya, holding berbasis pesantren, lembaga keuangan berlabel syariah, serta UMKM yang bergerak di industri produk halal, termasuk industri wisata halal.

Itulah kenapa, kebijakan yang direkomendasikan sebagai upaya peningkatan peran sektor ekonomi syariah selalu merujuk pada hal-hal cabang. Misalnya, program-program pemberdayaan ekonomi pesantren, santripreneur, penguatan peran lembaga keuangan (berlabel) syariah, hingga dukungan terhadap UMKM atau industri berlabel halal. Jadi, bukan pada penerapan prinsip-prinsip syariah secara keseluruhan.

Hal ini sejatinya menunjukkan, besarnya perhatian pemerintah terhadap sektor ekonomi syariah sejatinya bukan menunjukkan pemihakan mereka terhadap sistem ekonomi syariah, apalagi pada syariah secara keseluruhan. Melainkan hanya concern pada produk atau usaha berlabel syariah.

Mengapa? Karena bicara sistem ekonomi syariah tak bisa lepas dari bicara asas negara. Juga terkait kebutuhan akan support system dari aspek-aspek yang lainnya, seperti sistem politik, sistem moneter, sistem sanksi, politik luar negeri, dan sebagainya.

Artinya menegakkan sistem ekonomi syariah mengharuskan semua aspek  sama-sama berdasar syariah. Mustahil menegakkan sistem ekonomi syariah, sementara asas bernegara dan sistem-sistem lainnya bukan syariah.

Maka kita tak boleh lupa, posisi penguasa terhadap syariat Islam ada dalam posisi bersebrangan. Menggagas penegakkannya dipandang sebagai kejahatan. Syariah selalundistigma sebagai biang kehancuran dan perpecahan.

Oleh karenanya, saat pemerintah seolah aware dengan sektor ekonomi syariah, sejatinya hanya sedang memanfaatkan sektor ini sebagai solusi tambal sulam atas berbagai problem yang timbul akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis neoliberal.

Hal ini tentu mudah dipahami. Jumlah umat Islam yang begitu besar menyimpan potensi ekonomi yang juga luar biasa besar. Selain bisa dimanfaatkan untuk tenaga pemutar roda ekonomi kapitalisme yang sedang lemah, juga potensial menjadi ceruk pasar yang menguntungkan.

Syariah Kafah Satu-Satunya Pilihan

Kondisi ini semestinya menyadarkan umat Islam bahwa sistem sekuler kapitalisme tak akan pernah memberi kesempatan syariat Islam tegak seutuhnya. Sampai kapan pun keduanya akan saling menegasikan, sebagaimana cahaya dan kegelapan.

Menempelkan label syariah pada produk pemikiran dan aktivitas yang lahir dari cara berpikir sekuler memang bisa dilakukan. Namun, semua itu justru akan mendatangkan bahaya.

Selain tak memberi solusi komprehensif dan berkah, upaya sinkretisme Islam dan kekufuran justru akan memperpanjang umur kebatilan. Umat dininabobokan dengan penerapan secuil amal yang dilabeli kata halal. Sementara hati dan pikiran mereka akan teralihkan dari kewajiban memperjuangkan penegakkan Islam secara keseluruhan.

Padahal sejatinya penerapan syariah Islam kafah dalam bingkai Khilafah adalah kunci kemuliaan dan kebangkitan. Sistem yang satu dengan lainnya akan saling menopang, sehingga seluruh persoalan hidup manusia, termasuk problem kemiskinan, gap sosial dan problem-problem lainnya akan dengan mudah dientaskan.

Betapa keras larangan Allah atas perilaku mencampur yang hak dengan yang batil, serta mencomot secuil hukum dan meninggalkan sebagian lainnya. Selain berdosa, perbuatan semacam itu dipastikan akan mengundang bala bencana.

Allah Swt. berfirman,

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS Al-Baqarah: 42)

Juga firman-Nya,

 اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 85). [MNews/SNA]

One thought on “[Editorial] “Syariah” Tak Sekadar Label

  • Syariah Islam agama dan aturan hidup lengkap dari hal pribadi hingga bernegara. MasyaAllah.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *