Politik Akomodasi Lahir dari Demokrasi

Slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” nyatanya hanya nyaring di telinga rakyat, tetapi redup di telinga para pejabat.


Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.

MuslimahNews.com, OPINI — Politik akomodasi makin kental selama dua tahun pemerintahan Jokowi. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, “Mirip dengan periode pertama, tapi kesan politik akomodasi semakin kuat di periode ini.” (Tempo, 19/10/2021)

Indikasi menguatnya politik akomodasi terlihat dari tindakan Jokowi yang kerap merangkul partai politik yang berseberangan untuk masuk ke dalam pemerintahan. Terbaru adalah bergabungnya PAN dengan pemerintah. Kini, tinggal PKS dan Demokrat yang masih bertahan menjadi oposisi.

Koalisi Gemuk

Masuknya PAN ke dalam koalisi bisa jadi mengubah kembali susunan kabinet yang baru saja dirombak. Walaupun belum terlihat hilal perombakannya, reshuffle sangat mungkin terjadi lagi. Setidaknya, selama dua tahun ini, sudah dua kali Pemerintah merombak kabinetnya, termasuk menambah kementerian baru dan para wakil menteri.

Koalisi gemuk ini menguasai 471 kursi dari 711 kursi MPR atau sekitar 66%, 240 kursi lainnya terisi 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 104 orang dari Fraksi Partai Demokrat dan PKS. (Kompas, 26/8/2021)

Sebetulnya, bergabungnya PAN ini bukan hal aneh. Sebelumnya, Jokowi bahkan menggandeng rivalnya di Pilpres yaitu Prabowo yang kini menjadi Menteri Pertahanan. Ironis memang, Rp25 Triliun dana kontestasi nyatanya berakhir dengan koalisi.

Inilah yang banyak pengamat sebut sebagai keberhasilan Jokowi dalam mengontrol partai politik, yakni sebagai entitas untuk memperkuat stabilitas politiknya. Ada harapan ke depannya nanti, suara “sumbang” partai oposisi terhadap program pemerintah sudah bisa teratasi.

Baca juga:  Menjajaki Peluang Kesatuan Politik Umat

Politik Akomodasi Melahirkan Keburukan

Istilah “politik akomodasi” makin masyhur seiring terbuka lebarnya borok demokrasi. Slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” nyatanya hanya nyaring di telinga rakyat, tetapi redup di telinga para pejabat. Bagi mereka (pejabat), demokrasi adalah kendaraan efektif untuk memboyong harta dan meninggikan kuasa.

Maksud dari politik akomodasi ini adalah memasukkan orang-orang yang dinilai berkontribusi memenangkan kontestasi. Oleh karenanya, kita akan melihat bagaimana bagi-bagi kue kekuasaan begitu vulgar mereka umbar. Banyak dan besarnya kue tergantung dari kontribusi mereka terhadap pemenangan.

Dari titik ini saja, akan terbuka celah terekrutnya pejabat yang tak kapabel. Jabatan bukan lagi terisi orang-orang yang mengerti permasalahan. Wajar saja penetapan kebijakan dan program yang ada menjadi sulit menyelesaikan permasalahan umat. Selain pemburu rente, mereka pun tergolong penguasa yang Rasul sebut sebagai ruwaibidhah (penguasa bodoh).

Bukan hanya itu, politik akomodasi juga menawarkan kue kepada oposisi agar program pemerintah berjalan lancar tanpa interupsi. Makin gemuk koalisi, makin mudah untuk mengesahkan kebijakan. Ini pulalah yang akan menyebabkan lahirnya kebijakan buruk yang tak menyolusi, apalagi pro umat.

Mengapa demikian? Karena kalau memang kebijakannya bagus, seharusnya tak usah takut dengan oposisi. Bukankah draf kebijakan membutuhkan kritik agar sampai pada kesempurnaan? Namun, sungguh sayang, politik akomodasi malah menghilangkan itu semua. “Kue” itu justru akan menutup mulut para pejabat yang kritis.

Baca juga:  [News] Demokrasi Hanya Mimpi, Setiap Hari Terbukti Kebohongannya

Demokrasi, Korporatokrasi, Oligarki

Jamak kita ketahui, kontestasi politik dalam demokrasi yang begitu mahal meniscayakan pejabat menggandeng para pemilik cuan. Pemilik cuan ini tentunya tidak sedang membantu pemerintah mendapatkan pejabat yang pro umat. Sebaliknya, mereka membutuhkan pejabat pro korporasi sebagai jaminan terlahirnya kebijakan yang mengakomodasi kepentingan bisnis mereka.

Akhirnya, jabatan dalam sistem pemerintahan demokrasi adalah tarik-menarik kepentingan korporasi dan birokrasi. Dari sinilah lahir korporatokrasi, kolaborasi pengusaha dan penguasa. Selain itu, ada juga tarik-menarik kepentingan antarpejabat, lahirlah oligarki yang menjamin kekuasaan tak berpindah dari mereka.

Sistem demokrasi akan terus-menerus melahirkan para pejabat seperti di atas, tak bermartabat dan penuh cacat. Mereka sibuk menjilat ke sana sini untuk menjaga kekuasaan dan harta melimpahnya. Rakyat sama sekali tidak menjadi perhatian, dibutuhkan hanya saat proses pemilihan. Oleh karena itu, masih layakkah mempertahankan sistem ini?

Politik Islam Mengakomodasi Kepentingan umat

Islam tidak mengenal Istilah politik akomodasi. Makna “politik” dalam Islam adalah riayah suunil ummah ‘mengurusi urusan umat’. Jabatan politik adalah amanah pada seseorang untuk menyelesaikan permasalahan umat. Pemberian amanah bukan seperti membagikan kue sesuai jasa yang ia berikan.

Dalam Islam, Khalifah akan mengangkat para pembantunya sesuai kapabilitas mereka. Dalam hadis dikatakan, “Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat.” (HR Bukhari)

Sistem pemilihan Khalifah yang sederhana dan murah juga akan menyingkirkan potensi keterlibatan para pemilik modal dalam kontestasi. Begitu pun kepribadian Islam yang terbentuk dalam tiap individu masyarakat, menjadikan mereka yang mencalonkan diri adalah yang paham agama dan sosok yang kapabel.

Baca juga:  Editorial: Demokrasi atau Otokrasi-Oligarkis, Sama-sama Bukan Solusi

Seperti kisah Ma’qil bin Yasar ra. yang ketika sakit Gubernur Ubaidillah bin Ziyad menjenguknya. Ma’qil berkata, “Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadis yang telah aku dengar dari Rasulullah saw.. Beliau bersabda, ‘Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, ia tidak akan dapat merasakan bau surga.'” (HR Bukhari dan Muslim). 

Hadis di atas secara tegas menyingkirkan orang-orang yang lemah terhadap agamanya. Begitu pun yang tak mampu dan tidak amanah, mereka tak akan terpilih. Allah Swt. berfirman, “ … sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (TQS Al Qhasas: 26)

Struktur negara Khilafah akan terbentuk seramping dan sebaik mungkin demi terselesaikannya urusan umat. Islam tak butuh partai koalisi ataupun oposisi karena pemerintahan dalam Islam terbebas dari partai politik. Seorang kader partai yang terpilih untuk menduduki jabatan dalam kekhalifahan harus mengundurkan diri dari kepengurusan partainya, lalu berkhidmat penuh pada kepentingan umat.

Dengan demikian, kepentingan negara dalam melayani umat akan optimal terlaksana. Kebijakan yang lahir pun semata untuk menerapkan Islam secara kafah dan menyelesaikan seluruh hajat manusia. Walhasil, tidak akan ada namanya politik akomodasi ala demokrasi, yang ada hanyalah politik Islam ala Nabi saw.. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.